Saya pernah beli sepuluh pak sempak hanya untuk KKN saja. Saya sadar, bahwa kebutuhan sempak saat KKN itu amat nyata pentingnya. Selain berguna untuk melindungi burung, juga untuk kesehatan. Sepuluh pak untuk dua bulan, saya pikir cukup. Namun masalahnya satu, uang saya yang bisa saja nggak cukup.
Konflik batiniah yang berkelindan inilah yang menyebabkan perjumpaan pertama saya dengan sempak bernama ZB Man. Bagaimana nggak tertarik, dari namanya saja sudah amat maskulin. Nggak seperti merek sebelah yang lebih mirip nama pemain sepak bola dan jenis hewan yang tinggal di rawa.
Tapi pembelaan saya—awalnya—bukan karena kualitas, tetapi masalah harga. Di Indomaret, waktu itu harganya sepuluh ribu saja masih dijujuli. Kalau nggak salah harga satuannya tujuh ribu dan dalam satu pak, isinya ada tiga.
Jiwa miskin saya pun berbisik mesra, “Sudah, beli ini saja, toh cuma buat KKN, setelah itu balik ke merek sempak kesukaan saya, yang namanya kayak pemain sepak bola itu.” Lantas saya sikat beberapa yang tersisa, nggak urusan semisal saya menyebabkan inflasi sempak secara besar-besaran di negara ketiga. Mbok ben.
Di kasir, mas-mas penjaga pun bingung. Mungkin mikirnya saya dikira mau kulakan. Tersimpan senyum simpul dari bibir mas itu. Wah, kurang ajar, pikir saya. Namun setelah saya mawas, kalau dipikir-pikir ya aneh juga ke Indomaret malah belanja sempak.
Singkat kata, KKN lah saya. Sehari saya pakai, rasanya agak linu karena ukurannya relatif lebih kecil dari sempak yang biasa saya kenakan. Pikiran saya yang selalu positif bilang, tenang saja, besok juga bakal terbiasa.
Ndilalahnya hari kedua ada masalah yang lebih krusial, yakni turbulensi ketika bangun tidur di pagi hari. Esoknya, ketika bangun di dalam sleeping bag kok ya rasanya agak gringgingen gimana gitu. Ada sesuatu yang nggak bisa merdeka selain kebebasan berpendapat. Akhirnya satu sempak saya sudahi, ganti ZB Man yang berwarna coklat.
Rasanya memang aneh, tapi makin hari selama berkegiatan, saya mulai terbiasa. Yang bikin saya percaya diri adalah bahwa sempak ini warnanya sungguh menggoda. Dua hari sekali saya ganti sempak dengan warna yang berbeda. Ini kalau bunglon lihat selangkangan saya, pasti bakalan minder.
Namun nggak hanya itu saja yang menyebabkan saya menobatkan bahwa ZB Man adalah sempak model paling setil di tata surya. Alasan berikutnya lebih prinsip, yakni ada celah di bagian tengah, yang bisa mengeluarkan si burung tanpa kudu mlotrokkan sempak seutuhnya. Bisa dibilang, ini adalah kemerdekaan bagi manuk yang sifatnya otonom.
Ini bukan perkara nganu lho ya, lha wong saya juga awalnya nggak tahu tujuan dibuatnya celah bagian tengah itu buat apa. Namun setelah saya menimang-nimang dengan masak, celah ini sangat berguna, apalagi ketika masa KKN saya. KKN di sebuah tempat pasca bencana, di mana kamar mandi itu barang mewah.
Lha gimana, KKN saya itu jatuh pada masa pasca gempa Lombok dua tahun lalu. Kondisi kamar mandi yang amat memprihatinkan. Misalkan bersembunyi di balik reruntuhan, sungai yang kering, posko yang dibuat oleh tentara, dan sanitasi yang gawat, celah di sempak ZB Man adalah perkara keberuntungan saya ketika membelinya.
Seakan saya bisa merencanakan kencing di mana saja—bukan sembarangan, tetapi ketika ada tempat yang layak. Misal sawah, sungai kering, dan bekas kamar mandi di sisa reruntuhan, saya nggak kudu membuka celana, sempak, kemudian kencing. Setidaknya saya menghemat satu step untuk kencing di keadaan genting.
Selain itu ya saya ini orangnya pemalu. Warga desa setempat, kala kencing, begitu etel mengeluarkan burungnya. Lha wong pas makan mangga, saya di atas lagi ngoncek, tiba-tiba ada pemuda yang buka celana dan kencing di sana. Iya, dengan kondisi mlotrokkan celana dan sempak sampai tanah. Begitu ekstrim.
Saya isin tetapi mengusung konsep guyub. Kencing nggak kencing yang penting kumpul. ZB Man menjadi penyelamat saya. Ketika kencing sparing—yakni bersama-sama antara mahasiswa KKN dan warga desa—saya nggak kudu mengeluarkan burung secara terang-terangan. Ada celah yang begitu menyelamatkan sehingga pantat saya nggak terekspos oleh media.
Pun rasanya sempak ZB Man amat aerodinamis bak mobil F1 yang melaju ngosak-ngasik di Sirkuit Monaco yang sempit. Saya menjadi orang paling lincah. Pun saya merasa paling keren walau harga sempak ini nggak lebih mahal dari Tupperware kawan saya. Kenyamanan nomor satu, masalah harga bisa diobrolkan.
Sungguh konsep yang menarik, Tupperware sebagai wadah air minum lebih mahal ketimbang sempak ZB Man yang menjadi wadah penyalur air kehidupan yang nggak pernah terputus masanya. Kecuali kamu mati atau terkena penyakit. Ya, air itu namanya air kencing, bukan air mani.
BACA JUGA Gejolak Batin Saat Menemani Istri ke Toko Pakaian Dalam Wanita dan tulisan Gusti Aditya lainnya.