Vinicius Junior, Teriakan Monyet di Mestalla, dan Betapa Bodohnya Pemakluman atas Rasisme

Vinicius Junior, Teriakan Monyet di Mestalla, dan Betapa Bodohnya Pemakluman atas Rasisme

Vinicius Junior, Teriakan Monyet di Mestalla, dan Betapa Bodohnya Pemakluman atas Rasisme (Pixabay.com)

Akui saja, kalian pernah membenci salah satu kawan kalian yang begitu berprestasi saat muda. Oke, benci mungkin kurang tepat, mungkin “tidak suka” lebih tepat. Wajar, dia—si pemuda peraih segalanya—itu mendapat semua yang ada: sorot lampu, prestasi, kebanggaan, juga segepok uang yang mungkin hanya ada dalam mimpimu.

Tapi, terima saja kenyataannya. Kebanyakan manusia adalah medioker, dan itu tak masalah. Sebab memang seperti itulah desain dunia, selalu ada orang lain yang meraih lebih banyak ketimbang dirimu. Dan sialnya, ada medioker yang jauh lebih sukses ketimbang dirimu. Dan rasanya amat wajar jika kau mengutuk beberapa manusia terpilih. Tak apa, itu normal…

Jika kau lakukan itu dalam hatimu.

Ayolah, tak ada yang lebih menyedihkan ketimbang orang kalah yang mengeluh. Coba kau temui para pemenang yang kau temui dalam hidup, mereka, pasti, akan mengatakan satu hal: winners don’t make an excuses. Titik, full stop.

Kau ingin tahu bagaimana menyedihkannya orang kalah yang membuat alasan? Lihat La Liga.

Kumpulan manusia payah

Spanyol adalah raja liga Eropa selama satu dekade terakhir. Simpan argumen panjang dan menyedihkanmu tentang betapa superiornya Premier League, Real Madrid dan Sevilla adalah penguasa Eropa. Pemenang Liga Champions dan Europa League selain kedua tim tersebut, dalam dekade ini, hanya kameo, penyeimbang semesta.

Tapi kedigdayaan itu, entah kenapa, tak tercermin sama sekali pada liga dan suporternya. Untuk negara yang punya tim penguasa liga benua, mereka benar-benar payah dalam menghadapi kekalahan. Dan mereka memilih menjadi golongan manusia yang pantas dilempar tai setiap sejam sekali: menjadi rasis.

Vinicius Junior, The Wonder Boy

Vinicius Junior adalah pemenang. Tanpa ragu, saya akan bilang ia winger kiri terbaik dunia saat ini. Segala trofi klub sudah ia peroleh di usia 22. Dialah alasan kedua Madrid bisa meraih trofi UCL keempat belas musim lalu.

Ayolah, kalian tahu Courtois adalah alasan pertamanya.

Saya tak perlu memberikan detil kemampuannya. Tapi jika kalian bukan penikmat bola, mudahnya begini: dia adalah pisau panas, dan sisi kiri lawan adalah mentega. Yang terjadi bisa ditebak, dia akan membelahmu begitu mudah, dan yang bisa kau lakukan adalah meleleh.

Tidak, dia tak segila Messi. Tapi menghentikan Vinicius sama sulitnya dengan mempercayai politisi negara ini. Sebegitu vital Vinicius Junior untuk Madrid, cara paling mudah mengalahkan Madrid adalah menghentikan Vini. Done, mereka tak punya cara lain untuk menang.

Wajar jika akhirnya ia “dibenci”. Saya beri tanda kutip, karena sebagai orang yang pernah mengenyam sedikit pendidikan sepak bola, kau benar-benar benci jika lawanmu punya pemain macam Vini. Kau tak bisa mengejarnya, tak bisa merebut bolanya, dan yang bisa kau lakukan adalah berdoa Tuhan benar-benar ada.

Tapi, yang membedakan manusia dengan binatang, adalah menyikapi kekalahan. Dan suporter klub La Liga, beberapa memilih menjadi binatang.

Monyet, monyet, dan monyet

Teriakan “Vinicius, kau adalah monyet!” bergema di hampir tiap pertandingan Real Madrid. Kecuali Anda memang benar-benar bodoh, tentu saja hal itu masuk dalam tindakan rasisme. Manusia yang punya akal tak akan membenarkan rasisme. No buts, no ifs.

Ini tidak terjadi sekali. Tapi berkali-kali. Vinicius Junior, sebagai manusia, tentu saja tak terima dia diperlakukan seperti itu. Wajar, begitu wajar.

Tapi Javier Tebas, idiot yang kebetulan ditunjuk sebagai Presiden La Liga, punya pendapat lain. Ia, alih-alih menghadapi masalah rasisme, memilih untuk “membela diri”. Bayangkan.

Saya tak akan membeberkan detil kasus rasisme yang diterima Vinicius Junior. Saya fans Madrid, dan melihat pemain tim yang saya bela diteriaki monyet bikin hati saya remuk. Tapi, saya lebih remuk melihat respons Tebas dan beberapa idiot lain yang muncul memberi statemen.

Pemakluman rasisme kepada Vinicius Junior, tanda kemunduran umat manusia

Bayangkan skenario ini: Anda sedang memasak nasi goreng. Harum bumbumu tercium hingga luar dapur. Tiba-tiba, rumah Anda dilempari tai. Alasannya? Harum bumbumu mengganggu mereka.

Konyol? Begitu pula alasan orang-orang “membenarkan” rasisme kepada Vinicius Junior.

Vinicius Junior dianggap suka memprovokasi pemain lain. Jika akhirnya mendapat tindakan rasisme, itu adalah risiko yang harus diterima. Rasisme, adalah harga yang harus ia bayar atas segala polah yang ia lakukan di lapangan.

Masalahnya adalah, rasisme bukanlah respons yang bisa diterima dan tak akan pernah diterima. Membenarkan rasisme, dengan alasan apa pun, adalah tanda bahwa ada masalah yang serius pada dunia sepak bola.

Jika kita menerima pemakluman rasisme atas provokasi, artinya kita baru saja melakukan kesalahan logika paling dasar. Bayangkan, kau bisa dibunuh tetanggamu hanya karena kamu kebetulan melakukan hal yang tak menyenangkan. Kamu bisa kehilangan nyawa hanya karena kelakuanmu yang kebetulan bikin orang lain merasa sebal.

Oh, Anda pasti merasa saya berlebihan. Tentu saja tidak, rasisme dan pembunuhan, bagi saya setara. Dua-duanya kejahatan yang HARUSNYA tak dilakukan, apa pun alasannya.

Rasisme, apa pun alasannya, tak bisa dibenarkan

Jujur saja, saya tak ingin menulis panjang-panjang kenapa provokasi (andai itu benar adanya) yang dilakukan Vinicius Junior itu harusnya tak dibalas dengan tindakan rasisme. Sebab, pertama, rasisme tak bisa dibenarkan apa pun alasannya. Kedua, manusia yang punya otak tahu bahwa tindakan rasisme tak harusnya dilakukan, apa pun alasannya.

Jika benar provokasi Vinicius Junior dan ketengilan yang ia tunjukkan adalah penyebab ia mendapat serangan rasisme, saya ingin bertanya. Apakah Iñaki Williams, Nico Williams, Mouctar Diakhaby, Samuel Chukwueze, Carlos Akapo, Antonio Rüdiger, Marcelo, Rivaldo, Roberto Carlos, Dani Alves, adalah pemain yang tengil dan suka provokasi?

Betul, pemain-pemain tersebut sempat mendapat serangan rasis. Dan setahu saya, mereka bukan pemain tengil dan tukang provokasi. Pemain-pemain tersebut berbagi hal yang sama dengan Vini: warna kulit yang berbeda.

Tebas kosong nyaring bunyinya

Pembiaran atas tindakan rasisme di La Liga adalah penyebab kenapa chant rasis ada dan akan selalu ada. La Liga tak pernah memberi sikap yang tegas atas hal ini. Sikap Javier Tebas yang memilih untuk menanggapi Vinicius Junior, alih-alih addressing the racist problem adalah contoh terbaik bagaimana La Liga menghadapi rasisme.

Tebas begitu bersemangat menentang Super League, begitu marah pada beberapa klub yang menolak kesepakatan dengan CVC, tapi begitu lembek ketika beberapa kali kasus rasisme terjadi. Pokoknya, apa pun yang berhubungan dengan uang, Javier Tebas punya tenaga tak terbatas dan antusias tanpa batas.

Tapi ketika berurusan dengan rasisme, dia begitu layu. Sikap Tebas adalah cerminan La Liga dan tim-tim lainnya: menganggap rasisme tak pernah penting dan tak perlu dianggap penting.

Pembiaran ini, akhirnya jadi kebiasaan. Psy war yang suporter tim La Liga tahu adalah dengan mengolok-olok warna kulit pemain dan menganggap pemain berkulit hitam sebagai monyet. Saya bahkan berani bertaruh, kalau suporter tim La Liga punya anggapan bahwa cara menang melawan Madrid adalah mengejek Vinicius Junior dengan panggilan monyet.

Kau tahu akan kesulitan menang melawan Real Madrid. Lalu, kau memilih untuk memanggil pemainnya monyet. Cara rendah yang hanya bisa dipikirkan oleh orang-orang dengan IQ rendah.

Apakah rasisme ini akan hilang ketika La Liga akhirnya bertindak tegas? Tidak, tapi tindakan tegas akan membuat orang rasis akan berpikir dua-tiga kali untuk mengatai pemain berkulit hitam dengan sebutan monyet.

The only good racist is a very dead racist

Jujur, menulis ini begitu berat. Teriakan monyet yang bergaung di Mestalla bikin hati saya remuk. Air mata Vinicius Junior masih terekam jelas di kepala. Komen Justinus Laksana (saya tak akan sudi memanggilnya coach) membuat saya terheran-heran.

Meski tak mengalami rasisme, tapi saya tahu betul rasanya diperlakukan berbeda gara-gara saya orang desa, karena orang tua saya bukan orang terpandang. Saya tahu rasanya diolok-olok karena sesuatu yang bahkan tak pernah saya minta dan punya kuasa untuk memilihnya.

Vinicius Junior hanyalah orang yang mencintai sepak bola dan menjadikan olahraga tersebut sebagai jalan hidupnya. Warna kulitnya, sikapnya, tak menjadikan ia pantas diteriaki monyet dan sejenisnya. Tak ada satu pun orang yang pantas diperlakukan berbeda, hanya karena warna kulitnya lebih gelap ketimbang orang lain.

Rasisme tak akan lenyap di muka bumi ini. Itu terlalu utopis. Tapi, harapan saya adalah, setiap tindakan rasisme ditindak dengan begitu tegas dan pelakunya tak boleh lagi diberi ruang untuk menyampaikan ujaran kebencian.

Sebagai penutup, saya akan mengulangi statemen saya di atas. Vinicius Junior, terlepas ia provokator atau tidak, tidak pantas mendapat tindakan rasisme dan tak bisa dijadikan pembenaran ia pantas mendapat rasisme.

The only good racist is a very dead racist. I repeat, The only good racist is a very dead racist.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA UEFA: Gercep Perkara Duit, Lambat Perkara Rasisme

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version