Saya kira syarat kelulusan dari perguruan tinggi adalah persoalan kecerdasan seseorang, persoalan akademik, atau sekurang-kurangnya persoalan seberapa tekun seorang mahasiswa dalam belajar. Mulai dari pembuatan skripsi, publikasi hasil risetnya ke jurnal, atau kualitas bahasa Inggris mereka dalam bentuk tes TOEFL.
Nyatanya, apa yang saya ekspektasikan itu tidak seluruhnya benar. Di kampus saya, di prodi saya khususnya, seorang mahasiswa nggak bakal dinyatakan lulus, nggak bakal mendapatkan Surat Keterangan Lulus. Bahkan mahasiswa nggak bakal bisa ikut yudisium, sebelum si mahasiswa ini menyumbangkan buku bacaan ke perpustakaan jurusan. Dari sekian draft list syarat kelulusan, terlihat nyempil tulisan yang mewajibkan mahasiswa untuk menyumbangkan buku sebelum mereka benar-benar lepas dari kampus.
Mirisnya saya kira ini terjadi di prodi saya, atau kampus saya doang. Tapi, nyatanya beberapa prodi di kampus saya dan kampus lain di negeri ini mempraktikkan hal yang serupa. Banyak kok temen-temen saya yang juga meratapi hal demikian. Sudah seperti menjadi budaya pungutan-pungutan begitu, dengan dalih buku yang merupakan simbol pengetahuan.
Daftar Isi
Nyumbang buku sebagai syarat kelulusan itu nggak ada unsur akademiknya
Saya bukannya mau itung-itungan, nggak mau bersedekah, nggak mau memberikan sumbangan, materialistik, atau lainnya. Maksud saya, apa korelasi dari kelulusan seorang mahasiswa yang tolok ukurnya akademik, dengan kewajiban memberikan buku ke perpustakaan jurusan?
Bagi saya, nyumbang buku itu bukan persoalan akademik. Jelas sangat berbeda dengan publikasi artikel, pengerjaan tugas kuliah, pengerjaan skripsi dan TOEFL yang sangat bermuatan akademik dan itu sangat wajar menjadi syarat kelulusan. Lah, ini nyumbang buku ke perpus itu nilai akademiknya di mana?
Ini nggak soal produk yang diberikan loh ya, tapi praktik nyumbangnya itu loh. Coba deh yang jadi birokrat kampus jelasin ke saya, antara menyumbang dan pembelajaran akademik itu relevansinya di mana.
Nyumbang itu ke perpus jalanan, bukan ke perpus jurusan
Kalau kata orang, “Pintar itu nggak cukup, tapi harus bermoral. Jadi, dengan menyumbang buku adalah wujud dari penanaman nilai-nilai moral pada mahasiswa. Tidak hanya cerdas, tapi juga harus berkarakter. Di parlemen banyak orang pintar tapi sedikit orang yang bermoral.”
Ya, okelah kalau dalih birokrat semacam ini. Namun, kok terasa aneh lagi ya, kalau mau menyumbang kenapa harus ke perpustakaan jurusan? Kenapa nggak menyumbang ke komunitas-komunitas seperti perpustakaan jalananan yang mana mereka lebih membutuhkan dan kekurangan materi.
Perpus jalanan adalah sukarelawan sesungguhnya yang patut dibantu. Tujuannya tadi kan pendidikan karakter, mengapa nggak praktik langsung menyumbang ke perpustakaan jalanan?
Uang UKT buat apa?
Apa iya kapitalisasi pendidikan itu berjalan dengan seterang ini? Bukan mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi mensejahterakan kehidupan penguasa? Apa ini yang dimaksud oleh Eko Prasetyo dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah, bahwa pendidikan dalam hal ini kampus itu tidak lebih dari akumulasi kapital yang hanya diperuntukkan si kantong tebal.
Tampak kecil memang, nyumbang satu atau dua buku yang kisaran harga seratus hingga dua ratus udah dapet. Tapi jika itu dikonversikan ke seluruh mahasiswa yang satu angkatan bisa seratus orang, bisa-bisa ketemu puluhan juta. Itu masih satu angkatan, belum angkatan yang lain, bisa-bisa ratusan juta tuh ngumpul ke jurusan dalam wujud buku.
Lantas buat apa UKT mahasiswa selama ini, kalau mau lulus saja masih ditagih nyumbang buku? Kenapa buku di perpus jurusan yang notabenenya fasilitas yang seharusnya dinikmati mahasiswa kok harus ngemis ke mahasiswa.
UKT saya waktu S1 itu berjumlah tiga juta delapan ratus per semester. Jika dikonversikan selama empat tahun atau delapan semester itu terkumpul tiga puluh jutaan. Nah, dengan uang puluhan juta itu per mahasiswa, apakah tidak bisa disisihkan seratus ribu gitu untuk perpus jurusan? Udah bayar UKT, disuruh nyumbang buku lagi untuk syarat kelulusan.
Biaya wisuda yang bisa mencapai jutaan rupiah aja bisa diambilkan dari UKT mahasiswa. Masa iya seratus ribu untuk perpus jurusan aja nggak bisa?
Nyumbang itu sukarela, bukan minta semaunya, apalagi pake embel-embel syarat kelulusan
Lebih ngeselinnya lagi, ketika sumbangan buku ini ditambah syarat yang aneh-aneh. Misalnya, minimal menyumbang dua buku, bukunya harus berbeda dengan yang di perpus, berbeda dengan teman lain yang juga menyumbang, bukunya harus bertema sosial, bukunya harus terbitan terbaru minimal sepuluh tahun ke belakang.
Okelah kalau tema sosial dan terbitan baru bisa dipenuhi syaratnya. Tapi, kalian para birokrat pernah mikir nggak sih nyari buku yang harus nggak boleh sama dengan yang ada di perpus itu gimana susahnya? Apalagi kalau perpusnya udah penuh dengan ribuan buku. Belum lagi nggak boleh sama dengan teman yang lain itu nambah beban mencari buku. Tolong, kalau ngemis itu ya ngemis aja, nggak usah minta aneh-aneh ngemisnya.
Maksud saya itu, yang namanya sumbangan itu konteksnya adalah sukarela. Suka-suka yang beri, yang penting ikhlas, dikasih satu buku ya neriman, dikasih buku lawas ya neriman, dikasih buku novel ya neriman, nggak pilih-pilih intinya. Kalau minta semaunya itu namanya pungli, ngerampok, yang sesuka hati mau ini itu. Dikasih hati kok minta jantung.
Dah, lah kalian para birokrat itu jangan serakah-serakah, buku bacaan aja sampe minta ke mahasiswa. Apalagi pake embel-embel syarat kelulusan, duh, susah.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Lulus Kuliah Lewat Jalur Pimnas Adalah Impian Setiap Maba