Prodi Bahasa dan Sastra Madura lebih urgen untuk dibuka di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) daripada Fakultas Kedokteran. Begini alasannya.
Beberapa tahun ke belakang banyak universitas negeri yang secara tiba-tiba membuka program studi (prodi) Kedokteran, misalnya Univesitas Negeri Surabaya (UNESA), Universitas Negeri Semarang (UNNES), hingga Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Saya rasa pendirian prodi ini cukup sat-set sat-set, sebab isunya baru datang, tiba-tiba besok gedungnya sudah didirikan. Bahkan di UNESA, gedung Fakultas Kedokteran ada lebih dulu daripada isunya, dan tahun berikutnya sudah buka pendaftaran.
Selain ketiga kampus negeri yang sudah saya sebutkan, ada juga kampus negeri lain yang sedang proses menyiapkan pendirian Fakultas Kedokteran, yakni Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Sama seperti yang lain, rencana Fakultas Kedokteran UTM cukup sat-set wat-wet. Baru saja isunya datang, sudah ada gedung yang disediakan, terlihat di depannya telah terpampang tulisan Fakultas Kedokteran.
Akan tetapi isu pembukaan prodi baru ini tak lepas dari kritikan mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura sendiri. Sebab, pendiriannya dianggap malah melupakan urgensi sektor lain. Nah, kali ini saya tidak akan membahasnya, melainkan menambahkannya, hehehe. Menurut saya, daripada membuka Fakultas Kedokteran, seharusnya UTM buka prodi Bahasa dan Sastra Madura saja karena urgensinya dan juga potensinya.
Daftar Isi
- Mapel Bahasa Madura cuma formalitas, sebab gurunya tidak berkualitas
- Madura tidak kekurangan tokoh
- Jadi obat stigma buruk orang Madura
- Bahasa daerah lain sudah banyak yang dikembangkan, Universitas Trunojoyo Madura nggak mau ikutan?
- Penutur bahasa Madura termasuk terbanyak di Indonesia. Universitas Trunojoyo Madura perlu mempertimbangkan dibukanya prodi Bahasa dan Sastra Madura
Mapel Bahasa Madura cuma formalitas, sebab gurunya tidak berkualitas
Kalau kalian bertanya pada saya mata pelajaran (mapel) apa yang paling tidak berguna dan hanya buang-buang waktu selama sekolah, saya dengan tegas akan menjawab mapel Bahasa Madura. Saya pun yakin, jawaban ini juga mewakili mayoritas siswa yang bersekolah di Madura. Alih-alih menjadi mapel muatan lokal, Bahasa Madura malah menjadi mapel yang sangat membosankan.
Saya juga berasumsi, rasa bosan bukan hanya dialami murid, tapi juga guru. Buktinya, semua guru mapel Bahasa Madura saya lebih sering tidak masuk kelas. Sekalinya masuk yang dibahas itu-itu saja. Kalau nggak bahas enggi-bunten, ya paling bahas tulisan anacaraka. Itupun sampai sekarang saya masih belum bisa menulis abjad anacaraka.
Mengapa bisa seperti itu? Ya, karena mereka mengajar tidak sesuai bidangnya. Semua guru Bahasa Madura saya tak ada yang lulusan prodi Bahasa Madura, sebab memang belum ada universitas yang membuka program studi ini. Lucunya lagi, kadang siswa disalahkan. Kok bisa sih kalian belajar bahasa daerah tapi lebih sulit daripada bahasa asing?
Madura tidak kekurangan tokoh
Menurut saya, Madura tidak kekurangan tokoh budayawan ataupun sastrawan untuk mengembangkan Bahasa dan Sastra Madura. Sebut saja D. Zawawi Imron. Siapa yang tak kenal sastrawan ulung di Indonesia ini, terutama di kalangan para penyair. Beliau asli kelahiran Sumenep Madura. Lalu, penggagas bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan juga asli orang Madura, yakni Mohammad Tabrani Soejowitjitro atau lebih dikenal M. Tabrani.
Kalau dipikir-pikir, Madura hanya kekurangan wadah supaya bisa konsisten merevitalisasi bahasa dan sastra Madura. Nah, pendirian prodi Bahasa dan Sastra Madura di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menurut saya adalah solusinya. Jika sudah terwadahi secara akademis, saya yakin perkembangan bahasa dan sastra Madura akan berjalan semakin pesat, sebab riset dan penelitiannya pun juga pasti berjalan. Kalau begini tentu akan banyak lahir pula sastrawan Madura selanjutnya.
Jadi obat stigma buruk orang Madura
Ngomong-ngomong, kalian tahu tidak bahwa kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta yakni “shaastra” yang berarti “teks yang mengandung intruksi” atau “pedoman”. Nah, setelah saya tahu asal muasal kata “sastra”, saya semakin prihatin dengan bahasa ibu saya, bahasa Madura. Sebab perkembangan sastranya tidak berjalan begitu signifikan.
Padahal sastra sebenarnya bisa menjadi pedoman hidup manusia. Akhir-akhir ini pun saya berpikir, apa mungkin stigma buruk yang disematkan pada orang Madura salah satu penyebabnya karena sastranya (pedomannya) tidak hidup?
Ya, itu hanya menurut saya. Makanya saya juga berpikir, dengan mengembangkan bahasa dan sastra Madura melalui pembentukan prodi di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) mugkin bisa menjadi obat stigma buruk pada orang Madura. Karena sebenarnya, Madura juga memiliki banyak filosofi hidup yang termuat dalam pantun, syair, dan cerita-cerita. Hanya saja, banyak yang hilang karena tak ada yang megembangkan.
Bahasa daerah lain sudah banyak yang dikembangkan, Universitas Trunojoyo Madura nggak mau ikutan?
Fakta ini menambah rasa simpati saya pada bahasa Madura. Ternyata pengembangan bahasa dan sastra Madura bisa dibilang sudah cukup tertinggal. Sebab, beberapa universitas di Indonesia sebenarnya sudah berdiri prodi-prodi bahasa daerah. Misalnya ada prodi S-1 Bahasa Bali di Universitas Pendidikan Ganesha, S-1 Pendidikan Bahasa Jawa di UNESA, S-1 Sastra Daerah/Bugis di Universitas Hasanuddin, dan S-1 Sastra Minangkabau di Universitas Andalas. Maka tak heran jika perkembangan bahasa dan sastra daerah-daerah tersebut berkembang cukup pesat.
Kalau boleh ngomong, masa kampus sekelas Universitas Trunojoyo Madura (UTM) nggak kesindir dengan fakta tersebut. Kampus negeri lain saja ikut serta mengembangkan lokalitas daerahnya masing-masing. UTM kapan?
Penutur bahasa Madura termasuk terbanyak di Indonesia. Universitas Trunojoyo Madura perlu mempertimbangkan dibukanya prodi Bahasa dan Sastra Madura
Alasan terakhir ini sebenarnya menurut saya tidak begitu penting dibandingkan alasan yang telah saya sebutkan di atas. Tapi saya rasa saya perlu juga untuk menuliskannya. Karena mungkin yang ditakutkan kampus adalah tidak ada yang mau mendaftarkan diri. Hahaha.
Asal kalian tahu, suku Madura adalah salah satu suku terbesar di Indonesia. Posisinya berada di urutan ke empat dengan total sekitar 7,178 juta jiwa. Tak heran jika jumlah penutur bahasa Madura juga menjadi salah satu terbanyak, yakni 13,6 juta jiwa. Jumlah penutur yang lebih banyak menunjukkan bahwa bahasa Madura tidak hanya digunakan oleh orang Madura saja, tetapi juga orang luar Madura.
Hal ini juga dipengaruhi oleh kebanyakan orang Madura yang lebih suka merantau, makanya persebaran bahasanya juga luas. Saking luasnya bahkan ada istilah Madura swasta di daerah lain di Jawa Timur. Lalu ada juga istilah Madura Pandalungan yang menggunakan bahasa Pandalungan, yakni dialek Madura dengan pengaruh bahasa Jawa.
Nah, dengan potensi dan urgensi sebanyak itu, Universitas Trunojoyoa Madura (UTM) tunggu apa lagi sih untuk membuka prodi Bahasa dan Sastra Madura? Daripada membuka Fakultas Kedokteran yang masih ngawang-ngawang pasarannya, lebih baik buka prodi Bahasa dan Sastra Madura, sudah jelas sasarannya. Atau apa mungkin gara-gara nggak ada cuannya? Hehehe.
Penulis: Abdur Rohman
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.