Wawancara dengan Truk Gandeng: Apakah Selalu Gandengan Itu Bikin Bahagia?

Wawancara dengan Truk Gandeng: Apakah Selalu Gandengan Itu Bikin Bahagia?

Lelaki yang mulai kusam dan tampak menua itu tak pernah dinyana bahwa kariernya dalam menggeluti dunia per-truk-an akan segetir ini. Tubuhnya tampak banyak debu. Katanya, terakhir dicuci ketika ia melakukan perjalanan berat melintasi perut Pulau Jawa dari Tangerang menuju Surabaya. “Ya, ketika semua harus lockdown dengan kesadaran masing-masing (karena pemerintah masih belum menentukan keputusan itu, red), juga ketika desa-desa secara mandiri me-lockdown kawasannya, saya tetap harus berkerja, Mas.”

Rokok sebal-sebul dan selalu feeling good, saya pun diunjuk kopi dan beberapa gorengan yang sudah dingin. “Dapur harus tetap ngepul,” katanya sebagai pamungkas di bagian pembukaan. Saya dan Mas Truk Gandeng bertemu ketika saya sedang ngaso di burjonan dekat Ring Road Selatan. Dari sana, ia meminta saya untuk dituliskan semacam memoar perjalanan heroiknya dalam mengantarkan barang. Saya pun menolak, bukan kapasitas saya menceritakan kisah hidup orang lain, jatuhnya gibah. Ia pun mengangguk, paham. Dan kami mulai bertukar kontak sejak saat itu.

Dan kini, dalam pertemuan ini, ia lagi-lagi membujuk saya untuk menuliskan memoar tentangnya. “Di tengah kesibukan mengantar barang, saya rajin baca buku-buku kiri, Mas,” tuturnya. Ia berkata seolah hal itu adalah yang paling menarik dalam dirinya. “Apalagi Slavoj Žižek, saya suka banget sama penuturan blio,” ia kembali merayu. Saya hanya manggut-manggut.

Mas Truk Gandeng (30) warna merah, bagian boks depannya agak bonyok karena dilempar oleh seseorang yang nggak dikenal ketika melintasi Alas Roban. Blio ini asal Pati, Jawa Tengah, tapi pabrikan Jepang. Serius, awalnya saya bingung harus wawancara pakai bahasa Jawa atau bahasa Jepang.

Alih-alih membahas kisah hidupnya yang katanya heroik itu, saya justru penasaran dengan kisah cintanya dengan Mbak Truk Gandeng (30) yang sama-sama dibesarkan sejak kecil, ke mana-mana selalu berbarengan; mandi, servis, melewati Jalan Pantura ketika senja-senja bada Magrib. Mereka dipisahkan hanya ketika selesai tugas, seperti ini salah satu contohnya.

“Saya kurang suka gandengan, Mas. Jujur,” saya pun terkejut. Ketika ditanya alasannya apa, ia menjawab, “Cewek saya selalu di belakang, Mas. Saya ini sukanya setara. Tidak ada perbedaan antara boks truk cowok dan cewek. Seharusnya kami tidak saling mendahului, tapi jejeran.”

Truk gandeng agaknya adalah sesuatu yang tidak mudah diatur. Begini, maksud saya, ia sulit untuk ditentukan. Ambil saja contohnya bus kota, rute jelas, itu-itu saja. Namun, truk gandeng berbeda, rutenya adalah pekerjaan yang ia dapatkan. Dan ketika saya mendengar penuturannya yang amat idealis, apa ya ada truk gandeng lewat jalan tidak saling membelakangi tapi jejeran kanan-kiri? Sulit dicerna pikiran, tapi kita paham maksudnya apa.

Mungkin karena seringnya bersama, Mas Truk Gandeng dan Mbak Truk Gandeng yang baru saja lamaran dua bulan lalu ini—gagal resepsi karena corona—bertaut erat dengan kelaziman stigma kita yang selalu bilang, “Truk aja gandengan, masa kamu nggak?” Berangkat dari penalaran tersebut, Mas Truk Gandeng menolaknya dan tertawa kecil setelahnya.

“Kalau bisa nggak gandengan tapi dapur tetap ngepul, saya dan hunny (panggilan sayang Mas Truk Gandeng kepada Mbak Truk Gandeng, red), mendingan juga nggak gandengan!” katanya dengan tegas. Selain faktor yang ia jelaskan tadi, juga kondisi seperti ini malah memungkinkannya muncul hubungan yang toxic. “Ada suatu kejadian, dia jadi seperti Milea yang melarang Dilan baku hantam, Mas.”

Kemudian, dengan semangatnya, Mas Truk Gandeng ini bercerita panjang lebar. Begini:

“Di depan ada kecelakaan. Kebetulan, truk berwarna merah muda dengan kijang doyok. Lalu saya mencoba pergi ke depan, menolong mereka. Suwer, Mas. Niat saya itu nolong. Lalu hunny bilang seperti ini; kalau kamu menolong mereka, kita putus! Dengan nada kesal gitu, Mas. Kan saya jadi inget kata-katanya Dik Milea yang melarang Dik Dilan berantem di Taman Kota.”

Ia kemudian menjelaskan alasannya, “Katanya, ternyata yang sedang terlibat kecelakaan itu Mbak Berta, Mas. Kakak kelas saya dulu waktu les Bahasa Inggris di Elti. Mana saya tahu ya, Mas. Lha wong kejadiannya begitu cepat. Gagal saya dapat amalan baik, malah dapat omelan. Sesampainya di Klaten, dia cuma diem sampai Solo. Bayangin aja, Mas, betapa ngantuknya melintasi jalan raya tanpa obrolan.”

“Berartikan ada untungnya juga ditemani sama Mbak Truk Gandeng?” tanya saya. Ia hanya menggelengkan kepala. Ia berkata bahwa banyolannya sopir truk lebih nendang. Kadang sopir truk berbagi referensi musik koplo untuk Mas Truk Gandeng. Atau, obrolan lebih malam lagi dan ketika Mbak Truk Gandeng tidur, mereka ngobrolin biduan di tiap daerah yang memiliki keunikan tersendiri.

Mas Truk Gandeng berbicara secara adil dan berimbang. Ia pun turut menuturkan kekurangannya secara gamblang. “Saya juga cemburuan, Mas,” katanya dengan tegas. Seakan membuka tabir bahwa kokohnya ia di raga, tak harus selalu berbanding lurus dengan apa yang ia rasakan di dalam jiwa. “Saya selalu marah ketika ada truk lain melihat bagian belakang (bokong, red) hunny saya. Kebetulan, bagian belakang (bokong, red) hunny saya itu ditato tulisannya ‘MACET KI SABAR! ORA SABAR MABUR!’ sama ada gambar Mbak Yeyen Lidya-nya.”

Saya pun ngampet kemekelen berhubung wajah Mas Truk Gandeng terlanjur spaneng. “Kami kadang menghadirkan komedi di jalan raya. Tapi hati kami tak sepenuhnya tertawa. Jalan yang pating gronjal adalah sedikit dari hubungan kami kerap menemui jalan terjal.”

Ia melanjutkan keluhannya, “Lampu sorot, klakson ngegas, kebut-kebutan ngejar setoran hingga dipepet bus antar kota adalah makan harian saya, Mas. Tapi, mbok yao calon istri saya ini diberi waktu libur untuk mempersiapkan pernikahan kami ketika wabah ini berhenti melanda negeri. Sumpah, Mas, bukan maksud memberi porsi istri saya di ranah domestik dan menekan di wilayah publik, tapi ini permasalahan kesehatan.”

Saya pun menunduk mendengar cerita Mas Truk Gandeng. Ia bercerita dengan terus menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya yang mulai kendur, mengisyaratkan bahwa ia mulai lelah. Namun, ketika kebutuhan mulai mendesak dan ketika hajatan besar berupa perayaan kehidupan dimulai, apa yang bisa dilakukan selain terus mencoba? “Bukankah ban saya ini bundar, Mas? Ia terus menggelinding dengan cepat. Tapi, bukan saya pemilik kuasanya. Melainkan pak sopir yang membelokan, mengegas dengan cepat, dan memberhentikan,” katanya, ketika saya sedang menguyup kopi yang kebetulan sudah dingin.

“Sekeras-kerasnya saya, sehormat-hormatnya saya (kepada hunny, red), saya tidak akan pernah bisa menyebrangi Selat Bali tanpa bantuan kapal. Juga, jika terus bergandengan selamanya, saya tidak pernah bisa menjadi saya seutuhnya. Karena saya adalah bagian truk yang tercipta ketika dia (hunny, red) ada guna melengkapi kekurangan saya.”

Hujan pun menderu Jalan Imogiri Timur yang menjadi tempat pertemuan saya dengan Mas Truk Gandeng. Otak saya tak henti-hentinya berputar dan terus mencerna apa yang ia katakan. Menjadi tema besar ketika “bersama” itu menjadi sebuah kepentingan manunggal antara jiwa dan terkasih, tapi lepas dari semua itu, terdapat waktu untuk “menyendiri” untuk memperoleh jati diri. Bukan begitu, Mas Truk Gandeng?

Saya pun tak kuasa menyampaikan apa yang saya ringkas dengan serampangan. Biarkan yang membaca, mencernanya dengan maksud dan kebutuhannya. Jika kata Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang berjudul, Monginsidi, Chairil, Kartini yang saya ubah sedikit sesuai kebutuhan, Mas Truk Gandeng adalah sosok yang mencoba menunggang gelombang—khas suara generasi muda akan cinta—tapi terjebak dalam palung pemikirannya yang menjemukan.

BACA JUGA Kata Paling Bijak Sesungguhnya Justru Terpampang di Bokong Truk atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.

Exit mobile version