Kewajiban mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) saat ini sama halnya seperti kewajiban memiliki SIM ataupun KTP. Namun dengan adanya kewajiban memiliki NPWP, berbanding lurus dengan kewajiban yang harus dipenuhinya. Yaitu melapor dan menyetorkan pajak penghasilan yang dimiliki oleh Wajib Pajak.
Pada dasarnya, kewajiban memiliki NPWP telah diatur pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 39 yang menjelaskan bahwa setiap warga yang memenuhi syarat subjektif dan objektif namun masih tidak mau atau memiliki NPWP akan terancam sanksi berupa pidana paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun. Maksudnya memenuhi syarat subjektif dan objektif adalah WNI yang telah cukup umur dan berpenghasilan secara mandiri. Tapi apa daya, regulasi hanyalah regulasi bila tidak diiringi oleh kesadaran masyarakatnya sendiri.
Dilansir dari data Online Pajak, jumlah wajib pajak yang memiliki NPWP per Maret 2017 mencapai 32,7 juta, ditambah penerimaan pajak per akhir 2017 mencapai 1,339 triliun. Angka yang fantastis saat tersebut terjadi kala pemerintah mencanangkan program Tax Amnesty, yang membuat masyarakat berbondong-bondong untuk ikut serta dalam program tersebut. Harapan pemerintah kala itu adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kontribusi masyarakat untuk membangun Indonesia melalui penerimaan perpajakan.
Angka tersebut pada dasarnya cukup memberikan bukti bahwa masyarakat sebetulnya mampu berkontribusi lewat penerimaan perpajakan. Namun tanpa didasari oleh keinginan ikut berkontribusi, memiliki NPWP hanya dianggap sebagai persyaratan kebutuhan masyarakat dalam urusan pribadi mereka. Contoh urusan kredit di bank atau urusan legalisasi perusahaan.
Saya pribadi cukup anyel dan gregetan apabila mendapatkan klien yang notabene saya anggap mampu dan bisa, tetapi acuh akan kontribusi membangun negara lewat sektor penerimaan perpajakan. Dikiranya mereka menikmati fasilitas bagus lewat mana kalau bukan dari penerimaan negara? Ya salah satunya lewat penerimaan pajak.
Inilah yang membuat saya pribadi, merasa bahwa NPWP mereka hanya untuk punya-punyaan saja.
NPWP hanya sebatas persyaratan belaka
Secara pribadi, saya cukup punya banyak pengalaman tentang perihal ini. Saat ini, masyarakat yang akan membuat buku rekening, mendirikan usaha, melamar pekerjaan atau sekedar mau ambil kredit rumah/motor wajib memiliki NPWP. Tapi apa daya, hal yang mereka urus hanya sebatas formalitas dan tidak berlaku buat mereka. Yang penting punya sajalah begitu ceritanya.
Saya punya banyak kasus tentang hal ini, ada klien yang tiba-tiba minta tolong saya karena dapat teguran punya penghasilan yang tidak pernah terlapor oleh pajak dan tiba-tiba diinstruksikan untuk menghadap ke kantor pajak untuk dimintai klarifikasi. Atau ditolak oleh pihak bank atau kantor legalitas karena SPT Tahunan yang tidak pernah lapor. Jelas saja saya anyel bukan main, punya NPWP bertahun-tahun tapi tidak pernah lapor pajak dan hanya sebatas sebagai penghuni warga dompet saja. Tentu, dengan sabar saya menjelaskan bahwa pentingnya kesadaran wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya apabila telah memiliki NPWP. Namun mereka berdalih bahwa petugas pajak tidak pernah mengadakan sosialisasi atau sekedar memberikan pelatihan bagaimana cara memenuhi kewajiban perpajakan setelah memiliki NPWP.
Saya hanya mbatin saja.
Saya beritahu, Lur, memenuhi kewajiban perpajakan bukanlah kewajiban petugas pajak. Akan tetapi kewajiban masing-masing wajib pajak itu sendiri. Sudah seharusnya apabila masyarakat telah memiliki NPWP, harus dan mau menjalani kewajiban sebagai wajib pajak yang harus melapor dan menyetor berapa pajak penghasilan terutangnya. Bukannya habis punya NPWP tog til selesai trus disimpan di dompet saja. Begitu dapat himbauan atau teguran petugas pajak, heboh dan marah-marah sendiri. Yang bijak lur kalau jadi wajib pajak.
Itulah mengapa NPWP kalau hanya dijadikan sebagai prasyarat saja tanpa memperhatikan kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajaknya sendiri.
NPWP bukti kepatuhan masyarakat kepada negara
Memiliki NPWP berarti mempunyai komitmen terhadap negara untuk menyampaikan kewajiban perpajakannya. Mengingat sistem perpajakan di Indonesia yang menurut saya tidak terlalu “saklek” karena menganut sistem self assessment,. Artinya, bahwa semua kewajiban pelaporan adalah inisiatif dari wajib pajak itu sendiri. Tugas serta fungsi dari fiskus hanya mengawasi dan memberi teguran serta sanksi apabila pemenuhan kewajiban perpajakannya tidak memenuhi regulasi.
Menurut artikel Herry Susanto, negara yang berdaulat secara ekonomi adalah tergantung bagaimana wajib pajak memiliki kesadaran dan kepedulian sukarela untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Negara yang maju secara ekonomi adalah negara yang bisa memanfaatkan penghasilan dari sektor perpajakan. Setelah itu, pajak dialokasikan bagi masyarakat melalui pembangunan infrastruktur yang merata.
Namun saat ini, masyarakat masih skeptis kepada pemenuhan kewajiban perpajakan. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tingkat pemenuhan kewajiban perpajakan seperti tingkat ketepatan masyarakat dalam pemenuhan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dan kewajiban perpajakan lainnya.
Saya berharap, masyarakat mampu dan mau untuk berkontribusi membangun negara melalui sektor perpajakan. Melihat saat ini di Kementerian Keuangan telah mereformasi aparaturnya untuk bekerja secara baik dan menghindari kepentingan pribadi seperti kasus-kasus sebelumnya.
Dengan adanya sistem-sistem yang mendukung kinerja aparaturnya sebut saja saat ini Ditjen Pajak memiliki big data untuk menganalisa transaksi perpajakan wajib pajak. Fungsinya untuk mengawasi kewajiban perpajakan wajib pajak serta whistleblowing system yang disediakan oleh Kemenkeu untuk melaporkan perbuatan yang berindikasi pelanggaran di lingkungan kementerian. Hal itu menunjukkan bahwa Kemenkeu berintegritas untuk berusaha menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan bebas dari indikasi pelanggaran.
BACA JUGA Demi Kebaikan, Sebaiknya Pedagang Jangan Menerapkan Tarif Seikhlasnya dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.