Malam itu aku baru sehari tiba di Bali dari penerbangan panjang 16 jam dari Zürich. Dengan memakai sepeda motor aku diantar Wayan Jengki Sunarta hendak menemui Umbu Landu Paranggi di rumah Mira di Denpasar. Pada waktu itu Umbu baru saja pulang selepas dirawat di rumah sakit. Seperti biasa, aku membawa beberapa suvenir yang disukai Umbu, yakni syal warna hitam dan topi biru.
Tapi malam itu aku membawa topi pet seperti yang biasa dipakai Che Guevara. Topi itu aku beli dari gudang barang rongsokan di Swiss. Kenapa aku membawa pet seperti itu, karena setahun sebelumnya aku sudah berjanji dengan Umbu. Apalagi ia barusan sakit, tentu ini harus aku utamakan, siapa tahu bisa menyenangkan hatinya. Untuk Mira, sebagai tuan rumah yang ditempati Umbu pascasakit, kubawakan kalung kelintingan sapi Swiss dari logam.
Mira menyambut kami berdua dengan suka cita sambil menyuguhkan kopi panas, namun ketika Mira memberi tahu di kamar Umbu, ia kembali menemui kami di ruang tamu.
“Bapak tidak bersedia menemui.”
Deg. Batinku sedikit meratap. Jengki berusaha menjelaskan bahwa aku barusan mendarat dan ingin bertemu Umbu. Mira undur diri lagi dan kami berdua sambil minum kopi mulai menebak-nebak apa alasan Umbu tidak mau keluar? Perlahan-lahan aku mulai menganyam cerita usang, konon ketika Emha Ainun Nadjib dan Iman Budhi Santosa, sesama alumni PSK (Persada Studi Klub) Malioboro datang, Umbu juga tak mau keluar. Bahkan Umbu kadang kencing di botol aqua sampai penuh. Ketika para tamu sudah pulang, ia baru keluar membuang air kencingnya. Diperoleh jawaban dari Jengki, bukan Umbu membenci orang, namun ia menghindari pertemuan dengan teman-teman lama, supaya keindahan dalam angannya paripurna.
Mira keluar menemui kami sambil berucap,
“Bapak menanyakan kenapa Sigit mengajak Jengki.”
Deg yang kedua. Jengki kaget, apalagi aku. Aku berdiri hendak pamit, tapi aku ditahan Jengki. Aku cari win-win solution, Jengki kuminta menunggu di warung depan rumah dan kelak aku menyusulnya. Mira ikut bingung. Yang jelas, aku tidak mau menemui Umbu sendirian, memisahkan diri dari Jengki. Kan kami datang berdua.
Jengki yang sudah banyak makan garam bergaul dengan Umbu cukup bijaksana, walau aku merasa tidak enak rasa. Ia mengalah, ia yang angkat kaki dan dia mengizinkan aku sendiri menemui Umbu. Jengki mengaku sudah tahu persis karakter Umbu, kalau ia sedang tidak ada mood dengan seseorang, ia tak bakalan menemuinya.
Dengan berat hati aku melepas Jengki pergi, untungnya kami berdua membawa motor sendiri-sendiri sehingga aku bisa pulang sendirian. Harap-harap cemas, hening sesaat di ruangan, suara pintu kamar persis di samping ruang tamu, tempat kami duduk dibuka. Suara sandal menepuk lantai menjauh. Tak sampai lima belas menit, lelaki tua berambut basah gondrong memakai jaket tentara mendekatiku sambil menjulurkan tangan.
Kami bersalaman dan ia duduk di sebelahku. Baru kali ini aku melihat Umbu berjaket loreng hijau dengan rambut basah, pet ala Che aku berikan dan ia pakai. Spontan di benakku, ia seolah gerilyawan yang baru keluar dari hutan.
Seperti biasa Umbu tidak banyak bicara. Ia cenderung sebagai pendengar yang baik dan sepertinya menyaring isi pembicaraan. Ia tidak tergiur untuk ikut percakapanku dan Mira. Ia memilih tema yang ia sukai. Aku merasakan Umbu bukan tipe orang yang ceplas-ceplos tanpa perenungan, asal lawan bicaranya senang. Kehadiran Jengki tadi sama sekali tidak diperbincangkan.
Malam merambat, aku undur diri dengan menggenggam gembira dan kesedihan. Gembira karena Umbu tampak sudah semakin berbinar-binar, sekaligus sedih berpisah dengan Jengki. Esok harinya dari tempat tidurku di Batubulan, aku buru-buru berkabar kepada Jengki lewat SMS dan Jengki juga merasa tidak nyaman. Tapi ia terhibur ketika Mira memberi tahu alasan Umbu tidak mau menemuinya karena Jengki batal mengawini pacarnya yang dari Sunda.
Begitulah Umbu Landu Paranggi, selalu punya alasan-alasan yang tidak bisa ditebak oleh orang di sekitarnya. Jika Dante Alighieri menuliskan puisi agungnya berjudul Komedi Ketuhanan (Die Göttiche Komödie) dengan menghadirkan tokoh pemandu cantik bernama Beatrice, aku membayangkan Jengki adalah pemanduku berkenalan dengan Umbu.
Ketika Gustav Janouch, penyair berusia 17 tahun di Praha, bertemu Franz Kafka yang berusia 37 tahun, kubayangkan mirip Jengki yang masih berusia 17 tahun bertemu Umbu yang berusia 50 tahun.
Serpihan pertemuan antara Jengki dan Umbu Landu Paranggi. Umbu mengharapkan puisi itu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Mencintai puisi tidak harus menjadi penyair. Sejalan dengan itu Kafka menyarankan, seharusnya orang membaca setiap hari satu puisi saja, bukan dua. Jengki memberi pandangan, puisi membersihkan kehidupan karut-marut setiap hari.
Pada suatu malam di sebuah kafe di Denpasar, aku bersama Puthut EA dan Eko Suwardono sedang merayakan pertemuan yang terjadi setahun sekali, ketika aku mudik ke Indonesia. Ponselku bertalu saat Jengki mengabarkan dirinya sedang bersama Umbu, sekiranya kami akan bergabung. Cuma malam begitu menahan kami untuk beranjak pergi.
Sebelum aku bertemu Umbu langsung, terlebih dahulu pada 2005 aku menyelundupkan buku perdanaku Menyusuri Lorong-lorong Dunia lewat satpam Bali Post untuk diberikan kepada Umbu. Ritual penyelundupan buku karyaku itu terus berlangsung setiap aku punya buku baru. Satu novel terjemahanku, Proses (Der Prozess), sengaja aku kirimkan dari Swiss ke Umbu karena aku mendapat jatah sebagai penerjemah dari penerbit Gramedia.
Suatu saat aku dikenalkan Jengki kepada Rara Gendis. Rara bercerita ketika bertemu Umbu di Bali Post, Umbu menanyakan kabar Sutardji Calzoum Bachri. Seketika itu Rara menelepon Tardji dan setelah telepon bersampung, dioperkan ke Umbu. Dua penyair itu saling bertukar kabar, tetapi Rara tidak memerinci isi pembicaraan.
Pada tahun 2009 aku yang sedang di rumah Batubulan kedatangan Shiho Sawai, mahasiswi Jepang yang sedang belajar di UGM. Ia bermaksud bertemu Umbu, Warih Wisatsana yang jadi pemandunya untuk mempertemukan dengan Umbu, mengingat Jengki pada waktu itu masih bekerja di Desa Ababi, Karangasem. Setelah Shiho kembali ke rumah, ia bilang kepadaku, “Hebat! Hebat sekali Umbu lho. Kang Sigit.” Aku pun larut dari kisahnya.
Dari Prabowo sampai Sujiwo Tejo
Umbu Landu Paranggi semakin nyaring di telingaku, tapi aku sendiri masih belum pernah bertemu sendiri. Pada 6 April 2013, Jengki bersama Helmi dan aku bersama Bob Martokoesoemo bermaksud menemui Umbu di Bali Post. Ritualnya, kami mempersiapkan minuman berupa bir, Coca Cola, aqua dan cemilan dari aneka ragam gorengan khas warung Bali dan tak lupa rokok kretek.
Jengki memberi tahu satpam dan kami duduk di kedai Bali Post Jalan Kepundung No. 67 A. Dengan harap-harap cemas, Jengki memberi petunjuk, kalau Umbu ada dan bersedia menemui kami, ia akan turun dari undak-undakan gedung tingkat Bali Post itu.
Nah, sosok lelaki kurus itu menuruni tangga beton dan menuju kerumunan kami. Setelah aku dan Bob mengenalkan diri, ia diam sejenak. Aku merasa gembira, Umbu benar-benar berada di depanku, sambil aku menganyam legenda berseliweran yang pernah kudengar. Ada yang bilang Umbu sering membawa tas kresek hitam berisi naskah puisi. Ada yang cerita, Umbu ibarat nomaden, tidak diketahui tempat tinggalnya.
Bahkan ada seorang teman yang menguntit gerak Umbu dari Bali Post pulang menuju ke mana, tapi si penguntit itu kehilangan jejak di pertigaan. Ada lagi kisah Umbu dan nasi bungkus, ketika ada penyair muda di Bali yang puisinya dimuat media nasional, Umbu memberi bonus ke penyair itu nasi bungkus. Nasi bungkus jatah makan dia, dikasihkan si penyair.
“Ini nasi bungkus Republika,” kata Umbu kepada Jengki karena puisi Jengki dimuat di koran Republika.
Sosok Umbu aku amati dari dekat, wajahnya mirip sebuah rangkuman kehidupan dan seisi alam. Cara bicaranya dengan tekanan suara yang kuat, berwibawa, tak pernah mengulang diksi yang sudah lepas. Sesekali ia mengisap rokoknya dan minum bir yang dituangkan di gelas plastik kecil. Cemilan gorengan dari tepung atau kacang goreng ia makan.
Entah bagaimana dalam pertemuan pertama itu aku langsung memanggil Umbu, tak seperti teman-teman lain yang memanggil Pak Umbu. Belakangan aku baru sadar, kenapa aku seperti tak menghormati orang tua, panggil nama langsung. Dan Umbu tidak bereaksi apa-apa. Waktu itu aku baru tiba dua hari dari Swiss, di mana sehari-hari aku biasa memanggil nama orang tu apun dengan panggilan langsung. Rupanya Umbu bukan pemuja adat hierarkis.
Ternyata Umbu tidak hanya bicara tentang puisi. Malah ia lebih tertarik bicara tentang pilkada di Bali. Calon-calonnya, ia juga menyebut Partai Gerindra dan Prabowo. Termasuk Sujiwo Tejo dan acara Mata Najwa di Metro TV yang kritis.
Begitu cairnya Umbu mengonter keadaan politik dalam negeri. Percakapan mengalir begitu saja, kadang kembali ke puisi lagi. Ia mengharapkan bentuk puisi yang prosais atau prosa yang puitis.
Jika tema puisi mulai bergulir, ia mulai kembali mengenang Yogya. Ia sebutkan, beruntung menemukan surganya Yogya di tahun 1970-1975-an. Ia akui selama berada di Yogya sempat berpindah indekos dua kali. Dan tuan rumahnya kebetulan selalu dukun yang percaya dengan Kejawen.
Gambaran Yogya itu seperti apa dari Sumba sana, kampung halaman Umbu? Saat itu Umbu sudah mendengar Yogya itu pusatnya orang-orang pintar. Menurut Umbu sesampai di Yogya memang benar omongan itu. Ia sekolah di SMA Bopkri Yogya. Sejak itu ia sudah gemar membaca buku sastra di perpustakaan. Ia merasa beruntung satu indekos dengan teman asal Riau yang memengaruhinya untuk membaca buku-buku.
Tentang PSK ia tak banyak menyinggung, entah kesanku ia bukan tipe yang gemar beromantika. Tapi ia memuji kecerdasan Emha dan ketekunan Iman Budhi Santosa. Pernah di lain kesempatan aku tanya, kenapa Umbu tidak berminat bertemu Emha? Ia menjawab, karena dia tidak menulis karya. Meskipun aku tahu Emha menulis banyak buku, mungkin maksudnya Umbu adalah buku sastra atau puisi.
Ia cerita tentang Ragil Suwarna Pragolapati, teman PSK yang hilang karena kritis mengkritik pemerintah. Teman-teman merespons dengan membandingkan dengan penyair Wiji Thukul yang juga dihilangkan penguasa.
Tak terasa obrolan sudah sampai pukul 02.00 dan kami semua berpindah ke warung Padang di Jalan Hayam Wuruk, langganan Umbu. Di warung itu obrolan diperpanjang sampai pukul 04.00, kemudian kami mengantar Umbu sampai Bali Post dan kembali ke rumah masing-masing.
Kesempatan kedua bertemu Umbu pada Sabtu malam, 4 Mei 2013. Lagi-lagi Jengki berperan seperti Beatrice. Kali ini sebelum aku datang di kedai Bali Post, sudah menunggu pemuda asal Medan berperawakan India bernama Selwa Kumar. Ia mengaku sudah tiga kali ke situ ingin bertemu Umbu, tapi tak berhasil. Jengki datang mengajak Muda Wijaya dan Helmi lagi, aku datang dengan Latto Moga Uchikawa, kawan asal Ambarawa. Tak berapa lama ada beberapa orang bergabung, seorang dari Balai Bahasa Denpasar dan dua muda-mudi anak SMA.
Umbu turun dari tangga gedung Bali Post, kami saling bersalaman. Ia cerita banyak hal, antara lain pernah mengaku main drama Hamlet bersama ayah Rendra. Umbu menjadi Laertes, anaknya Polonius. Ayah Rendra menjadi Polonius. Rendra kala itu baru datang dari Amerika, menatap Umbu dari jarak dekat, membuat Umbu berkeringat.
Terkait Rendra yang sering mengirim puisi ke koran yang redakturnya Umbu di Yogya kala itu, Rendra tidak dapat honor. Umbu menirukan ucapan Rendra, “Mana honorku, Umbu?“ Ia jawab, “Tidak ada uang, Mas.“ Rendra: “Harus ada, masak tidak ada.“ Umbu: “Benar, Mas, sedang tidak ada uang.“ Rendra: “Pokoknya nanti diantar, ya, harus ada itu honornya.“ Pada kesempatan lain Umbu ke rumah Rendra, tapi ia tidak membawa uang, melainkan membawa beberapa rokok, “Ini, Mas, honornya,” kata Umbu. Rendra jawab, “Nah, begitu, nulis puisi harus dapat honor.“ Kesan Umbu bahwa sebenarnya Rendra itu sangat jawani. Perilaku dan sifat Rendra Jawa sekali.
Umbu bilang kepada seorang dari Balai Bahasa di kedai Bali Post itu bahwa tulisannya masih ia simpan. Kemudian Umbu berbalik mengatakan kepadaku, “Kafka bagus sekali, tulisan Sigit yang difotokopi dulu juga masih aku simpan.“ Aku agak kaget, ternyata tulisanku tentang Kafka yang kuberikan Jengki dulu, sampai di tangan Umbu.
Menjelang pukul 02.00 lapar membakar perut, kami semua hengkang mencari warung Padang yang menjadi langganan. Di warung itu obrolan dilanjutkan. Umbu akui sebenarnya ia suka tiga tempat, Yogya, Bandung, dan Bali. Sayang, ia tak sempat mampir ke Bandung walau ia akui dulu di Bandung banyak sastrawannya. Mendekati pukul 04.00 Jengki menyuruhku mengantar Umbu ke kedai Bali Post,.“Sana Umbu kamu antar, biar merasakan memboncengkan empu.“
Pada kesempatan yang lain bertemu Umbu, ia lebih suka menyitir baris-baris Sumpah Pemuda, yang ia anggap sebagai sebuah puisi yang bertenaga. Mengetahui aku berasal dari Kendal, ia memberi tahu bahwa komponis lagu “Garuda Pancasila” berasal dari Kendal. Belakangan baru kutahu komponis itu bernama Prohar Soedharnoto.
Keasyikan berbicara tentang Kendal, aku dan teman-teman berhasrat mengajak Umbu menyeberang ke Jawa lagi dalam sebuah acara sastra. Beberapa kali Umbu meyakinkan, agar aku mengaturnya dengan Jengki. Persiapan kecil telah kami mulai dengan mencetak tas gambar Umbu, mendirikan gazebo di kebun dengan nama Umbu. Rencana itu mendadak batal, ternyata KTP Umbu sudah mati sejak tahun ‘80-an, niscaya tak mungkin membeli tiket pesawat tanpa KTP. Gantinya Jengki dan Muda Wijaya yang kami hadirkan ke Kendal untuk menggantikan Umbu.
Dari pertemuan dengan Umbu beberapa kali, rata-rata selama enam jam itu, aku merasa mendapat tambahan amunisi bagaimana bersetia dengan puisi. Ada pesan yang tak terucap dari Umbu, ada dorongan yang tak menggebu, mengendap dalam ketenangan batin lewat sandi-sandi yang diwakili oleh mata, rambut, dan wajah. Saat bertemu itu aku tak menyerahkan puisi satu pun, memang aku jarang menulis puisi. Namun, kawanku Bob dan Uchikawa menyerahkan dua lembar kertas puisi. Pada kesempatan sebelumnya, penyair Tan Lioe Ie di Denpasar membocorkan kalau kirim puisi ke Umbu jangan sedikit, yang banyak sekalian. Pertimbangan Tan, jika orang menulis puisi beberapa buah langsung dimuat, kelak penulisnya akan cepat puas, tapi setelah itu malas, tidak berlatih lagi. Namun, jika menulis dalam jumlah banyak, pasti ada proses panjang yang telah dilewati.
Nah, sejak aku bertemu Umbu itu, aku merasa semakin berani untuk mencoba menuliskan puisi, sambil mengingat-ingat wangsit Tan. Maka aku tulis puisi hampir setiap hari, semacam buku harian puisi. Tak terasa setiap bulan aku bisa mengumpulkan sekitar 20 puisi. Puisi-puisi itu aku kirim semua ke Umbu lewat pos. Beberapa bulan kemudian, di luar dugaanku, Jengki lewat chatting di Facebook mengabarkan, “Puisimu dimuat Umbu di Bali Post.“ Aku kaget bercampur haru karena selama ini aku tidak pernah punya puisi yang dimuat media, ya selain jarang menulis puisi. Akhirnya aku tahu puisiku pertama yang dimuat oleh Umbu berjudul Pohon Bambu di Kamarku.
Kubayangkan ulang bagaimana caraku menulis puisi panjang yang tergolong prosa liris itu. Ah, aku hanya menuliskan angan-angan yang semiabstrak. Aku sengaja tidak memakai tanda baca koma ataupun titik. Aku nekat saja ingin mencoba mengusung cara James Joyce menutup novelnya Ulysses dengan monolog interior.
Biasanya aku menulis puisi pada setiap bangun pagi menjelang berangkat kerja. Jika waktu itu tidak cukup, malamnya aku lanjutkan lagi. Entah, minat menulis puisi itu tak redup dalam berbagai jeda kehidupan. Beberapa kawan dekat yang aku beri tahu dengan kegiatan baruku itu, mereka menyangka pasti perlu perenungan yang mendalam, tak mungkin bisa seproduktif itu. Aku kira biasa saja menulis, toh memori itu sudah bertumpuk bertahun-tahun. Kadang aku menulis puisi dari peristiwa yang terjadi kemarin sore, tadi malam, atau yang sudah 30-40 tahun silam di belakangku. Biasanya makin jauh jaraknya, makin abstrak dan remang isi maupun bahasanya. Beruntung, Jengki dan kawan-kawanku di Bali kadang mengabarkan jika ada puisiku dimuat di Bali Post edisi Minggu. Sampai kini, sekitar 17 puisiku dimuat oleh Umbu dalam rentang 2013-2014.
Setiap tahun aku kembali dari Swiss ke rumahku di Batubulan dan akan selalu kusempatkan menemui Umbu lagi. Mungkin kami akan duduk-duduk dengan diam. Ada peristiwa serupa, Marcel Proust dan James Joyce duduk di sebuah kafe di Paris. Para pengarang muda dan wartawan menunggu dengan antusias, kira-kira apa yang akan dibicarakan dua maestro itu? Ternyata antara Proust dan Joyce tidak bicara apa-apa.
Tapi Umbu bicara. Entah apa pun tema pembicaraan, biasanya akan selalu bermuara ke puisi. Semacam pengelanaan renungan yang dikawal oleh sang empu. Sang empu tak banyak petuah, tapi kekuatan batinnya sangat terasa. Kesanku Umbu tak menyukai humor, sesekali saja. Ia seperti pendamba suasana yang khidmat bersahaja apa adanya dan damai.
Terakhir aku bertemu Umbu Landu Paranggi pada tahun 2016, ketika aku mendiskusikan dua bukuku berjudul Kesetrum Cinta dan novel Proses karya Franz Kafka yang kuterjemahkan dari bahasa Jerman. Aku datang ke Bali dengan Prima Sulistya, editor buku Kesetrum Cinta. Ketika kami mendatangi Umbu di rumah Mira, ia minta kami menuliskan perjalanan bedah bukuku dari Bandung, Semarang, dan Malang untuk dimuat di Bali Post. Prima menuliskan secara kilat dan disetorkan ke Umbu. Malam hari acara dihelat di Jatijagat Kampung Puisi dengan dihadiri Umbu. Ia datang dan duduk di belakang hingga larut malam.
Yang paling menakjubkan buatku, Umbu bisa tahu dan hafal nama penyair di daerah lain. Sebut saja Gus Tf Sakai, ia sering singgung penyair Padang ini yang karyanya sering dimuat Kompas. Ketika Korrie Layun Rampan kami undang di acara sastra di Kendal, ia mengaku pernah menunggu Umbu di Bali Post, namun Umbu tak muncul.
Kalau aku harus mempersamakan sosok Umbu Landu Paranggi dengan penyair dunia, pilihanku cenderung pada penyair Argentina Jorge Luis Borges. Selain keduanya penyuka Franz Kafka, Borges menghabiskan sebagian hidupnya di Eropa, bahkan meninggal pun dimakamkan di Jenewa. Umbu sebagian besar hidupnya dihabiskan di Yogya dan Bali. Jika Umbu tempat tinggalnya tak jelas, rumahnya Borges di Buenos Aires temboknya mengelupas dan atapnya bocor. Entah apakah Umbu masih suntuk membaca karya, kalau Borges setelah memasuki usia 50 tahun ia tak mau lagi membaca karya yang pengarangnya masih hidup. Ia baca karya yang sama berulang-ulang, terutama karya dari abad ke-19 ke bawah. Ia menyadari usianya sudah tak banyak tersisa lagi.
Pada Selasa 6 April 2021 sebuah berita WhatsApp dari teman G.M. Sukawidana di Bali masuk ponselku,
“Mahaguru Penyair Umbu Landu Paranggi telah wafat pukul 03.55 WITA di RS. Bali Mandara, Sanur, Bali. Semoga beliau damai di alam keabadian.“
Aku terdiam sesaat dalam hening. Tiga bulan lalu, pada 10 Desember 2020, Iman Budhi Santosa telah pergi, sekarang Umbu Landu Paranggi menyusulnya. Kuteringat selarik puisi Pablo Neruda berjudul “Perpisahan”.
Bumi, kucium kau dan selamat berpisah
Semoga Umbu berkumpul Rilke dan Borges di panteon abadi.
BACA JUGA Terima Kasih Umbu Landu Paranggi Telah Membuat Malioboro Romantis dan tulisan Sigit Susanto lainnya.