Jakarta International Stadium, atau biasa disingkat JIS, belakangan ini sedang hangat diperbincangkan. Topik ini menghangat gara-gara pembatalan rencana penggunaan JIS sebagai salah satu venue pertandingan bertajuk FIFA Matchday yang mempertemukan antara tim nasional Indonesia melawan tim nasional Curacao pada 27 September mendatang. Pembatalan tersebut disebabkan JIS dinilai belum memenuhi kelayakan infrastruktur menurut hasil inspeksi tim Infrastructure Safety dan Security PSSI.
Dilansir melalui situs web resminya, PSSI menilai bahwa Stadion JIS belum memenuhi kelayakan dari segi infrastruktur, seperti area drop off tim, sirkulasi aktivitas terkait pertandingan di outer, yang perimeter menumpuk di barat utara. Selain itu, perimeter tribun juga perlu dikaji ulang, karena pagarnya yang dianggap belum kokoh. Bukti lain yang mendukung pernyataan PSSI ini adalah belum memadainya lahan parkir, akses transportasi umum, dan jalan akses menuju stadion. Selain itu, biaya sewa stadion yang tinggi juga menjadi pertimbangan PSSI untuk menggelar laga FIFA Matchday di stadion dengan kapasitas 82.000 penonton tersebut.
Sementara itu, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) selaku badan usaha milik Pemprov DKI Jakarta yang ditugaskan untuk membangun JIS memastikan bahwa Stadion JIS telah sesuai dengan standar FIFA. Menurut laporan metro.sindonews, pihak Jakpro mengatakan bahwa JIS dirancang oleh Buro Happold, seorang konsultan perencana dari Inggris yang berpengalaman merancang stadion-stadion sepakbola modern di Liga Inggris seperti Tottenham Hotspurs Stadium di London, serta perancangan beberapa stadion di Piala Dunia Qatar 2022.
Namun, di sini, saya tak akan berlanjut membicarakan tentang teknis stadion. Saya justru tertarik akan isu lain yang menyertai pembatalan penggunaan JIS ini, yaitu politik.
Unsur politik
Setelah rencana penggunaan JIS batal, sebagai gantinya, PSSI menyiapkan Stadion Pakansari, Bogor dan Stadion Patriot Candrabaga, Bekasi sebagai opsi pengganti JIS. Bila dikaitkan dengan unsur politik, ini mungkin ada hubungannya dengan bursa calon gubernur Jawa Barat, apalagi dua opsi stadion pengganti JIS semuanya berada di wilayah Jawa Barat.
Lho, kok bisa?
Begini. Sudah banyak media mengabarkan kalau Ketum PSSI, Mochamad Iriawan itu berniat maju dalam pemilu, sebagai cagub Jabar 2024. Banyak yang berasumsi, bahwa banyaknya agenda PSSI yang berlangsung di Jawa Barat adalah salah satu upayanya “meraih” hal tersebut.
Yaaa bisa dibilang bahwa agenda-agenda tersebut adalah acara untuk unjuk gigi Pak Iwan Bule ke masyarakat Jabar gitu-gitulah.
Selain isu gubernur Jawa Barat, ada isu politik lain yang menyertai pembatalan JIS. Yak, benar, tentang Anies Baswedan.
Ada pihak yang mengaitkan berita pembatalan JIS menggelar FIFA Matchday dengan masuknya petahana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan ke dalam bursa Calon Presiden 2024. Salah satu aktivis 98, Agung Nugroho mengatakan bahwa tujuan dari membatalkan laga timnas Indonesia melawan Curacao di Stadion JIS adalah untuk menurunkan citra Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Saya mensinyalir statement PSSI itu by order kepentingan politik lokal. Tujuannya jelas untuk menjegal Anies Baswedan dalam bursa capres 2024,” kata Agung.
Entah kedua isu itu benar atau tidak, tentu saja ini masalah yang serius. Sepak bola, seharusnya tetap jadi olahraga rakyat, pemberi kebahagiaan, dan bebas dari politik tai kucing. Bukan jadi alat politisi untuk melancarkan kepentingannya.
Pembatalan JIS ini, semoga hanya perkara teknis, meski tetap saja itu perkara serius. Semoga tak ada lagi pembangunan venue olahraga yang asal bangun tanpa memikirkan standar dan kegunaannya.
Penulis: Muhammad Rizky Putramadiansyah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Anies Baswedan, Jangan Anggap Enteng Ambruknya Pagar Tribun Utara JIS