Selama kuliah, saya betul-betul menikmati segala prosesnya. Tugas yang menumpuk hingga menunda dalam pengerjaan tugas tersebut—yang biasa dikenal dengan istilah prokrastinasi—, lelahnya belajar, pulang malam, merasakan jauh dari orang tua karena harus menjadi anak kos tulen, sampai mengejar cinta gebetan selama tiga tahun meski pada akhirnya tak mendapat respon.
Laiknya kebanyakan mahasiswa, saya juga memerhatikan penampilan diri dan sempat memiliki rambut gondrong—karena kebijakan fakultas, akhirnya rambut saya hanya bertahan beberapa bulan. Ditambah sewaktu kuliah saya sempat menjadi asisten laboratorium, semacam asisten dosen hanya saja khusus untuk kebutuhan praktikum para mahasiswa.
Ada beberapa hal yang saya rindukan selama belajar di bangku perkuliahan. Dari awal kuliah saya sudah menyadari bahwa, biaya kuliah sampai dengan lulus tidaklah sedikit. Jadi saya memutuskan untuk belajar dengan serius dan membuat orang tua bangga.
Batin saya pun sempat terkoyak sewaktu Ibu memberi tahu—untuk biaya kuliah Ibu harus meminjam uang di koperasi. Hal itu dilakukan guna menutupi biaya kuliah saya tiap semesternya sampai dengan kelulusan—termasuk membayar acara wisuda beserta toga. Oleh karena itu, saya berniat untuk bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu selama kuliah.
Ibu pun selalu berdoa untuk setiap aktivitas yang saya lakukan selama kuliah—agar diberi kelancaran, kesehatan, dikelilingi oleh teman yang baik, juga semangat dalam belajar. Begitu harapnya yang juga selalu diucap dalam doa. Begitu mujarabnya doa dari orang tua sehingga apa yang diharapan Ibu akhirnya menjadi nyata. Selama kuliah dari awal sampai dengan lulus, saya selalu dikelilingi oleh orang baik—yang kini menjadi sahabat saya. Mereka berasal dari beberapa daerah—ada yang dari Aceh, Medan, Jawa Tengah, Jakarta, dan kota lainnya. Jika boleh mengutip lirik lagu Project Pop, kiranya “nggak disebut jangan marah”—sebab terlalu banyak sahabat saya yang juga berasal dari berbagai daerah.
Ada banyak beberapa tingkah laku mereka yang masih saya ingat hingga kini—khususnya gaya belajar mereka. Paling saya ingat adalah soal celotehan salah satu teman sebelum ujian dimulai entah untuk mengurangi rasa cemas atau hanya sekadar membuat yang lain panik, “Duh, belum belajar nih. Pusing—pasti dapet nilai jelek deh.”
Kalimat tersebut, di satu sisi begitu menenangkan karena berhasil membuat saya berpikir paling tidak berkurang satu pesaing salam mendapatkan nilai yang diharapkan, meski pada akhirnya saya tetap berhati-hati dalam pengerjaan soal ujian.
Pada sisi yang lain, ucapan tersebut akan amat sangat menyebalkan jika nilai atau hasil akhir teman saya tersebut justru adalah yang paling tinggi di kelas. Kerap kali saya misuh atas hasil baik yang dia dapat—bukan karena iri—melainkan karena kebohongan yang dikatakan sebelumnya, belum belajar tapi kok ya nilainya bagus. Yang seperti ini layak disebut pencitraan.
Saya selalu berpikir keras selama kuliah, untuk apa sih hal itu dilakukan? Untuk apa ucapan itu disampaikan kepada kami yang sudah belajar begitu keras namun hasil belum juga maksimal? Padahal kalau pun bicara jujur sudah belajar dan yakin dengan hasil baik yang didapat nantinya pun tidak apa—khususnya bagi saya.
Sampai dengan saya lulus, dapat dikatakan saya benci dengan kalimat itu, kalimat dusta yang disampaikan secara halus namun menyisakan sakit yang mendalam. Namun, sampai dengan saat ini saya belum juga mengetahui tujuan sebenarnya mengapa ucapan itu disampaikan. Hanya ekspresi tanpa berdosa yang diperlihatkan sambil dengan entengnya berkata, “kok bisa ya (dapat nilai bagus)?” –sakarepmu!
Setelah berkali-kali merasa ditipu oleh kalimat itu, akhirnya saya belajar untuk fokus saat menghadapi ujian tanpa menghiraukan ucapan apa pun yang keluar dari mulut teman saya. Dikhawatirkan berpotensi mengucapkan kembali kalimat pencitraan yang lain.
Perbedaan mulai dirasakan setelahnya, hati saya menjadi lebih tenang selama menjalani ujian pun mengisi soal tanpa ada ucapan yang dirasa membebani. Jika saya kesulitan dalam menjawab—apalagi soal esai—saya selalu bersiap mengarang bebas tanpa menghilangkan poin inti dari jawaban yang dibutuhkan.
Jika soalnya pilihan ganda? Bisa dengan menggunakan teknik menghitung kancing tang-ting-tung. Paling tidak hal demikian hanya dinikmati oleh saya sendiri dan tidak menyusahkan orang lain—juga tidak sampai membuat contekan. Apalagi sebelum ujian dengan santainya mengatakan, “Duh, belum belajar nih. Pasti dapat nilai jelek.”