Senyum sumringah wisatawan adalah pemandangan sehari-hari yang biasa dilihat warga Gunungkidul, terutama mereka yang tinggal di kawasan wisata. Banyak orang luar daerah datang dan memuji keindahan alam di Bumi Handayani ini. Tapi, di balik senyum bahagia yang dirasakan para pengunjung, ada sejumlah warga di kawasan wisata yang tengah memperjuangkan tanah kelahirannya dari para pemodal yang mencoba “menggusurnya”.
Salah satu warga yang berani secara terang-terangan melawan investor dan kekuasaan adalah masyarakat di kawasan Pantai Watu Kodok, Gunungkidul. Konflik lahan di Pantai Watu Kodok sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Puncaknya terjadi pada 2013 lalu, tepatnya saat seorang pemodal mengklaim memiliki hak mengelola pantai seluruhnya. Padahal, sesuai perjanjian pihaknya cuma punya lahan tanah seluas dua hektare.
Masalah kian mengerucut ketika investor mulai membangun rumah makan dan resort di sekitar pantai. Artinya, ada sejumlah pedagang lokal yang harus angkat kaki. Dari sinilah, hati warga sekitar terpanggil untuk mempertahankan dan memperjuangkan tanah kelahirannya, tempat mereka mencari makan.
Kita tahu, nggak ada hal yang lebih menyakitkan dari rumah yang sudah susah payah kita bangun, kita rawat, dan kita jaga, tapi orang lain yang menghuninya. Ini yang sesungguhnya terjadi di hampir semua objek wisata di Gunungkidul. Di mana warga lokal berjuang mati-matian mempopulerkan kawasan wisata dengan harapan agar bisa meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal, tapi setelah objek wisata itu benar-benar populer dan ramai dikunjungi wisatawan, para pemilik modal datang “merebut” lahan warga lokal yang lebih dulu menempatinya.
Harapan warga lokal yang tinggal di kawasan wisata, terutama di Pantai Watu Kodok, sebenarnya sangat, sangat, sederhana. Mereka hanya ingin dikasih ruang untuk berjualan supaya bisa menghidupi keluarga. Fakta di lapangan, bahkan untuk sekadar menggelar lapak kecil-kecilan di kawasan wisata pun mereka harus berhadap-hadapan dengan tembok besar bernama investor dan pemangku kekuasaan, yang tentu memiliki tenaga yang besar.
Kathok Abang, simbol Warga Gunungkidul melawan tirani
Sejak 2016 lalu, warga di sekitar Pantai Watu Kodok terus berupaya menolak kedatangan para investor yang tentu sudah “berbisik-bisik” sama pemerintah. Wujud penolakan ini mereka lakukan dengan berbagai cara, salah satunya menggelar Festival Kathok Abang. Puluhan orang dewasa mengenakan seragam SD dan melakukan upacara bendera di kawasan Pantai Watu Kodok, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul.
Mereka mengenakan seragam SD dan melakukan upacara bendera nggak terjadi secara ujug-ujug dan bukan tanpa alasan. Tahun sebelumnya, tepatnya pada 2015, salah seorang investor menicibir dengan melontarkan kata-kata (yang intinya) warga lokal nggak memiliki kekuatan untuk melawan pemodal karena rata-rata penduduk sekitar cuma lulusan SD atau orang nggak berpendidikan tinggi. Tentu ini ancaman serius, pemodal yang sudah merasa dirinya super power, berpikir bisa berbuat apa saja “di kampung halaman” orang lain. Lagian, kenapa kalau warga sekitar cuma lulusan SD?
Apa pun itu, saya justru berterima kasih kepada investor yang melontarkan kata-kata “keren” tersebut. Dengan adanya statement itu, semakin menegaskan bahwa mereka sebenarnya tak lebih dari kumpulan manusia dengan otak bawang yang nggak sadar kalau ucapan itu membuka aibnya sendiri. Mereka nggak paham “logika kotornya” itu akan sangat mudah terbaca dan membangunkan macan tidur.
Saya bukan penganut paham primordialisme sempit, tapi percayalah “orang Gunungkidul” biarpun tampak “nggah-nggih”, sesungguhnya mereka punya power besar melampaui kedalaman cara berpikir kumpulan otak brodot yang ususnya dipenuhi zat-zat serakah akut itu. Istilah bapak saya, “Orang Gunungkidul itu kalau dibaikin, kepala saja diserahkan. Tapi, sekali disakiti, ditantang, dan diremehkan, ucapannya akan menyengsarakan hingga ke anak cucu.”
Sekali lagi, saya nggak mau terjebak sama sikap primordial. Maksud saya, kami ini, masyarakat Gunungkidul, sudah sangat biasa hidup prihatin dari sejak dalam kandungan. Apa yang ada di sekitar rumah, itulah yang kami makan. Lha sekarang, nggak sedikit orang datang (baca: pemodal) njak-njakan, pating regijik, petentengan, masuk “pagar rumah” kami merebut sumber makanan kami, terus kami ini kalian anggap apa?
***
Perjuangan warga di kawasan wisata mempertahankan “kampung halaman”, terutama di Pantai Watu Kodok, tampaknya masih panjang. Semakin banyak tempat di Gunungkidul yang menawarkan panorama keindahan alam, berbanding lurus dengan kedatangan para investor. Tentu saya nggak serta merta menyalahkan para pemodal, tapi lebih kepada sistem dan kebijakan yang acap kali bertolak belakang dari keinginan warga.
Ada banyak contoh kebijakan terkait pengelolaan wisata di Gunungkidul yang masih karut-marut. Paling hangat adalah pemasangan portal yang dilakukan pihak Keraton di sepanjang jalan menuju Pantai Watu Kodok pada Maret 2022 lalu. Jalan ini merupakan akses utama kawasan camping ground dan penghijauan yang tengah dikembangkan oleh sekitar 40 orang penduduk lokal.
Tanpa sepengetahuan warga, jalan cor blok yang dibangun secara swadaya oleh Pokdarwis Watu Kodok itu diportal oleh pihak keraton dan polisi. Memang warga sadar betul bahwa tanah itu masuk lahan Sultan Ground (SG), tapi setidaknya berembuk dulu sama masyarakat lokal. Nggak asal-asalan nutup jalan yang baru saja dibangun dari hasil keringat warga setempat tanpa alasan yang jelas. Bukankah ini bukti nyata bahwa pemerintah tidak pro-warga? Katanya raja bercermin di kalbu rakyat, lho kok gini? Atau jangan-jangan memang sengaja warga nggak boleh menikmati “kue pariwisata”?
Kurangnya koordinasi antara pemerintah dan warga lokal memang jadi masalah cukup mendasar di kawasan wisata Gunungkidul. Setelah warga bersusah payah membangun, menjaga, mengembangkan wisata, dan berhasil dikenal wisatawan dari luar daerah, tiba-tiba investor datang “membeli” semua kawasan, dan masyarakat lokal nggak dilibatkan sama sekali. Inilah sesungguhnya kenyataan pahit yang tengah dihadapi warga Gunungkidul di sekitar objek wisata: mereka yang membangun, tapi investor selalu berhasil menikung dan menggusur.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya apa yang tengah dilakukan warga di kawasan Pantai Watu Kodok adalah representasi masyarakat Gunungkidul yang melawan segala bentuk tirani. Kita tahu, memperjuangkan hidup di tanah monarki sangat tidak mudah, bahkan untuk membicarakannya kadang tak sadar keringat menetes deras. Tapi, adanya Festival Katok Abang, jadi bukti ada rakyat yang menjerit di tengah gembar-gembor wisata yang kian melejit.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Istimewa, Gunungkidul Merana