Ada benda kecil yang belakangan ini bikin saya merasa paling merdeka sebagai manusia modern, yakni tumbler Lion Star milik saya. Warnanya biasa saja. Bodinya plastik yang kalau jatuh ke lantai bunyinya lebih mirip ember kecil daripada produk gaya hidup. Ia tidak estetik, bukan limited edition, dan tidak layak masuk feed Instagram siapa pun kecuali kalau saya sedang iseng.
Akan tetapi ada satu keunggulan yang membuatnya tak tertandingi oleh tumbler-tumbler mahal berkilau yang sering jalan-jalan naik KRL. Kalau hilang, tidak ada satu pun manusia di republik ini yang akan terancam kehilangan pekerjaan.
Itu modal utama saya menjalani hari dengan tenang.
Tumbler sebagai penanda kelas sosial
Beberapa hari belakangan, Indonesia diguncang turbulensi sosial mengenai “tumbler hilang di KRL”. Drama ini lengkap dengan kehilangan, laporan, utas panjang, viral, perdebatan nasional, sampai akhirnya seorang petugas KAI diduga dipecat. Orang-orang panik. Netizen marah. Para komentator Twitter mengerahkan jurus analisis kelas, keadilan, etika, sampai konspirasi manajemen.
Sementara itu saya cuma memandangi tumbler Lion Star saya sambil berkata dengan penuh kasih, “Bro, lihat kan? Kamu memang tidak secantik mereka, tapi kamu aman.”
Lion Star adalah tumbler awet dan murah
Entah kenapa tumbler Lion Star saya punya aura menghibur yang kuat. Ia tidak pernah membuat saya merasa harus menjaga citra. Ia tidak menuntut feed Instagram untuk menerima dirinya apa adanya. Dan yang paling penting, ia tidak menuntut saya untuk waspada setiap detik ketika naik transportasi publik. Karena kalau tumbler saya ini sampai hilang… ya sudah. Dua puluh ribu atau dua puluh lima ribu hilang, hidup lanjut.
Yang jelas tidak akan hilang adalah jabatan siapa pun
Coba bayangkan saya datang ke petugas KRL sambil berkata, “Mas, saya kehilangan tumbler Lion Star warna ungu kelunturan ini.”
Petugas mungkin akan menatap saya dengan tatapan yang menyiratkan, “Pak, ini benda pasti bisa diganti dengan uang kembalian mie ayam.”
Tidak akan ada rapat darurat, tidak akan ada investigasi, tidak akan ada pernyataan resmi. Tidak akan ada headline “Petugas KRL Diberhentikan karena Tidak Menemukan Tumbler Lion Star Milik Penumpang”. Bahkan netizen pun tidak akan peduli. Mereka mungkin cuma akan komen, “Lah, beli baru, Bang.” Dan, jujur saja? Itu menyenangkan.
Tumbler murah punya kelebihan yang mungkin tidak tertera di kotaknya: bebas konsekuensi sosial.
Orang-orang sering bilang barang mahal punya “value” lebih. Betul. Tapi barang murah punya kebebasan lebih. Dan kebebasan ini bukan main-main mulai dari kebebasan dari kecemasan, kebebasan dari drama, kebebasan dari keributan publik, dan kebebasan dari efek samping tak terduga seperti… ya itu tadi, karier orang lain ikut bubar.
Tumbler Lion Star saya tidak mampu membuat orang terancam PHK. Ia mungkin tergores, penyok, atau warnanya memudar karena tersengat matahari, namun ia tidak berbahaya secara sosial. Ia tak punya kuasa meruntuhkan reputasi institusi transportasi. Bahkan ia tidak cukup elegan untuk memicu kerusuhan moral dan tidak cukup mewah untuk memancing perang komentar.
Dengan kata lain, tumbler Lion Star aman secara sosial-politik
Kadang saya merasa dunia tumbler mahal dan tumbler murah ini seperti dua realitas paralel. Tumbler mahal mengandung seluruh kecemasan kelas menengah yang harus estetik, harus premium, harus Instagrammable, harus memancarkan “aku peduli lingkungan tapi tetap fashionable”. Begitu hilang, shock-nya bisa lebih besar dari hilangnya charger laptop.
Sementara tumbler murah saya? Hilang, ya sudah. Ketemu lagi, bonus. Pecah, beli baru. Dipinjam teman dan tidak balik, anggap amal. Tidak ada yang perlu ditulis menjadi utas panjang.
Kelebihan tumbler Lion Star bukan cuma soal murah atau awet. Tapi juga tentang bagaimana ia tidak membawa beban simbolik apa pun. Tidak ada kisah “ini barang limited edition dari Jepang”. Tidak ada label “ini eco-friendly dengan double insulation”. Ya, tidak ada nilai moral di dalamnya.
Dan justru karena tidak ada beban itu, saya bisa menempuh kehidupan publik dengan tenang. Saya tidak perlu memikirkan, “kalau saya lupa taruh di bawah kursi, apakah karier seseorang akan terguncang?” Jawabannya pasti tidak. Tidak mungkin. Mustahil.
Kadang saya merasa Lion Star ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap dunia yang terlalu drama. Dunia yang menganggap benda kecil sebagai representasi martabat. Dunia yang bisa mengorbankan orang hanya karena satu objek hilang dari tempatnya.
Dengan tumbler Lion Star, saya belajar sesuatu yang sederhana. Kadang nilai terbaik dari suatu barang bukan pada harganya, tapi pada ketidakmampuannya menimbulkan kekacauan sosial.
Tetap setia dengan tumbler Lion Star yang murah meriah
Saya tetap setia pada tumbler murah saya. Bukan karena saya anti barang mahal, silakan beli, pakai, banggakan, itu hak setiap orang. Tapi saya pribadi merasa lebih damai hidup bersama barang yang tidak punya potensi memicu episode baru dari sinetron nasional.
Dan kalau besok tumbler saya hilang, saya tahu persis apa yang akan saya lakukan menenggak air dari keran kampus, kemudian membeli Lion Star baru di minimarket terdekat sambil tersenyum. Sebab bagi saya, tumbler terbaik bukan yang membuat saya merasa lebih mewah melainkan yang tidak membuat orang lain terancam kehilangan pekerjaan kalau tak sengaja ketinggalan di gerbong.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Rekomendasi Tumbler Lokal Harga Murah Kualitas Juara, Nggak Kalah dari Tumbler Jutaan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















