Saat orang-orang di media sosial ramai membahas mengenai upselling, saya sudah terlebih dahulu mempelajarinya. Maklum saja, saya memang berkecimpung di ranah disiplin ilmu pemasaran. Sayangnya, lantaran lebih banyak berkutat dengan teori, saya awam perihal praktek upselling di luar buku dan artikel ilmiah. Buktinya, tidak satu atau dua kali saja, saya sebagai konsumen merasa dijebak oleh tenaga penjual yang berusaha meningkatkan omzet mereka.
Sejatinya, upselling merupakan teknik lawas yang sah-sah saja dijalankan. Teknik ini yang biasa diterapkan oleh tenaga penjualan ini berupaya meningkatkan omzet penjualan dengan menawarkan produk-produk tambahan. Idealnya, seorang yang menerapkan taktik ini tidak boleh memaksa maupun memperdaya pelanggan demi tercapainya target penjualan. Sebaliknya, dia harus senantiasa terbuka dan menjelaskan secara gamblang mengenai produk tambahan berikut biaya yang harus dikeluarkan pembeli apabila menyetujui penambahan tersebut.
Nyatanya, strategi marketing yang seharusnya wajar saja dilakukan ini menjadi berkonotasi jelek saat ini. Sentimen negatif muncul karena banyak penjual menerapkan upselling dengan tidak semestinya. Mereka malah seperti membodohi konsumen demi keuntungan sepihak.
Staf penjual memang tidak terang-terangan menipu calon pembeli. Namun, mereka dengan lihat memanfaatkan ketidaktahuan pelanggan dan menyembunyikan informasi. Boleh dibilang, tindakan seperti ini merupakan salah satu tindak kejahatan terselubung.
Berlebihan? Saya rasa tidak. Mengacu pada Undang Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999, pelanggan memang berhak memperoleh kebenaran atas segala informasi pasti. Tidak terkecuali informasi tentang status produk beserta dengan harganya.
Daftar Isi
Upselling ala Starbuck yang perlu diwaspadai
Memesan kopi di Starbucks adalah pengalaman tidak menyenangkan terkait upselling yang pernah saya temui. Seperti yang diketahui, Starbucks di Indonesia memiliki kesan kopi mahal. Tidak semua orang terbiasa dengan menu dan cara memesan di Starbucks. Beberapa orang yang jarang membeli Starbucks atau baru pertama kali jajan di kedai kopi bertaraf global itu akan kebingungan ketika memesan minuman. Akibatnya, pelanggan tipe ini akan iya-iya saja saat barista menawarkan sederet add-on products.
Kesalnya, barista kedai kopi ternama itu cenderung berbicara dengan tempo cepat. Barista seakan-akan tidak memberi kesempatan bagi pelanggan untuk mencerna perkataan mereka. Mereka juga tidak memberi penjelasan terkait harga produk ekstra yang ditawarkan. Wajar, jika pelanggan beranggapan bahwa tambahan sirup, topping, atau penggantian ke susu nabati tidak akan dikenakan biaya.
Kombinasi asimetri informasi dan aspek psikologis konsumen yang baru mencoba pesan minuman tersebut menghasilkan rasa kesal dan penyesalan di ujungnya. Ketika konsumen mencermati struk belanja, mereka baru menyadari telah masuk dalam jebakan penjualan. Trik semacam ini mungkin memang bisa meningkatkan omzet, tapi bukan tidak mungkin memperburuk citra merek.
Trik bioskop melakukan upselling
Pengalaman upselling tidak menyenangkan lainnya ketika hendak menonton film di bioskop. Sebut saja XXI dan Cinepolis. Oh, tentu saja mereka nggak akan melakukan upselling di tiket pertunjukkan. Sudah jadi rahasia umum, bisnis bioskop mendulang keuntungan besar bukan dari tiket, tetapi dari penjualan makanan dan minuman.
Betul, usaha bioskop memang mengimplementasikan strategi cross selling. Namun, tidak lantas mandek di situ. Cross selling produk makanan dan minuman ringan yang dijajakan juga diikuti oleh upselling. Hampir semua staf penjualnya akan langsung menyebutkan harga bundling snack dan minuman ringan dengan iming-iming sedang promo tanpa menerangkan harga satuan jika tidak ditanya.
Tidak berhenti sampai di situ. Saat menawarkan popcorn pun, mereka selalu mengajukan ukuran sedang atau medium (M) dan besar atau large (L) tetapi dengan mengucapkan mau yang besar atau yang kecil. Padahal, yang mereka maksud dengan kecil adalah ukuran sedang atau medium (M). Faktanya, masih ada ukuran yang lebih kecil yaitu small (S) yang cocok untuk kudapan satu orang saja.
Jujur, hal sepele semacam ini membuat saya jengkel walaupun sebagian memang terjadi karena kecerobohan diri sendiri. Untungnya, saat ini snack bioskop sudah bisa dibeli pula lewat aplikasi. Bagaimanapun juga, aplikasi jauh lebih jujur dan terbuka ketimbang staf penjual. Tips lainnya apabila hendak membeli popcorn ukuran paling kecil, tekankan staf untuk memberi size small atau ‘S’ ketimbang berujar size kecil semata.
Tidak hanya dilakukan merek besar
Perkara upselling yang mengesalkan nyatanya tidak hanya terjadi di brand tersohor saja. Kalau mau jeli, usaha menengah pun sering memakai teknik marketing ini dengan tidak semestinya. Mengutip dari utas yang ditulis oleh akun @MrOngDedy di platform media sosial X, tawaran terapis atas pemakaian aroma terapi di panti pijat pun dilakukan dengan upselling terselubung.
Sebelas dua belas dengan kejadian tersebut, saya juga pernah mengecap pahitnya upselling di salon yang namanya tidak diketahui khalayak umum. Karyawan yang bertugas mengeramasi menawarkan penggunaan vitamin rambut. Sialnya, tawaran itu tidak diimbuhi dengan penjelasan akan tambahan harga vitamin yang kalau beli sendiri di minimarket, harganya jauh lebih masuk akal. Sejak saat itu, saya selalu menolak pemakaian vitamin maupun hair tonic di salon, sekalipun yang terakhir itu biasanya gratis.
Tidak masalah jadi pelanggan rewel
Guna mengakali hal tersebut, pelanggan kudu pintar-pintar saat memesan. Misalnya, wajib mempertanyakan setiap penawaran yang diajukan tenaga penjual. Biar saja dibilang rewel daripada rugi sendiri. Alternatif lainnya, konsumen dapat mengecek harga minuman terlebih dahulu di beberapa aplikasi pemesanan makanan secara online untuk mengakali penjual yang nakal.
Melihat beragam fenomena upselling yang terjadi di masyarakat sesungguhnya membuat hati saya sedih. Pasalnya, praktik kotor semacam itu mencederai ilmu pemasaran yang saya tekuni. Saking masifnya perilaku tidak senonoh para penjual, orang-orang mulai beranggapan bahwa strategi marketing tidak lebih dari upaya mengelabui konsumen. Mungkin, ini saatnya menyematkan nama baru untuk praktik penjualan sesat tersebut. Toh, upselling di Indonesia hanya fatamorgana, yang nyata adalah “trap selling”.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Ricuh Strategi Upselling, Ini Jurus Jitu Menghindarinya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.