Sebagai mahasiswa Universitas Terbuka (UT), saya mengakui jika kampus tempat saya kuliah memang bukan yang terbaik di Indonesia. Saat ini harus diakui kalau UI, UGM, dan ITB masih menjadi tiga kampus terbaik di Indonesia.
Namun, apapun itu, saya tetap menganggap rektor UT adalah rektor terbaik di Indonesia. Bahkan melebihi rektor-rektor kampus top Indonesia.
Memang, iya, rektor kami tidak sempurna. Kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Akan tetapi, ada alasan-alasan tertentu yang membuat saya harus mengangkat topi dengan rektor UT, baik itu Bapak Drs. Ojat Darojat, M.Bus., Ph,D. maupun rektor-rektor yang pernah menjabat sebelumnya.
Daftar Isi
Memimpin banyak mahasiswa
Berbeda dengan kampus lain yang jumlah mahasiswanya berkisar 20.000 sampai 50.000-an saja, UT menjadi perguruan tinggi dengan lebih dari 400.000 mahasiswa. Mahasiswa dan mahasiswi UT tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya itu saja, mahasiswa kami juga ada di luar negeri. Sebab, Universitas Terbuka memiliki lebih dari 39 cabang dan layanan luar negeri.
Mengurus ratusan ribu mahasiswa bukan perkara mudah. Jangankan ratusan ribu, mengurus puluhan ribu saja nggak mudah, kok. Tapi, Pak Ojat mampu melakukannya dengan baik meski tidak 100% perfect.
Memimpin mahasiswa dari berbagai generasi
Berbeda dari mahasiswa di perguruan tinggi lain yang memang mahasiswa berusia rata-rata 19 sampai 27 tahun, mahasiswa Universitas Terbuka lebih beraneka ragam. Selain usia-usia segitu, mahasiswa UT juga ada yang berusia di atas 30 tahun, bahkan di atas 50 tahun juga ada.
Ini berarti Pak Ojat memimpin mahasiswa lintas generasi. Ada mahasiswa Generasi Z, milenial, dan X. Terbukti, walaupun harus memimpin lebih dari satu generasi, beliau mampu melakukannya dengan baik.
Rektor UT memimpin mahasiswa yang “tidak semua pintar’
Perguruan tinggi lain menerapkan tes untuk bisa menjadi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut. Itu artinya hanya orang-orang pilihan berotak cerdas yang bisa berkuliah di kampus. Yah, setidaknya mampu membayar kalau nggak dapat beasiswa.
Berbeda dengan Universitas Terbuka yang membebaskan siapa saja menjadi mahasiswa tanpa mengikuti tes asal setidaknya sudah lulus SMA/SMK atau sederajat. Tidak semua mahasiswa UT itu memiliki otak jenius, ada juga yang biasa-biasa saja.
Memimpin orang-orang pintar sedikit lebih mudah karena mereka lebih bisa diatur. Namun, memimpin orang (maaf) bodoh bukanlah sesuatu hal yang mudah. Namun lagi dan lain, rektor Universitas Terbuka mampu melakukannya dengan baik sampai sekarang.
Universitas Terbuka miskin kontroversi, tapi kaya prestasi
Sejak berdirinya Universitas Terbuka zaman Presiden Soeharto sampai zaman Presiden Joko Widodo, hampir tidak pernah terdengar kontroversi dari kampus ini. Justru UT banyak mendapatkan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Bahkan Universitas Terbuka menjadi pelopor perguruan tinggi di Indonesia dengan sistem pembelajaran jarak jauh. Universitas Terbuka menjadi perguruan tinggi yang mampu menerapkan sistem pembelajaran jarak jauh dan tatap muka dengan sama baiknya.
Tentu saja keberhasilan dan perkembangan pesat UT tidak terlepas dari para rektor yang pernah memimpin kampus ini. Rektor memiliki wewenang membuat kebijakan sehingga tahu arah dan perkembangan perguruan tinggi tersebut.
Dengan segala keterbatasannya, para rektor UT berhasil bertumbuh. Dahulu hanya kampus tak terakreditasi, sekarang sudah terakreditasi B dan juga sudah banyak jurusan di UT yang terakreditasi A.
Terima kasih Pak Rektor, sayangnya kami mahasiswa UT yang ada di daerah mungkin tidak akan pernah bertemu Bapak secara langsung. Namun, kami tetap mendukung semua kebijakan Bapak asal tidak melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi dan menjadikan UT semakin baik lagi.
Penulis: Firdaus Deni Febriansyah
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Universitas Terbuka Bukan Tempat bagi Mahasiswa Malas
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.