Bertobatlah wahai warga Sewon, Bantul.
Tulisan ini akan saya buka dengan sebuah tren yang beberapa pekan ini ramai di sosial media We Listen, We Don’t Judge. Tentu tren ini sudah tidak asing lagi, bahkan tren ini juga menjadi perdebatan karena banyak yang salah menginterpretasikannya. Tak sedikit yang justru menjadikan tren ini sebagai bahan mengemukakan unpopular opinion.
Eitss, sebelum menjadi terlalu jauh, tulisan ini bukan akan membahas tren We Listen, We Don’t Judge. Tulisan ini akan membahas soal dosa-dosa yang tanpa sadar dilakukan warga Sewon terhadap Kabupaten Bantul. Lebih spesifik lagi, warga Sewon seperti saya yang sering krisis identitas tempat tinggal. Saya lebih suka menyebutnya sebagai warga “Sewon coret”.
Daftar Isi
Warga “Sewon coret” tidak punya sense of belonging terhadap Bantul
Kalian yang menetap di daerah Sewon, Bantul mungkin juga merasakan kegelisahan ini. Secara geografis, Sewon salah satu kecamatan di Bantul yang berbatasan langsung dengan Kota Jogja. Tak jarang, warga Sewon lebih familier dengan Kota Jogja dibandingkan dengan Kabupaten Bantul.
Perasaan asing terhadap kabupaten sendiri itu membuat warga “Sewon coret” tidak memiliki sense of belonging terhadap Bantul. Kami cenderung tidak memiliki rasa bangga dan cinta terhadap Bantul. Ujung-ujungnya kami cenderung abai terhadap kabupaten dengan semboyan Projotamansari itu.
Bukti sederhananya, kami sering sekali tidak merasa tersinggung apabila ada yang ngece warga Bantul. Bagi kami, buat apa tersinggung. Kan itu buat warga Bantul. Kami mah cuek. Parahnya lagi, kami malah ikut menimpali ejekan, ibarat kompor malah ikut nambahin bensin. Biar gerr..gerr..geerr!
Selalu meminta pemakluman sebagai validasi ketidaktahuan
Sebagai warga selatan yang lebih paham Yogyakarta sisi utara daripada selatan, kami ini selalu meminta pemakluman atas ketidaktahuan tentang daerah Bantul. Ini selalu menjadi validasi warga “Sewon coret” untuk tidak memperluas khasanah per-Bantul-an. Tentu saja, hal ini bisa terjadi karena warga Sewon coret tidak punya sense of belonging tadi.
“Ya kami kan warga Sewon, lebih deket ke Kota Jogja daripada Bantul. Wajar dong kami nggak tahu, wajar dong kami nggak paham jalan ke Puncak Bibis atau ke Lembah Oya atau sekadar menikmati suasana syahdu Pantai Goa Cemara,” begitu kurang lebih pembenaran yang sering terucap. Andai saja kami punya sedikit rasa itu, tentu kami tidak akan ngang-ngeng-ngong ditanyai ini-itu terkait Bantul.
Kartu Tanda Penduduk, penduduk mana?
Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan tanda identitas resmi seorang penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Masih ingat istilah Islam KTP? Kristen KTP? Istilah-istilah tersebut merujuk pada kondisi seseorang yang mengaku dirinya beragama tetapi tidak menjalankan syariat atau tidak mencerminkan sikap orang yang beragama. Misalnya, Fulan pada KTP ditulis beragama Islam, tetapi ia tidak pernah sholat, mengaji, dan menjalankan kewajibannya sebagai Muslim.
Nah, dosa selanjutnya yang ingin warga Sewon Coret akui adaah KTP kami bukan KTP Kabupaten Bantul. Tervalidasi sebagai warga Bantul saja tidak, apalagi menjalankan kewajiban lainnya sebagai warga. Pendek kata, kami hanya numpang tinggal di Bantul.
Kasus seperti ini masih banyak ditemui, apalagi jika dibenturkan dengan keinginan orang tua untuk bisa menyekolahkan anaknya ke Kota Yogyakarta. Sistem zonasi menjadi alasan valid bagi kami untuk masih mempertahankan KTP Jogja. Tentu karena anggapan sekolah di kota lebih keren dibanding di kabupaten. Lagi-lagi kalau mau kalian judge, kami sudah legowo.
Warga “Sewon Coret” nggak berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan asli daerah
Bisa dibilang kami ini minim kontribusi, atau bahkan sama sekali nggak berkontribusi dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Kok bisa? Tidak adanya sense of belonging menyebabkan kami malas ngulik kuliner apa saja yang menjadi andalan warga Bantul. Ketidaktahuan inilah yang membuat kami tidak berkontribusi dalam menyukseskan promosi pariwisata di Bantul. Padahal kita sama-sama tahu, salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah tentunya dari Pajak Restoran dan juga Retribusi Pariwisata.
Kami, warga Sewon coret, juga lebih sering nongkrong di kafe-kafe Kota Jogja, bahkan di kabupaten tetangga, Sleman. Kami bisa dengan cepat dan sigap memberikan rekomendasi tempat nongkrong di utara dibandingkan eksplor hidden gems yang ada di Bantul. Mana pernah kami merekomendasikan mie lethek, Gudeg Manggar, ataupun sekadar jajanan tolpit yang melegenda di Bantul. Aih, berdosa banget kami.
Saya yakin sebetulnya masih banyak lagi dosa-dosa lain yang tanpa sadar warga “Sewon coret” lakukan. Kami juga sudah mendapatkan karma atas dosa-dosa itu dalam berbagai bentuk. Saya pribadi pernah mendapat ajakan makan ayam di daerah Jalan Magelang. Bayangkan saja, harus menempuh belasan kilometer hanya untuk makan ingkung. Coba saja dari dulu saya mempromosikan ayam ingkung legendaris di daerah Pajangan, Bantul. Tentu saya tidak perlu jauh-jauh ke utara. Saking jauhnya, pas pulang perut ini sudah berbunyu lagi.
Penulis: Mozara Kartika Putri
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 3 Alasan Tinggal di Bangunjiwo Bantul Semakin Tidak Nyaman
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.