Merasakan menjadi anak STM ternyata adalah anugerah yang tiada tara. Suatu kebanggan tersendiri ketika banyak orang mencitrakan kami sebagai sosok sangar dan pemberani, dan saya pernah termasuk menjadi bagiannya. Dan, sebagai alumni sayapun menikmati masa-masa tiga tahun pembelajaran di STM itu.
Pasalnya berbeda dengan anak SMA, kami anak STM nggak ada tuh seratus persen menghabiskan seharian di kelas dengerin guru masuk ke ruangan buat ceramah materi pembelajaran. Kami punya porsi belajar 40:60, artinya empat puluh persen untuk tidur di kelas, enam puluh persen kerja praktek. Hal itu membuat kami nggak pernah merasa bosan.
Tapi kalo di tipi-tipi ada adegan dimana anak STM ngerasa bosen terus panjat pager sekolah yang tingginya udah kaya kastilnya rapunsel dilanjut dengan main PS di deket pasar, saya sebagai alumni yang pernah memerankan adegan tersebut di dunia nyata secara langsung perlu mempertegas kalo semuanya hanya rekayasa industri film belaka.
Sepengalaman saya nggak ada ceritanya anak STM tuh panjat pager sekolah cuman gara-gara bosen di sekolah. Yang ada, anak STM panjat pager sekolah itu hanya ada dua alasannya yang begitu bermanfaat positif. Pertama yaitu melatih mental agar nanti setelah lulus bisa siap interview kerja. Kedua, melatih fisik biar pas tes kerja tuh nggak gampang letoy.
Lagian, sebosen-bosennya anak STM, ada waktu praktek di bengkel yang sebagian jam pelajarannya bisa digunakan untuk bermain poker atau sekedar main catur bareng konco kelas di pojokan.
Tentu, kami selalu punya kreativitas untuk mengoptimalkan waktu yang ada. Anak STM tuh cerdas-cerdas kok. Kalo saya sih, mencari tempat untuk menghimpun tenaga sebelum nantinya giliran gantian praktek di bengkel alias pelor dimanapun dan kapanpun selagi bisa. Everywhere is my bed!
Selain hal-hal semacam itu, ada suatu hal yang paling membekas dalam benak saya. Bagi kami anak STM sejak masuk sekolah sudah didoktrin sebuah ideologi yang begitu kuat. Tenang aja, ideologi ini nggak berhubungan sama khilafah-khilafahan yang katanya menjangkit kehidupan sekolah-sekolah di Indonesia.
Lagian, kami anak STM tuh nggak mudeng sama jihad-jihad begituan. Kalo ‘jihad’ buat memperjuangan cinta cewe-cewe sekolah SMEA baru kami siap pasang badan deh. Ya, gimana lagi sekolah STM batang semua. Kalopun ada cewe, ya pasti maco bentukannya.
Back to topic ke doktrin ideologi yang tadi. Kalo Tentara punya Dwifungsi-ABRI sebagai doktrin keterlibatannya dalam urusan pertahanan dan juga non-pertahanan. Doktrin anak STM kata saya lebih sangar lagi. Saya menyebutnya ‘Trifungsi-Alumni SMK’. Apa sih itu?
Pernah denger gak jargon “SMK Bisa!”. Doktrin Trifungsi-Alumni SMK berawal dari jargon itu. Jadi, sebagai anak STM mungkin kawan-kawan hanya tahu kalo setelah lulus menjadi alumni tuh kami cuman diminta jadi buruh pabrik atau pegawai Indomaret, kan?
Itulah paradigma lama bagi anak STM, anak STM setelah lulus menjadi alumni di era saya dan sekarang, akan dibimbing dan didoktrin menjadi siswa super kuat yang kudu siap mengimplementasikan Trifungsi-Alumni SMK yang semuanya dimulai dengan kata “Bisa!”.
Pertama, bisa kerja.
Kedua, bisa lanjutin kuliah.
Ketiga, bisa jadi wirausahawan.
Swwwangarrr, kan?
Sepintas memang kami seelah menjadi alumni STM seperti bisa punya banyak pilihan setelah lulus. Nyatanya, bagi saya sendiri Trifungsi-Alumni SMK justru menjadi beban berat dimana kami diminta bisa melakukan semua hal layaknya robot yang didoktrin semacam itu.
Meskipun bisa saya berpandangan bahwa kami diuntungkan karena punya banyak pilihan, toh pada setelah lulus banyak hal yang menimbulkan permasalahan baru bagi kami para alumni.
Kerjapun, Saingan Dengan SMA.
Tentu, menjadi sebuah dambaan semua anak STM kalo setelah lulus bisa kerja di tempat yang bagus. Sayapun berfikir begitu dahulu.
Apalagi mendengar senior yang mendahului kami lulus berkata kalo kerja itu enak dapet gaji yang cukup buat nyicil motor baru aben bulan. Ya pasti mata kami ijo dong. Mana ada sih yang gak seneng kalo denger iming-iming begituan.
Namun, ternyata perkembangan zaman membuat dunia kerja semakin keras. Persaingan semakin ketat dan pelamar semakin banyak. Standar untuk diterima perusahaan makin macam-macam dan kami dituntut memenuhi semuanya serta kelihatan manusia paling sempurna di mata perusahaan.
Namun, kepentingan kapitalis nyatanya juga membuat peluang kami bekerja semakin menipis. Muncul kasus dimana open recrutment bekerja di perusahaan yang tadinya hanya menerima anak yang punya skill alias anak STM, kini perusahaan dengan sadar memampang persyaratan yang begitu longgar yaitu “Minimal Lulusan SMA/ Sederajat”.
Persaingan kami bukan lagi sesama anak STM saja. Ditambah dengan lulusan anak SMA yang notabenya hanya punya pengetahuan tanpa skill khusus. Modyarr tenan!!!
Kuliah Terlalu Diskriminatif Buat Alumni SMK.
Bagi sebagian alumni STM yang punya nilai bagus dan visioner, ketimbang mencoba kerja secara langsung, mereka memilih untuk ikut-ikutan daftar kuliah. Ya, memang bisa, sih. Toh saya sekarang juga menjadi mahasiswa.
Tapi, begitupun ingin mencoba kuliah mereka musti mengikuti tes SBMPTN yang mana soal-soalnya begitu diskriminatif kepada anak STM yang nggak familiar dengan teori-teorian. Orang lapangan suruh ngerjain soal njelimet, ya ambyar jadinya.
Meksipun begitu tetap ada yang lolos dan menjadi mahasiswa. Namun, mereka akan menjadi bulan-bulanan dan akan merasakan culture-shock. Dimana kehidupan kampus begitu sadis dan kompetitif, ketimbang suasana STM yang begitu menjujung solidaritas-terutama dalam hal percontekan-dibandingkan nilai Ujian Akhir Semester.
Alhasil, kampus layaknya hutan belantara dan alumni STM harus babad alas buat survive di lingkungan barunya.
Wirausaha Nggak Punya Modal.
Apakah ada ayam yang baru menetas langsung bisa berusaha bertelor atau menghasilkan telor? Apalagi juga belum pernah kawin. Pasti nggak ada kan?
Seperti itulah anak STM, yang dituntut bisa membangun usahanya sendiri. Meskipun dapet pelajaran wirausaha, tetap aja kan belum bisa kalo mengharapkan anak STM mbangun PT atau tega lihat mereka jualan tisu di pinggir jalan.
Karena semuanyapun butuh modal. Darimana mereka mendapatkannya? Kalo PNS bisa ‘nyekolahin’ SK mereka buat jaminan pinjaman bank, anak STM punya apa? SKHUN?
Ya, saya paham kalo Trifungsi-Alumni SMK ini begitu baik dan sungguh benar. Tapi pendekatan-pendekatan yang lebih dalam perlu juga dilakukan kalo saja ingin benar-benar terwujud dengan maksimal dan nggak kontraproduktif.
Meskipun pada kenyataannya anak STM juga hanya sapi perah yang dihitung sebagai kapital bagi orang-orang dewasa. Tapi, saya tetap berharap nantinya jargon “SMK Bisa” jangan cuman bisa-bisaan doang. “SMK Bisa” bener-bener jalan hidup kami para alumni STM dan sederajatnya.
BACA JUGA Keterlibatan Anak STM dalam Aksi Itu Perlawanan Terhadap Penindasan! atau tulisan Ravi Oktafian lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.