Meneladani Tukang Sampah di Bulan Ramadan: Tetap Bersyukur Sambil Menahan Lapar dan Bau Sampah

Meneladani Tukang Sampah di Bulan Ramadan: Tetap Bersyukur Sambil Menahan Lapar dan Bau Sampah Mojok.co

Meneladani Tukang Sampah di Bulan Ramadan: Tetap Bersyukur Sambil Menahan Lapar dan Bau Sampah (unsplash.com)

Memulai aktivitas di pagi hari di bulan Ramadan adalah tantangan yang berat. Namun, itu tidak berlaku bagi Pak Nyono (bukan nama sebenarnya). Sebagai tukang sampah, dia memulai pekerjaannya sejak pukul 6 pagi. Dia mengitari salah satu kampung di Malang dengan menyeret gerobak kesayangan. 

Sebelum bekerja sebagai tukang sampah, dia terlebih dahulu menjadi loper koran. Kesempatan bekerja sebagai tukang sampah Pak Nyono dapat setelah ditawari oleh salah satu pengurus RW. Tanpa pikir panjang, dia langsung terima. Kini dia menjalani dua pekerjaan sekaligus. 

“Akhirnya kegiatan saya bertambah. Pagi ngangkut sampah, setelahnya baru dagang koran,” cerita Pak Nyono kepada saya. Karena sudah punya pelanggan tetap, jadi nggak masalah kalau koran dijual agak siang.

Wilayah kerja bantaran kali adalah yang tersulit

Secara garis besar wilayah RW tempat saya tinggal dibagi menjadi tiga wilayah. Kampung sisi timur, kampung sisi barat, dan kampung bantaran kali di selatan. Ada dua sungai yang mengalir melewati kampung saya. Pertama ada sungai kecil seukuran Selokan Mataram. Kedua, Kali Metro yang ukurannya lebih besar terletak di sisi lebih selatan.

Wilayah seluas itu digarap oleh tiga tukang sampah, Pak Nyono salah satunya. Satu tukang sampah punya tanggung jawab mengangkut sampah di satu wilayah kampung. Wilayah kerja Pak Nyono sebenarnya nggak luas, hanya saja lebih menantang karena berada di bantaran kali alias sisi selatan. 

Sejak dahulu, nggak ada tukang sampah yang mau bertanggung jawab atas wilayah itu. Jalanannya yang nylurut (turun karena berlereng) jadi alasannya. Kalau nggak berhati-hati ketika turun, bisa meluncur bebas ke kali. Ketika naik nggak kalah menantang, apalagi ketika muatan gerobak sedang penuh. Beratnya bukan main. 

Saat masih awal-awal menjadi tukang sampah, Nyono juga merasakan kengerian itu. Dia sampai minta ditemani anaknya untuk mendorong dan menarik gerobak ketika berada di tanjakan.

“Wong saya pernah hampir bablas,” kenang dia.

Warga bantaran kali yang masih membuang sampah sembarangan

Kendati wilayah kerjanya sulit, Pak Nyono merasa terpanggil melayani daerah tersebut. Dia nggak tega melihat sungai yang semakin kotor. Dari tahun ke tahun kampung semakin padat. Sayangnya, pertambahan jumlah penduduk itu nggak dibarengi dengan kesadaran membuat sampah pada tempatnya.

Pengamatan Pak Nyono warga bantaran kali lebih suka buang sampah ke kali. Sampah kecil-kecil dibuang ke kali atas. Kalau sampah ukuran besar dibuang di Kali Metro. Alasan mereka melakukan itu karena selama ini tidak ada tukang sampah yang lewat. Sementara, jarak TPS (Tempat Penampungan Sementara) lumayan jauh.

Semua itu berubah ketika ada tukang sampah yang bertanggung jawab atas wilayah bantaran kali. Warga terlihat lebih tertib. Sampah di kali sudah banyak sekali berkurang. Beberapa kali memang masih ada sampah dapur seperti sisa makanan. Namun, menurut Nyono itu tidak terlalu jadi masalah karena itung memberi makan ikan.

Tetap setia mengabdi sebagai tukang sampah dan senantiasa bersyukur

Pak Nyono masih ingat, awal menjadi tukang sampah, alias 15 tahun yang lalu adalah Rp150.000. Seiring berjalannya waktu honornya naik, hingga menjadi Rp1 juta per bulan saat ini. Dana itu diambil dari iuran gotong royong yang sudah mencakup dana kebersihan. 

Di mata orang lain mungkin upahnya nggak bergitu besar, tapi dia bersyukur telah menerima kesempatan sebagai tukang sampah. Apalagi ketika penjualan koran kian seret seperti sekarang ini, pendapatan sebagai tukang sampah sangat menolong. Terlebih, dia sering mendapat komisi kalau ada warga yang membuang sampah-sampah berukuran besar seperti perabot rumah tangga.

Pak Nyono juga masih bisa mengumpulkan pendapatan tambahan dari memilah sampah. Sampah-sampah yang masih ada nilainya dikumpulkan dan dijual ke bank sampah atau pengepul. Kadang kalau masih punya waktu dan energi, dia membersihkan kali. Sampah-sampah tangkapan yang masih punya nilai dia dijual.

“Dari situ saya nyeser-nyeser rejeki tambahan. Kalau semua penghasilan dikumpulkan, Alhamdulillah masih bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya juga berhasil menyekolahkan semua anak saya sampai tamat SMA.”

Di bulan Ramadan, Pak Nyono mengaku tugasnya sebagai tukang sampah memang bertambah berat. Bayangkan saja, sejak pagi dia harus berkeliling untuk mengangkut sampah. Belum lagi rute menuju TPS yang menanjak. Kalau muatannya penuh, energinya benar habis di tanjakan itu.

Selain itu saya harus bertemu dengan sampah berbagi rupa. Ada yang bentuknya nggilani dan busuk betul baunya, biasanya sampah dapur. Apalagi memasuki musim maleman di mana banyak orang  menggelar slametan. Di waktu itu, semakin banyak makanan terbuang yang harus ditangani Pak Nyono. Belum lagi di siang harinya Pak Nyono Nyono masih jualan koran dari kampung ke kampung. Semua itu dilakukan dalam kondisi perut kosong karena puasa.

“Awalnya saya nggak tahan, capek dan mual karena bau sampah. Mau berhenti saja rasanya. Tapi lama-lama ya terbiasa. Buktinya bisa bertahan selawas ini. Saya anggap ladang ibadah.”

Bulan Ramadhan yang penuh tantangan bagi tukang sampah, tapi bertabur berkah

Kendati pekerjaannya terasa makin berat, dia mengaku tetap senang dengan kehadiran bulan suci ini. Baginya, ungkapan Ramadan bulan penuh berkah memang benar adanya. Dia merasa selalu ada saja rezeki-rezeki di bulan ini.

Tiap menjelang lebaran, RW memberi bonus sejumlah uang dan barang. Barangnya bisa berupa sembako, baju, sarung, atau jajanan buat nyuguh tamu pas lebaran, isinya nggak tentu setiap tahun. Beberapa warga juga ada yang memberi amplopan maupun sembako.

Pak Nyono adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang dimiliki kampung. Beliau adalah garda terdepan penjaga kebersihan dan keindahan kampung. Tanpa kehadiran Pak Nyono, entah bagaimana nasib sampah-sampah di sini.

Dari kisah orang-orang seperti Pak Nyono pula banyak hikmah yang bisa kita petik. Bulan Ramadan memang tidak semestinya menjadi halangan untuk giat bekerja. Justru setiap pekerjaan baik yang kita kerjakan dengan ikhlas akan tercatat sebagai ibadah. Dan bersyukur adalah kunci utama untuk menjalani hidup dengan penuh rasa tenang.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA Curahan Hati Asisten Rumah Tangga di Semarang yang Menjalani Pekerjaan Sampingan Saat Bulan Puasa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version