Kota Salatiga menyimpan udara dingin, pemandangan indah, dan satu kampus Islam negeri yang juga adem. Terlalu adem. Saking ademnya, nama kampus ini hampir tak pernah terdengar di tengah riuhnya jagat perkuliahan nasional. Inilah dia: UIN Salatiga, kampus yang kalau kamu sebut namanya, orang mungkin akan menjawab, “Hah? Itu yang di Semarang, ya?”
Tidak, Pak. Kami bukan UIN Walisongo. Kami tetangganya yang kalem, tidak banyak gaya, dan memang belum terkenal. Tapi justru karena belum terkenal itulah, tulisan ini perlu hadir—semacam pengakuan jujur dari dalam tubuh kampus sendiri. Bahwa meski status sudah naik kelas jadi “Universitas Islam Negeri”, nyatanya kami masih seperti anak magang di jagat akademik Indonesia.
UIN Salatiga tak dikenal, bukan berarti tak ada
Naiknya status dari IAIN ke UIN pada 2022 seharusnya menjadi momentum penting. Tapi yang terjadi justru semacam “upgrading nama” yang tidak diikuti upgrading identitas. UIN Salatiga masih seperti kampus yang berjalan dalam bayang-bayang: tidak buruk, tapi tidak cukup menonjol juga.
Warga Salatiga pun kadang masih menyebut kampus ini dengan nama lama. Mahasiswa dari luar kota harus menjelaskan panjang lebar setiap kali ditanya, “Kampusmu di mana?” Jawabannya bisa sepanjang makalah tugas akhir: UIN Salatiga, itu loh, kampus Islam negeri, yang dulu IAIN, tapi bukan UIN Walisongo, dan bukan juga STAINU Temanggung.
Sayangnya, branding kampus tidak secepat perubahan papan nama. Media sosial kampus kaku seperti dosen yang baru belajar Canva. Konten promosi seadanya. Bahkan wisuda pun kadang terdengar seperti agenda keluarga besar ketimbang perayaan akademik.
Fasilitasnya naik, popularitasnya belum
Secara fisik, UIN Salatiga sebenarnya sedang tumbuh. Gedung-gedung megah bermunculan di Kampus 3. Masjid kampus bergaya Timur Tengah berdiri anggun, perpustakaan naik kelas jadi ikon, bahkan ada jalur pejalan kaki yang cantik (asal nggak dipakai parkir motor).
Tapi semua itu belum cukup mengangkat reputasi. Pembangunan infrastruktur tidak dibarengi dengan penguatan identitas akademik. Apa yang UIN Salatiga tawarkan secara keilmuan? Apa spesialisasi unggulannya? Bahkan mahasiswa sendiri pun kadang bingung menjawabnya.
Alih-alih jadi pusat diskusi Islam progresif, kampus ini lebih sering jadi pusat fotokopian, warung burjo, dan cari Wi-Fi gratis.
Birokrasi UIN Salatiga: beriman tapi ribet
Kalau ada hal yang paling konsisten di UIN Salatiga, itu adalah birokrasi. Sistem administrasi kampus ini menguji bukan cuma akal sehat, tapi juga kadar keimanan.
Untuk mengurus surat aktif kuliah, kamu harus melewati ujian kesabaran level wali santri: minta tanda tangan dosen wali, ke TU fakultas, balik karena kurang materai, nunggu petugas yang lagi rapat, sampai akhirnya surat selesai… pas kamu udah lulus.
Saking njlimetnya, beberapa mahasiswa mengaku lebih cepat mengurus surat nikah di KUA daripada surat dispensasi ujian. Ironis, mengingat visi kampus adalah “UIN Internasional yang Islami dan Unggul”. Tapi kalau bikin transkrip aja harus puasa dulu, entah kapan internasionalnya tercapai.
Baca halaman selanjutnya
Dosen: antara cerdas dan sibuk sendiri
UIN Salatiga sebenarnya punya banyak dosen keren. Banyak yang lulusan luar negeri, punya publikasi ilmiah, dan ahli di bidangnya. Tapi tantangannya satu: mereka terlalu sibuk. Seminar, pelatihan, pengabdian masyarakat, kadang bikin mahasiswa hanya ketemu PPT kosong dan tugas yang copy-paste dari tahun lalu.
Sebaliknya, ada juga dosen-dosen muda yang keren, terbuka, paham riset dan peka isu terkini. Tapi mereka kadang kalah cepat naik jabatan dari dosen senior yang sudah nyaman mengajar dengan gaya monolog dan PowerPoint zaman batu.
Akhirnya, mahasiswa sering merasa antara kagum dan bosan. Kagum karena dosennya pernah jadi keynote speaker di luar negeri, bosan karena materi kuliahnya masih nyuruh nulis makalah 15 halaman yang ujung-ujungnya dibaca juga nggak.
Melirik kampus lain: iri, tapi tetap istighfar
Tak bisa dimungkiri, mahasiswa UIN Salatiga sering iri pada kampus lain. Di saat UIN Jogja upload foto konferensi internasional, UIN Jakarta rilis jurnal Q1, dan UIN Bandung kolaborasi riset lintas negara, UIN Salatiga masih sibuk bikin pelatihan MC tingkat fakultas.
Desain kampus pun tidak mendukung pencitraan. Di saat kampus lain punya mural dan spot Instagramable, kami masih bangga dengan lorong panjang berlampu temaram dan taman rumput setengah hidup. Keren sih… buat konten horor.
Tapi ya sudahlah. UIN Salatiga memang belum jadi bintang utama. Tapi bukan berarti kami tidak punya harapan. Di balik semua kesunyian, masih ada mahasiswa yang rajin baca jurnal, ikut diskusi lintas iman, aktif di organisasi sosial, dan diam-diam bermimpi besar.
Mungkin ini waktunya UIN Salatiga tidak cuma adem di suhu, tapi juga panas di semangat. Tidak hanya islami di spanduk, tapi juga unggul dalam karya. Tidak cuma dikenal sebagai kampus “yang deket Terminal Tingkir itu”, tapi jadi rumah pengetahuan yang sesungguhnya.
Kalau semua itu terjadi, kita tak perlu iri lagi. Cukup bangga, sambil bilang, “Dulu kampus ini sepi. Tapi sekarang? Lihat saja.”
Penulis: Siti Karimah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nama Resmi UIN Memang Terlalu Sulit untuk Dihapal
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
