Sebagai kota wisata yang berbasis kebudayaan, saya heran dengan sistem transportasi Kota Jogja. “Menyingkirkan” bus kota, nyatanya Trans Jogja nggak mampu memenuhi standar ekspektasi para pelancong. Alih-alih menyegarkan dan memfasilitasi transportasi para pelancong, kota ini justru terus menerus berinvestasi dalam bentuk hunian. Sungguh aneh.
Jalanan yang makin hari makin macet, menandakan armada bernama Trans Jogja sama sekali nggak bisa diandalkan. Apalagi, daya jangkau bus ini yang hanya mengitari bagian kota, nggak sampai wahana wisata alam yang ada di utara dan selatan. Wah, menulis tulisan ini, saya jadi rindu bis Baker.
Suatu hari, ketika menyusuri relung kota yang nyatanya nggak romantis babar blas ini, saya pun tersadar. Semisal Jogja memaksa memiliki transportasi publik seperti Jakarta atau kota-kota besar dunia lainnya, kayaknya nggak bakal bisa. Selain tata kota yang mak sruntul penuh bintang bertaburan. Bintangnya bintang lima pula. Pun beberapa faktor sudah nggak memungkinkan.
Perihal aturan dan pendapat sobat nrimo ing pandum, saya nggak ngurus. Yang jelas, beberapa transportasi publik di bawah ini, nggak bakal bisa semisal dibangun di kota investasi ini.
Pertama, Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT). Pertama kali saya naik MRT di Malaysia yang namanya Klang Valley Integrated Transit System. MRT ini mengitari wilayah wisata bernama Klang Valley yang mengular menuju LRT dan jalur kereta menuju KLIA (bandara).
Saya hanya bisa nggumun nggak karuan. Bersih, masif, rapi, dan tepat waktu seakan Kuala Lumpur berbisik, “Kota itu ya begini, Buos, investasi boleh, pelayanan masyarakat ya nomor satu. Kota itu memberikan layanan terbaik dan hormat bagi masyarakat. Jangan malah bikin dongkol karena lama nunggu.”
MRT nggak bisa diterapkan di Jogja bukan karena tepat waktu. Kalau mau, sakjane ya bisa saja Trans Jogja itu tepat waktu. Yang jadi titik tekan saya di sini adalah MRT Malaysia ini menembus mal ke mal, pasar ke pasar, dan arteri penting lainnya. Jadi, misal kamu mau pindah dari Ambarukmo ke Galeria, di Malaysia bisa memilih transportasi MRT. Nah, ini namanya transportasi publik.
Di Jogja, menembus mal demi mal apakah bisa? Ya tentu saja bisa. Masalahnya yang ditembus bukan hanya mal saja, tapi juga hotel. Lantaran tiap sudut Jogja bukanlah kenangan, melainkan hotel. Ya masak MRT mau nembus hotel. Buat apa? Wisata hotel? Puh!
Kedua, bus tingkat. Moda transportasi ini rasanya amat wajib dimiliki oleh tiap kota yang melabeli dirinya sebagai kota wisata. Apalagi akun Twitter centang biru sering memberikan kesan sok romantis itu, ya keberadaan bus tingkat ini menjadi hal yang nggak bisa diganggu gugat. Jika poin pertama untuk publik, yang ini akan cocok untuk wisatawan.
Di Jogja ada sih, namanya Domapan. Pun masih banyak hal yang kurang. Seperti dilansir dari Harian Jogja, selama diujicobakan dari Taman Pintar mengelilingi kawasan Malioboro, banyak wisatawan yang tidak kebagian tempat untuk menjajal bus dua tingkat itu. Yang kedua, menurut saya, tempat wisata Jogja nggak itu-itu saja.
Pun bus tingkat ini nggak bergerak secara masif. Masih dilansir dari Harian Jogja, selain hanya beroperasi sekali trip, kapasitas bus hanya bisa mengangkut 25 orang. Sebanyak 12 orang di bawah dan 13 orang di atas. Bahkan, nih ya, hitung-hitungan versi saya, jumlah akun romantisasi Jogja lebih banyak dari kapasitas bus ini.
Saya yakin bahwa bus tingkat yang nggak tinggi-tinggi amat ini nggak bakalan bisa bergerak secara masif, karena beberapa faktor. Pertama, sentralisasi tempat wisata. Jogja luas, kok ya muter-muter itu saja. Kedua, semisal bus tingkat ini memutari Jogja secara keseluruhan, bisa berapa kali bus itu nyangkut kabel tiang listrik. Lha wong truk gabah aja kadang masih kecantol.
Ketiga, trem. DIY memang pernah punya trem. Tepatnya di daerah Bantul dengan nilai guna sebagai penyokong industri gula. Melihat geliat luar biasa itu, banyak pihak swasta yang “menanamkan modalnya”, salah satunya pembangunan trem. Jalur-jalurnya, terkadang masih tampak di beberapa sudut Bantul.
Kenapa Jogja nggak mungkin membangun trem? Pada dasarnya, trem adalah evolusi dari kereta api yang bergerak antar daerah yang jauh, sedangkan trem mengitari perkotaan. Lha wong Jogja aja kalau pagi dan sore macetnya ngaudubillah, apalagi kalau pakai trem. Padahal nih ya, kota wisata bakal mbois sekali semisal ada trem.
Tapi bisa lho gunakan trem untuk di luar wilayah Jogja. Misal Bantul, Kulon Progo, Sleman, kemudian Gunungkidul. Lha Jogja ada Trans Jogja, jika mau menjelajah ke tempat wisata luar Jogja, bisa naik trem. Masalahnya satu, emang bisa ya Pemprov bangun sesuatu tanpa penggusuran? Trauma sama bandara, ah.
Paling logis bagaimana? Ya sudah naik motor saja. Penuhi jalanan kota. Kalau nggak ya naik Trans Jogja saja yang kedatangannya di jam sibuk, sudah bagai mitos. Apalagi kemebul knalpotnya yang mak wusss semriwing enak sekali. Nggak masalah, kan? Nggak dong. Kita nrimo ing pandum saja sambil melihat konstruksi hotel demi hotel di Jogja.
BACA JUGA Tips Naik Trans Jogja Biar Aman Sentosa dan Nyaman Sampai Tujuan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.