Sebagai orang yang telah tinggal di Wonosobo sejak kecil, tentu sedikit banyak tahu bagaimana keadaan kota hujan itu. Iya, kota hujan karena air yang menetes dari langit kerap kali mengguyur Wonosobo dengan intensitas yang tinggi. Selain itu, kota ini juga punya udara yang dingin karena letaknya di pegunungan.
Sebuah perpaduan yang sempurna, bukan? Hujan ditambah dingin hawa pegunungan. Kenapa saya katakan sempurna? Pasalnya, saat kamu merasa kedinginan, di sana terletak nikmat kehangatan: Wonosobo hadir dengan tempe kemul, mi ongklok, dan megana yang bertugas sebagai antitesis dari hawa dingin tersebut.
Sebagian besar orang senang dengan suasana setelah hujan turun, bau tanah, air yang menetes dari dedaunan, burung-burung yang mulai kembali terbang, dan langit yang tidak lagi menghitam. Hal itu, gampang sekali dijumpai di Wonosobo. Terlebih, saat hujan reda di sore hari dan senja yang remang-remang mulai tampak. Suasana itu, layak dicoba dengan kekasih sembari berboncengan dan berbicara tentang apa saja.
Namun, Wonosobo sebenarnya bukan tentang matahari tenggelam, tetapi soal matahari terbit yang muncul dari timur melalui celah antara Sindoro dan Sumbing. Ya, kota ini tercipta sebagai lambang bangun pagi. Lantaran dengan begitu, kita bisa menikmati matahari terbit dari sisi mana saja. Meski sisi terbaik adalah dari Sikunir, bukit yang bisa didaki 30-45 menit.
Kita semua bisa menikmati itu sembari minum kopi, susu, atau teh hangat dengan camilan tempe kemul yang legendaris itu. Lantas, saat matahari sudah mulai naik sekitar jam 8 atau 9, kamu bisa menguyah megono, nasi yang bercampur sayur-sayuran dengan porsi yang banyak, rasa enak, dan murah meriah. Untuk menikmatinya kamu tinggal cari di sepanjang jalan, di waktu sarapan.
Menjelang siang atau siang menjelang sore, untuk mengisi perutmu yang sudah mulai berbunyi itu kamu bisa mampir ke warung mi ongklok. Ia pun bisa pesan dengan sate. Kuah kentalnya yang khas itu akan mengisi perutmu dengan kenangan yang sulit terlupakan.
Sayang, Wonosobo dengan segala karunia Tuhan itu nyatanya tidak mampu melahirkan sosok seperti Pidi Baiq atau Joko Pinurbo. Kelahiran sosok yang bisa melabeli kotanya dengan sastra atau dengan kata-kata manis. Wonosobo tidak seperti Bandung maupun Jogja yang terkesan begitu romantis melalui kata-kata.
Pidi Baiq lewat kalimat, “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi,” mampu memberikan sihir pada semua orang. Dengan kalimat itu, kita percaya bahwa Bandung adalah kota yang harus dijumpai.
Bagi saya sendiri, yang bukan orang Bandung dan belum pernah ke sana, membaca kata-kata Pidi Baiq tersebut langsung terlintas bayangan bahwa Bandung adalah kota yang manis. Ia adalah kota yang mampu membuat orang betah dan menjadi harapan untuk membawa perasaan tenang ketika berada di sana.
Sementara di Jogja, ada kalimat dari Joko Pinurbo, “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”. Kalimat itu sakral dan punya daya menunjukkan bagaimana Jogja adalah tempat yang layak untuk disinggahi. Ya, lagi-lagi ungkapan manis memang bisa menutup segala kekurangan yang ada.
saya sendiri sudah merasakan hidup di Jogja dengan berbagai kenangan dan harapannya. Di samping segala kurangnnya, Jogja memang penuh rindu dan kerap kali mengundang saya untuk kembali ke sana. Terlebih, jika saya membaca kalimat, puisi, atau hal-hal manis lain tentang kota itu.
Dua orang dengan kalimat magis itu berhasil memberikan daya pikat terhadap kotanya. Baik mereka yang belum maupun sudah pernah singgah. Sebenarnya, Wonosobo memiliki potensi untuk dapat memikat seperti itu. Bahkan, selain suasana kotanya yang memberikan perasaan medalam yang melahirkan kenangan, biaya hidup di Wonosobo jauh lebih murah dibandingkan Bandung dan Jogja. Bukankah itu adalah poin yang jauh lebih mudah untuk memikat?
Oleh karena itu, Wonosobo butuh sosok seperti Pidi Baiq dan Joko Pinurbo. Supaya keindahan kota ini tidak hilang begitu saja dan tetap abadi melalui karya.
Sumber Gambar: Unsplash