Tim-tim esports yang kita kenal di media memang punya hidup yang menyenangkan. Namun, di realitas, kenyataan tak seindah eksposur media.
“Kapan yo aku iso koyo ngene?” Kata Mas Bambank sambil menatap layar hapenya dalam-dalam.
Kami tengah menonton siaran ulang pertandingan final Mobile Legends Professional League (MPL) Season 7 yang mempertemukan Bigetron Alpha dan EVOS Legends. Saya ingin mengejeknya, “Muka gali kok pengen jadi atlet esports.” Namun, setelah saya lihat air mukanya, saya menyegel cangkem saya karena tidak tega.
Saya baru tiga bulan bertemu dengan beliau ini. Suatu ketika, dia tiba-tiba mendatangi meja saya dan menanyakan apakah saya bermain Mobile Legends atau tidak. Mungkin di mata beliau, saya cuma mas-mas dhaif yang duduk sendirian di pojokan warmindo dan rawan kerasukan roh halus kalau tidak segera ditemani.
Singkat cerita, setelah mabar puluhan kali, kami berdua menjadi akrab.
Mas Bambank merupakan pentolan salah satu tim esports akar rumput di daerah saya. Ketika saya punya ide untuk menulis artikel ini, saya mengirim pesan WhatsApp kepadanya untuk menanyakan apakah saya boleh meminjam namanya sekaligus nama timnya. Ia menjawab dirinya kurang berkenan karena tidak enak sama teman-temannya. Ya sudah, mau nggak mau saya harus pakai nama samaran favorit saya: Bambank.
Dua hari sebelum malam takbiran tahun ini, saya berkesempatan mendengarkan keluh kesah Mas Bambank. Sebenarnya percakapan berjalan seperti mendengarkan curhat om-om yang baru saja diputusin gendakannya. Tapi, karena isi pembicaraannya penting sekali dan bikin geleng-geleng, saya coba mereka ulang percakapan tersebut dengan format wawancara sebagai berikut.
Apa yang mendorong Mas Bambank untuk memainkan gim Mobile Legends secara kompetitif?
Ya, karena kepengin aja. Lagian, temen-temen saya ini (menunjuk seseorang yang mendengkur keras di sebelahnya) kebanyakan pengangguran. Daripada gabut, mending saya ajak mereka buat ikut turnamen, syukur-syukur kalau juara ada tambahan duit jajan. Buat beli skin. Hahaha.
Tapi, ya alasan utamanya karena seneng ngegim sih, Mas.
Bukankah ranked sudah cukup?
Push rank itu gampang. Main tiga hari kalau niat ya udah sampe Mythic. Paling seminggu kemudian udah (Mythical) Glory. Kalau tak pikir-pikir, mesti jenuh kalau kayak gini terus, makanya anak-anak saya ajak turnamen.
Apakah ada pengalaman kompetitif di gim lain?
Kalau gim, dulu saya main Winning Eleven, selain itu nggak ada. Mobile Legends itu gim online pertama yang saya betah main dari pagi sampai pagi lagi.
Karena nggak ada pengalaman inilah awal-awal turney saya kaget betul, Mas. Dibantai sama bocil-bocil. Tapi, saya pribadi bersyukur. Kalau nggak gitu saya merasa udah jago, padahal di luar sana banyak player yang lebih jago dari saya. Mungkin karena kalah itu saya jadi penasaran terus ikut turney sana-sini.
Sudah berapa lama ikut turnamen esports?
Pertama kali nyoba ikut turnamen esports tahun 2017-an di Hartono Mall. Waktu itu ada timnya Branz (pemain Bigetron Alpha). Kalau tahu dia bakal jadi pro player terkenal kayak sekarang, mungkin dulu tak niatin. Siapa tahu sayalah yang bakal diundang sama BTR to, Mas?
Hahaha. Gimana mau lawan Branz wong lawan bocil aja nyungsep. Menurut Mas Bambank, kenapa tim sampeyan bisa kalah?
Pengalaman, Mas. Kerasa betul mana yang pernah main DOTA, mana yang nggak. Saya pernah jalan-jalan ke komunitas lain yang jagoan di daerah kota. Sumpah, Mas, beda banget.
Bedanya apa?
Begini, Mas, saya pamit sama orang-orang rumah bilangnya latihan. Padahal aslinya cuma mabar ranked biasa. Hahaha.
Kalau komunitas yang saya srawungi itu latihannya bener-bener latihan. Diarahkan. Ada evaluasi juga. Saya kenal baik salah satu pemainnya. Menurut saya dia itu jago banget, tapi di sana dia yang paling banyak di-bully. Salah jalan dikit aja dimaki. Itu baru tingkat ecek-ecek lho, Mas. Kebayang nggak kalau levelnya MPL?
Nggak coba nerapin itu di sini?
Pernah. Cuma jalan seminggu. Saya nggak tahu apa yang dipikirin anak-anak. Tapi, kalau saya lihat, anak-anak kayak udah puas pernah juara di kabupaten. Kalau anak-anak sudah merasa puas, rasanya eman-eman mau nerapin model begituan di sini.
Kalau Mas Bambank sendiri?
Saya pengennya setinggi mungkin, Mas. Tapi, ya saya nggak bisa maksa anak-anak. Apalagi sekarang kalau siang saya bantu ibu jaga warung. Takutnya saya sendiri malah nggak bisa jaga komitmen kalau saya paksakan itu ke anak-anak. Ya sudah, saya ngikutin alur aja.
Mas Bambank kenalan sama anak-anak di mana?
Satu tongkrongan, Mas. Terus kami bawa kenalan. Lama-lama jadi kayak sekarang ini. Yang ngorok itu dulu dibawa teman saya. Sekarang yang ngajak malah udah merantau ke kebun sawit.
Kalau turnamen esports semua dilibatkan?
Yang kepengin saja.
Nggak nyoba ngontrak pemain?
Siapa yang mau nggaji? Hahaha. Kami, ya itu, modelnya cuma ajak-ajakan dan kenal-kenalan. Saya pernah cari sponsor, mereka minta kepastian: turnamennya harus format liga dan berjalan setahun empat kali. Padahal di level amatir kayak gini, belum ada turnamen esports yang modelnya seperti itu.
Waktu saya masih kompetitif sama komunitas di kota sebelah, banyak turnamen yang nggak dikelola dengan baik. Saya pernah ketemu turnamen yang “usil”. Kalau di sini bagaimana?
Sama saja. Di sini udah jadi rahasia umum kalau ada tim “titipan” panitia. Dulu saya pernah dipindah pool-nya sembarangan, ditemuin sama tim kuat dari luar (provinsi lain) biar tim “titipan” tadi bisa mulus ke semifinal. Anak-anak ngamuk, tapi nggak bisa apa-apa. Saya cuma bisa minta ke anak-anak untuk fokus dan bermain sebaik-baiknya. Nggak usah mikir yang aneh-aneh, jika emang udah rejekinya, semifinal bahkan juara pasti di tangan, begitu kata saya.
Soalnya kalau mau protes, mengadunya ke siapa?
Jadi ke semifinal?
Kalah. Anak-anak kena mental. Itu kali pertama kita “digituin”. Setelah itu, ya sudah. Kami nggak bisa apa-apa selain fokus dan bermain sebaik-baiknya. Anak-anak sekarang nggak ngamuk lagi. Mungkin karena saking seringnya (“digarapi” sama panitia).
Ada cerita unik yang berkaitan dengan anak-anak?
Ada. Dulu ada anak sini yang namanya T. Kalau saya ingat, rasanya saya menyesal sekali. Saya ketemu dia waktu nongkrong di warung kopi dekat Selokan Mataram. Ya kayak sampeyan, saya SKSD, mabar, terus tak ajak ke sini. Bedanya dia mau ikut turnamen, sampeyan nggak.
Terus?
Dia itu midlaner, Mas. Sebelum rame-ramenya meta hyper kan sebutannya midlaner. Dia pakai (hero) Lancelot sama Karrie. Tapi, bagi standarnya anak-anak yang lain, Si T itu cupu. Lancelotnya nggak ting-ting-ting dan waktu scrim (latih tanding) Karrie-nya di-build tank utuhan, Mas. Dia diamuk anak-anak karena dianggap nggak ngerti build. Selain itu, T ini kalau diajak by-one mesti kalah. Saya aja yang biasa main tank bisa menang by-one Lancelot sama dia.
Saya menyesal karena saya nggak membela dia. Coba sampeyan lihat. (Dia menunjukkan screenshot hasil pertandingan).
Wedyan!
Main sepuluh kali, MVP sepuluh kali. Bahkan kalah pun dia MVP. Nggak pernah mati lebih dari lima kali, dan selalu ngekill dua digit. Ini baru hasil scrim dan turnamen, saya nggak punya SS-an yang ranked biasa.
Intinya, anak-anak nggak berkenan si T jadi midlaner. Standarnya anak-anak: midlaner itu mainnya harus fast-hand, ting-ting-ting, dan licin. Terus karena saya nggak enak sama T, saya ngalah, dia jadi tank dan saya cadangan.
Singkat cerita kami turney bareng hampir setahun. Lancar, Mas. Dapet trofi juga. Tapi, waktu malam tahun baru kemarin, Si T tiba-tiba WhatsApp saya. Bilang makasih dan nggak mau ikut lagi. Saya kaget. Katanya dia udah lama nggak betah, khususnya sejak dibully anak-anak. Tapi, nggak sampe hati mau bilang karena nggak enak sama saya.
Setelah T mundur, tim jadi kalahan. Anak-anak yang lain terpukul. Ya positifnya, mereka jadi sadar kalau skill nggak bisa diukur dari kecepatan jempol semata. Saya udah kasih nomornya T ke anak-anak biar mereka bisa minta maaf, tapi dia ganti nomor dan sampai sekarang masih centang satu.
Saya juga dulu sempat pindah posisi, dari midlaner ke sidelaner. Pindah karena waktu itu dapetnya pemain mid juga. Oleh karena baru kenal, saya mengalah karena tidak enak. Awal-awal main di samping saya di-bully juga sih, Mas. Alhamdulillah, mental masih sehat.
Sampeyan tau sendiri. Anak-anak di sini emang cangkeme rodo kepiye. Sebelum kejadian si T, sepuluh kali lebih bosok, Mas. Mungkin itu yang bikin kita susah ngajak anak baru.
Terlalu kultural?
Iya. nggak semua orang bisa beradaptasi to, Mas? Tapi, saya cuma ngikutin arus aja. Saya nggak merasa mampu merubah hal itu. Saya pasrah. Wajah baru datang dan pergi, sementara anak-anak “lama” loyo semua.
Kenapa berharap jadi pro player esports?
Kami pernah menang lawan Alter Ego di ranked. Waktu itu masih jamannya Arss (pemain professional Alter Ego periode 2018-2019). Beberapa kenalan saya juga pernah menang lawan RRQ. Tim “kecamatan” kayak kami-kami ini nggak kalah jauh dari tim-tim MPL dari segi potensi. Bedanya cuma di kesempatan, Mas. Mereka udah dapat kesempatan jadi pro player, sementara kita masih menunggu.
Karena uang atau popularitas?
Pengakuan. Biar diakui sama bapak ibu kalau anaknya sebenarnya anake yang paling ganteng ini bukan beban.