Mustahil banget bisa bertahan hidup dengan UMR Banjarnegara. Belum habis bulannya dompet udah tiris duluan.
Sebelum tulisan ini saya mulai, mari kita singkirkan sejenak kata-kata semacam “nrimo, nriman, nrimo ing pandum”, dan sebagainya. Sebab jika kata-kata di atas nggak disingkirkan dulu, tulisan ini nggak akan ada artinya. Sepakat? Oke, mari kita mulai.
Jika bicara UMR rendah, kita selalu mengaitkannya dengan Jogja. Nggak salah memang, sebab Jogja (seluruh kota dan kabupaten di DIY) hanya berkisar di angka Rp2,2 juta-Rp2,6 juta. Rendahnya UMR di Jogja ini juga kerap jadi candaan, jadi senjata kritik, bahkan jadi materi self-deprecating bagi warganya. Udah mah biaya hidup di Jogja makin mahal, UMR-nya segitu-segitu aja. Kasihan.
Namun Jogja bukanlah daerah dengan UMR terendah. Jika di atas langit masih ada langit, maka di bawah Jogja masih ada Banjarnegara. Iya, Banjarnegara adalah kabupaten dengan UMR terendah, tidak hanya di Jawa Tengah, bahkan terendah di Indonesia. Semacam combo, Jawa Tengah juga jadi provinsi dengan UMR terendah di Indonesia. Per tahun 2025, UMR Banjarnegara ini hanya Rp2.170.475,32.
Nggak. Kalian nggak salah dengar. UMR-nya memang hanya segitu, memang sedikit. Harga tanah di Kota Batu per meternya saja masih lebih mahal dari UMR Banjarnegara. Bahkan harga Macbook Pro 2015 bekas saja juga masih lebih mahal dari UMR Banjarnegara. Lalu sekarang pertanyaannya, bagaimana orang Banjarnegara bisa bertahan hidup dengan UMR serendah itu? Pasti sulit, bukan?
Membayangkan hidup di Banjarnegara dengan UMR minim
Selama ini, saya hanya pernah sekali mengunjungi Banjarnegara. Itu pun hanya sehari. Ada gigs di sana, dan saya membantu band teman saya main di sana. Tetapi dari waktu yang hanya sehari itu, saya bisa menyimpulkan secara sederhana, bahwa Banjarnegara memang kota yang kalem, kota yang menyenangkan, kota yang jauh dari hiruk-pikuk, dan kota yang biaya hidupnya cenderung murah.
Dari harga makanan, misalnya. Saya masih bisa menemukan makanan dengan harga Rp10 ribu-Rp13 ribu. Sudah enak itu. Harga kopi di cafe-cafe yang umum juga masih berkisar di angka Rp10 ribu-Rp18 ribu. Dari obrolan-obrolan kecil dengan beberapa kenalan di Banjarnegara, saya juga tahu bahwa untuk biaya kos-kosan sudah bisa dapat di angka Rp400 ribu-Rp500 ribu per bulan. Nggak jauh beda sama Malang dan Jogja lah.
Masalahnya, Malang dan Jogja punya UMR yang lebih tinggi ketimbang Banjarnegara, walaupun UMR Banjarnegara dan Jogja bedanya cuma sekitar Rp300 ribu-Rp500 ribuan, sementara dengan Malang bedanya lebih dari sejuta. Dengan biaya hidup yang mirip tapi UMR-nya beda cukup jauh, hidup di Banjarnegara rasanya susah sekali. Saya benar-benar nggak bisa membayangkan jika hidup di Banjarnegara dengan gaji UMR. Berat banget kayaknya.
Ngirit adalah kunci, dobel kerjaan bisa jadi solusi
Pertanyaan yang lain mengenai rendahnya UMR di Banjarnegara adalah bagaimana warga bertahan hidup dengan gaji UMR? Entahlah, hanya orang Banjarnegara dengan gaji UMR yang benar-benar tahu jawabannya. Namun jika boleh meraba-raba, satu-satunya cara bertahan hidup dengan UMR Banjarnegara adalah ngirit. Nggak ada siasat lain.
Nggak ada cara selain ngirit. Ya bayangkan saja misalnya kita hidup merantau ke Banjarnegara—meskipun ngapain merantau ke sana—kerja di sana, dan digaji UMR. Dengan gaji segitu, kayaknya udah habis buat sewa kos, makan, dan biaya harian dalam sebulan. Nggak bisa untuk nabung, nggak bisa dialokasikan untuk dana darurat, dan nggak bisa kirim uang untuk orang tua di rumah. Dengan gaji segitu, kita dipaksa harus benar-benar ngirit.
Gaji segitu memang rendah, dan susah untuk dibilang cukup. Bahkan sudah ngirit pun, kadang masih saja nggak cukup. Biar bisa bertahan hidup, punya kerjaan dobel jadi salah satu cara menyiasati UMR Banjarnegara. Nggak sedikit orang yang rela untuk kerja dari pagi sampe sore, lalu masih ambil lagi beberapa kerjaan lain, demi mencukupi biaya hidupnya.
Susah bertahan hidup
Kalau saya jadi warga Banjarnegara yang punya gaji UMR, jujur saya susah banget untuk bertahan hidup. Matematika saya nggak nyampe untuk hitung-hitungan biaya hidup dengan gaji Rp2,1 juta sebulan. Kalau saya bertahan, bisa-bisa saya nggak punya tabungan, nggak punya dana darurat, dan nggak punya hidup yang panjang. Saya mending merantau saja ke kota yang lebih besar, kota yang UMR-nya lebih tinggi.
Nah, sekarang mari kita kembalikan lagi kata-kata yang sempat kita singkirkan di awal. Mari kita kembalikan kata-kata semacam “nrimo, nriman, nrimo ing pandum”, dan sebagainya ke dalam tulisan ini. Kalau kita kembalikan kata-kata tersebut, UMR Banjarnegara ya mungkin akan cukup-cukup aja, lha wong nrimo ing pandum, kok. Digaji berapa pun ya terima aja, walau sengsara. Itulah mengapa kata-kata di atas sebaiknya disingkirkan dulu.
Untuk menutup tulisan, saya cuma bisa berharap agar nantinya Banjarnegara punya UMR yang lebih tinggi, lebih layak, dan lebih bisa mencukupi kebutuhan warganya. Karena kalau UMR-nya tetap 2,1 juta, sih, jujur… berat, ya.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pariwisata Banjarnegara: Punya Potensi, tapi Kepentok Hal-hal Ini.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
