Beberapa waktu lalu, warga kabupaten Magelang di sekitaran daerah Srumbung melakukan sesuatu yang menghebohkan, pun viral di media sosial. Mereka memperbaiki jalan di kampung mereka sendiri. Mungkin memperbaiki jalan bukan sesuatu yang unik dan mengusik. Tapi, jalan yang mereka perbaiki bukan jalan biasa nan bersahaja. Jalan itu merupakan jalur evakuasi Merapi, pun diperbaiki secara swadaya alias mandiri. Top bukan?
Seperti kita tahu, jalan rusak adalah keniscayaan untuk banyak wilayah di Indonesia. Tak terkecuali jalan sepenting jalur evakuasi bencana. Seperti yang kita tahu juga, bencana alam khususnya gunung berapi merupakan peristiwa yang rutin terjadi. Oleh karena itulah, mitigasi bencana itu penting bagi masyarakat. Jalur evakuasi adalah salah satu faktor penting dalam hal mitigasi bencana. Itu adalah faktor yang krusial dan menyangkut keselamatan banyak orang. Apalagi jalur evakuasi Merapi yang ada di Srumbung dan sekitar Kaliangkrik. Di mana daerah itu dekat sekali dengan gunung Merapi.
Oleh karena sudah lama rusak, tak kunjung diperbaiki, pun membahayakan, warga bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga desa untuk memperbaiki jalan itu dengan bergotong royong. Sebuah pemandangan aduhai yang sangat mampu membuat hati trenyuh.
Sayang, banyak yang berpikiran buruk tentang hal ini. Ada yang menganggap pemerintah nggak kerja, lah. Banyak juga yang berpikiran sempit, dengan menganggap bahwa pemerintah nggak memperhatikan keselamatan rakyatnya. Ya, mohon maaf, kalau buat saya justru lain.
Kejadian seperti itu malah menegaskan keberhasilan pemerintah yang tiada duanya. Itu semua adalah bukti dari suksesnya Revolusi Mental yang digembar-gemborkan pemerintah. Jalan itu memang tak kunjung diperbaiki, tapi di situlah letak kehebatan program Revolusi Mental. Ia mampu memberikan stimulus atau rangsangan pada para warga. Secara tidak langsung, pemerintah sedang melatih jiwa patriotisme dan sikap rela berkorban dari masyarakat. Dan nyatanya mereka berhasil dengan sangat baik.
Sikap patriotisme dan rela berkorban mungkin dianggap sudah hilang oleh pemerintah. Pembiaran jalan rusak itu membawa mereka kepada nilai-nilai itu lagi. Mereka rela mengorbankan waktu, jiwa, dan tenaganya untuk jalan itu. Jalur evakuasi yang pada akhirnya mereka gunakan sendiri. Sebuah bentuk lain dari pendidikan kewarganegaraan yang hakiki dan trengginas. Mandiri, berdikari, saya rasa pemerintah mampu menghidupkan semangat itu lagi.
Kalau ada yang bilang bahwa pemerintah mangkir dari tanggung jawab, itu salah besar. Justru masyarakat yang pada akhirnya jadi mampu bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Apalagi anggapan bahwa pemerintah tak peduli dengan keselamatan rakyatnya. Sungguh picik pemikiran semacam itu. Yang sebenarnya terjadi adalah, tumbuhnya semangat rakyat bantu rakyat. Kerja, kerja, kerja, sebuah filosofi yang dahulu hidup di sekitar para pemimpin saja. Kini, pada akhirnya filosofi itu berjalan di tengah masyarakat juga.
Bayangkan jika pemerintah memperbaiki jalur evakuasi Merapi itu, apa mungkin warga memperbaiki jalan itu sendiri? Tentu saja tidak. Pembiaran itu bertujuan meningkatkan kerukunan dan sikap gotong royong juga. Bekerja bakti, membaktikan diri untuk kepentingan masyarakat. Gugur gunung, alias bekerjasama, hingga gunung pun mampu dileburkan. Jalan rusak itu adalah kendaraan untuk menuju ke sana. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, dan kita tak boleh suuzan dengan pemerintah.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada peristiwa lain di masa lalu. Seperti yang marak terjadi pada masa Agresi Militer Belanda II. Saat itu, banyak rumah dan bangunan dibakar sebelum ditinggalkan, agar tak dikuasai oleh pihak penjajah. Begitu juga perabot-perabot dan furniture, semua ditaruh di tengah jalan, guna menghalangi laju para penjajah. Kiranya pemerintah menginginkan sikap semacam itu kembali. Rakyat yang bersedia berkorban apa pun untuk kebaikan dan kemerdekaan negara. Seperti para warga yang memperbaiki jalur evakuasi Merapi secara mandiri.
Masalahnya begini, kalau dulu kita rela berkorban karena dijajah Belanda, kalau sekarang kita dijajah siapa?
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya