“Make America Great Again” sebuah kalimat propaganda yang dijadikan Donald Trump sebagai “senjata” untuk memenangkan pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu. Memang benar kata-kata ini seolah mengingatkan kita pada peristiwa pembantaian orang-orang yang bukan Bangsa Arya (atau Kaukasia) oleh Adolf Hitler bersama dengan Pasukan Nazi dan sistem perbudakan yang ada di Amerika Serikat sendiri sebelum Presiden Abraham Lincoln memimpin.
Inilah gambaran tatanan masyarakat internasional sebelum Perang Dingin berlangsung, bahkan hingga saat ini White Supremacy masih menghantui negara-negara dengan mayoritas penduduknya adalah Kaukasia. White Supremacy ini sendiri menempatkan orang kulit putih pada kasta tertinggi struktur masyarakat (inferioritas orang kulit putih). Dengan kata lain, apa yang dimiliki oleh orang kulit putih pasti akan membawa dampak positif bagi seluruh dunia.
White Supremacy sendiri telah melahirkan budaya yang akhirnya dijadikan sebuah dasar dan dipegang teguh oleh masyarakat khususnya negara dengan mayoritas orang kulit putih. Hingga saat ini masih banyak kasus penyerangan yang dilakukan atas dasar ras karena rasisme sendiri merupakan produk dari White Supremacy. Contohnya adalah kasus penyerangan di Selandia Baru ketika ibadah salat Jumat yang dilakukan oleh beberapa orang kulit putih yang menewaskan beberapa orang tahun 2019. Contoh lainnya adalah kasus penyebaran virus corona yang berasal dari Tiongkok dan orang keturunan Tionghoa pun menjadi sasaran kasus rasisme di negara-negara lain karena dituduh menjadi penyebar virus tersebut. Tidak hanya itu saja, dampak dari White Supremacy ini ketika dijadikan dasar legalitas bagi sebuah negara maka akan menghasilkan perbuatan yang dilakukan Adolf Hitler bersama pasukan Nazi dengan pembantaian missal orang-orang bukan kulit putih.
Nilai-nilai yang dibawa oleh White Supremacy ini sendiri sebenarnya sudah dibawa oleh orang kulit putih ketika era kolonialisme dan imperialisme menjadi trend mereka. Mereka tidak hanya menguasai dan mengeksploitasi kekayaan dari suatu wilayah saja tetapi juga menerapkan nilai-nilai kebudayaan mereka kepada negara koloninya. Jadi dengan kata lain White Supremacy ini telah menyebar ke seluruh dunia melalui imperialism dan kolonialisme.
Lalu Apa Hubungan White Supremacy dengan White Privilege?
White Privilege adalah produk yang dihasilkan oleh White Supremacy. Jadi ketika orang kulit putih menempati posisi tertinggi pada struktur masyarakat secara otomatis mereka akan mendapatkan keistimewaan. White Privilege ini merupakan hak istimewa yang didapatkan oleh orang kulit putih. Dengan keistimewaan yang didapatkan, maka mereka tidak harus mengeluarkan effort lebih jika ingin mendapatkan sesuatu. Contohnya pada era perbudakan, orang kulit putih yang miskin pun masih bisa merasakan bersekolah daripada orang kulit hitam yang hanya dijadikan budak.
White Privilege sendiri tidak hanya ditemukan di negara-negara dengan mayoritas penduduk kulit putih, seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, atau Jerman saja melainkan juga masih diterapkan oleh masyarakat Asia dan Afrika bahkan Amerika Latin. Secara tidak sadar, masyarakat dari negara-negara di kawasan tersebut juga menerapkan White Privilege ini. Mungkin memang tidak terlalu ekstrem seperti yang terjadi di Selandia Baru, tetapi White Privilege juga berdampak negatif bagi orang-orang bukan kulit putih dan disisi lain masyarakat Asia, Afrika, dan beberapa negara Amerika Latin bukan mayoritas kulit putih. Seperti contohnya Politik Apartheid yang pernah diterapkan di Afrika Selatan.
Lalu Bagaimana dengan Indonesia Sendiri?
Indonesia merupakan negara bekas koloni Belanda selama ratusan tahun dan otomatis masyarakat Indonesia juga memberikan keistimewaan bagi orang kulit putih. Meskipun Belanda sudah tidak menguasai Indonesia sejak tahun 1942, tetapi budaya yang masih menempatkan orang kulit putih sebagai orang yang paling pintar, memiliki power dan memiliki keindahan rupa masih ada hingga sekarang.
Apa Saja Bukti dari White Privilege yang Masih Dipegang oleh Masyarakat Indonesia?
Satu: Kulit putih adalah cerminan dari kulit yang indah.
Pandangan inilah yang sampai sekarang masih dipegang oleh masyarakat Indonesia. Tentu kita sadar bahwa kulit putih merupakan warna kulit yang dimiliki oleh orang Belanda dan pandangan ini sudah ada sejak Belanda menguasai Indonesia. Anggapan ini kemudian diambil oleh para produsen kosmetik sebagai bahan marketing mereka terbukti dengan diproduksinya produk whitening dan media pun turut andil dalam menyebarkan dan membuat anggapan ini ada hingga sekarang. Jadi orang yang memiliki kulit lebih gelap akan dipandang tidak menarik. Hal inilah yang kemudian memunculkan ujaran rasisme pada masyarakat Indonesia Timur yang memiliki warna kulit lebih gelap.
Dua: Orang kulit putih dipandang lebih berpendidikan.
Pandangan ini juga masih ada hingga saat ini. Masyarakat Indonesia lagi-lagi telah menghadapi kesenjangan sejak era kolonialisme Belanda. Kondisi dimana saat itu penduduk Indonesia tidak semuanya bisa mengenyam bangku pendidikan sedangkan masyarakat Belanda memiliki akses lebih untuk mendapatkan pendidikan. Faktor ini pula yang mendorong beberapa perusahaan lebih memilih merekrut tenaga asing utamanya orang kulit putih untuk bekerja di kantor mereka.
Tiga: Mendapatkan perlakuan khusus ketika berkunjung ke Indonesia.
Hal ini saya alami ketika mengunjungi tempat wisata Pura Uluwatu di Bali. Ketika itu saya akan membayar registrasi berbarengan dengan beberapa turis asing kulit putih. Setelah membayar registrasi, ketika itu sang penjaga loket langsung memakaikan kain kepada turis asing tersebut sedangkan saya dan teman saya harus mengambil sendiri dan menggunakan sendiri karena kami adalah turis lokal. Ini bukan permasalahan memakaikannya, tetapi lebih kepada servis yang diberikan berbeda. Selain itu, masyarakat Indonesia masih percaya bahwa ketika berbicara atau kontak langsung dengan turis asing berkulit putih ini maka mereka akan mendapatkan kebanggaan tersendiri pada diri mereka. Tak jarang pula ada yang meminta berfoto dan mengunggahnya di sosial media agar mendapatkan komentar dari kerabat.
Empat: Memenuhi standar kecantikan.
Orang kulit putih secara otomatis akan dicap oleh masyarakat Indonesia sebagai orang yang memiliki keindahan rupa. Tentu ini dipengaruhi oleh standar kecantikan yang beredar dan dibawa pula oleh masyarakat Belanda ketika era kolonialisme. Saya pernah membaca sebuah artikel dari sebuah media yang ditulis oleh figur publik yang memiliki darah keturunan Indonesia dan Inggris. Di tulisan tersebut beliau mengungkapkan bahwa akan lebih mudah untuk orang-orang yang memiliki wajah bule (sebutan masyarakat Indonesia untuk orang kulit putih atau darah campuran) mendapatkan sebuah peran di suatu film dengan hanya mengandalkan fisik mereka saja tanpa menggunakan bakat dan kemampuan. Kira-kira seperti itulah isi dari sebuah artikel yang beliau tulis. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah memenuhi standar kecantikan yang ada dan hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang kulit putih dan yang memiliki darah campuran saja.
Dari beberapa poin di atas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia hingga saat ini masih masih memberikan orang-orang kulit hak istimewa. Tidak jarang pula hak istimewa ini disalah artikan oleh orang kulit putih berlaku seenaknya kepada masyarakat kita sendiri. Jadi mulai sekarang bekali diri kalian tentang white privilege ini agar tidak terjadi segregasi antar masyarakat. Tentu saja tulisan ini tidak bertujuan untuk menyudutkan orang-orang kulit putih atau bahkan membenci kebudayaan barat, melainkan untuk bahan edukasi masyarakat agar lebih peduli terhadap bahaya White Supremacy sebagai induk dari White Privilege.
BACA JUGA Cerita Soal Privilege dan Pilihan Hidup atau tulisan Vioranda lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.