Bulan lalu, sebuah kasus pelecehan anak-anak oleh pengurus gereja di Depok, Jawa Barat, terbongkar. Tak lama setelahnya, novelis Felix Nesi dikriminalisasi karena memprotes cara gereja di Timor Tengah Utara, NTT, menangani pastor yang diduga melecehkan perempuan. Felix sempat menulis status panjang di Facebook tentang kejadian penahanan dirinya. Inti status saya kira soal pelecehan seksual di lingkungan gereja Katolik, hanya saja penekanan utamanya ada pada ketidakpuasan Felix terhadap sikap gereja yang lambat mengurusi pastor yang bermasalah dengan kasus pelecehan seksual.
Kasus di Depok dan kasus Felix tidak saja memantik banyak diskusi, tetapi banyak dukungan. Bagi saya itu pertanda baik, artinya paling tidak, orang-orang tidak diam dengan hal buruk yang sedang terjadi.
Saya seorang Katolik dan dibesarkan di lingkungan Katolik. Saya pernah mendapat kesempatan berharga mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan calon imam Katolik. Saya betul-betul berkembang secara akademik di sana. Saya sangat berterima kasih karenanya.
Pendidik di lembaga pendidikan tersebut adalah para pastor dan juga guru biasa. Lingkungan Pendidikan juga sangat baik untuk pengembangan intelektual dan spiritual. Akan tetapi, sewaktu di sana juga, masih ada pertanyaan yang tertanam di dalam kepala saya tentang suatu hal.
Hal tersebut adalah tentang kepergian salah seorang pastor pendidik secara tiba-tiba. Ke mana perginya, tidak ada yang tahu pasti. Kabar angin beredar ke mana-mana. Dan layaknya kabar angin, hal tersebut dengan cepat beredar. Isinya bermacam-macam. Salah satunya, dugaan bahwa ia pergi dengan seorang wanita. Tapi, itu tidak pasti. Yang pasti adalah kepergiannya dan ketidakpastian alasannya.
Kejadian lain yang mengundang tanya juga mengemuka sewaktu saya berada di Makassar. Ada seorang pastor yang dipindahtugaskan entah ke mana. Konon itu terjadi setelah ia ketahuan berhubungan gelap dengan seorang wanita. Lagi-lagi, alasan kepergian pastor hanya menjadi desas-desus, dan sifat desas-desus adalah tidak pasti.
Di sini satu hal penting mengemuka. Itu adalah persoalan kabar angin. Ketika ada permasalahan dalam tubuh gereja, khususnya mengenai para imam, sangat jarang ada klarifikasi isu. Jadinya, kabar angin beredar ke mana-mana dan malah menimbulkan rasa curiga.
Jika begini, bukankah transparansi gereja Katolik patut dipertanyakan? Lebih lagi, jika memang nyata bersalah, apakah gereja bersedia meminta maaf secara resmi dan terbuka?
Umat Katolik dan standar gandanya
Sewaktu film Ave Maryam dirilis tahun lalu, respons orang Katolik beragam. Ada yang antusias, ada pula yang melarang menonton. Heh, mengapa dilarang?
Bagi yang melarang, alasan mereka karena film Ave Maryam menjelek-jelekkan gereja Katolik. Ada pula yang mengatakan film ini bertentangan dengan teologi tertentu.
Tema Ave Maryam memang kontroversial, mengisahkan cinta terlarang seorang biarawati dan seorang romo. Tapi di mata saya, ide kisah film ini tidak tiba-tiba jatuh dari langit.
Saya pernah mendengar—lagi-lagi desas-desus karena tak pernah ada klarifikasi—di kampung bapak saya ada seorang pastor menikahi seorang suster lalu lari dari tempat tersebut. Karena tahu cerita itu, saya anggap Ave Maryam adalah potret realitas saja. Realitas yang jarang dibahas.
Inilah standar ganda umat Katolik. Jika ada kasus percintaan, pelecehan seksual, kekeliruan besar seorang pastor berseliweran di telinga umat Katolik (yang sudah pasti cuma kabar angin), umat Katolik akan berkilah bahwa pastor hanyalah manusia yang bisa berbuat kesalahan. Dengan kata lain, tidak usahlah dibesar-besarkan.
Tapi, ketika ada korupsi pejabat, terorisme, pelecehan seksual yang bukan dilakukan pastor, hingga pembunuhan, umat Katolik akan dengan senang hati mengutuk para penjahat itu. Dengan segera, amin paling serius akan dihaturkan agar pelakunya dimasukkan ke penjara. Dengan kata lain, itu sudah layak dan sepantasnya—mengutip salah satu kalimat dalam tata ibadah orang Katolik.
ika begini, bukankah kita malah tidak konsisten dengan keimanan kita—yang mengharuskan kita untuk menyuarakan kebenaran?
Status Felix soal ketidakpuasannya terhadap gereja sangat beralasan. Banyak kejadian yang menunjukkan gereja Katolik tidak transparan dengan aib dalam tubuhnya. Hal ini diperkuat sikap umat Katolik yang mempunyai standar ganda.
Saya menulis tulisan ini tidak dengan maksud menjelek-jelekkan. Tentu saja tulisan ini hanya menyampaikan sesuatu yang sifatnya parsial. Tidak semua umat begitu adanya. Tidak semua pihak dalam gereja ingin menutupi kebenaran. Tapi kenyataan-kenyataan yang dipaparkan di atas pun benar adanya.
BACA JUGA Jadi Putra Altar di Gereja Depok itu Panggilan Murni, Lah Kok Malah Dicabuli dan tulisan Oktaviano N. G. lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.