Bus Trans Semarang: Dicintai karena Memudahkan Penumpang, tapi Dibenci Pengendara Lain karena Ugal-ugalan

Bus Trans Semarang: Dicintai karena Memudahkan Penumpang, tapi Dibenci Pengendara Lain karena Ugal-ugalan

Bus Trans Semarang: Dicintai karena Memudahkan Penumpang, tapi Dibenci Pengendara Lain karena Ugal-ugalan (Farhan Syafiq via Wikimedia Commons)

Medio 2013 menjadi pertama kalinya saya mencoba Trans Semarang. Bus medium berwarna merah itu mengantarkan saya dari Terminal Terboyo Semarang ke Jatingaleh. Masih membekas rasa naikan yang enak, pijakan gas sopir bus yang smooth, dan harga tiket yang sangat murah untuk kenyamanan yang turah-turah apalagi kalau dibandingkan dengan angkutan umum lainnya macam angkot. Selisihnya lumayan waktu itu.

Dulu saya harus membayar angkot lima ribu rupiah dari Terminal Terboyo ke Jatingaleh saat naik angkot. Namun dengan Trans Semarang, saya hanya perlu mengeluarkan ongkos tak lebih dari separuhnya untuk jarak yang sama. Selain itu, naik Trans Semarang saya tak perlu takut nyasar karena rutenya jelas dan sudah menjangkau tiap sisi Semarang.

Trans Semarang membuat pengalaman saya naik kendaraan umum jadi menyenangkan. Suatu hal yang belum pernah saya rasakan sebelumnya mengingat pengalaman naik kendaraan umum selalu meninggalkan sisi traumatis bagi saya. Saat naik BRT, saya tinggal menunggu bus tiba di halte. Kondekturnya pun sigap dan ramah, belum lagi AC di dalam kendaraan sampai membuat saya lupa betapa panasnya Semarang di siang hari. Saat itu saya yakin, bus Trans Semarang adalah sebaik-baiknya kendaraan umum di Kota Lumpia.

Setelah satu dekade berselang, saya baru naik Trans Semarang lagi

Sepuluh tahun berselang, tepatnya di tahun 2023, saya mencoba naik Trans Semarang lagi. Ingatan menyenangkan tetap sama ketika saya menginjakkan kaki di halte. Bedanya, saat ini penumpang bus lebih ramai. Selain itu, hal lain yang berbeda adalah kala bus berwarna merah itu berjalan. Dari kejauhan, suaranya terdengar “agak serak” menyapa penumpang di halte. Dalam hati saya cuma bisa membatin, “Kok suaramu beda, sih?”

Sampai saya membayar tiket dan masuk ke dalam bus, rasanya seperti melepas rindu dengan mantan. Menginjakkan kaki di dalam bus hampir tak ada bedanya dengan 10 tahun lalu. Susunan kursi hanya ada di bagian pinggir, sementara ruang tengahnya disiapkan pegangan untuk orang-orang yang berdiri. Bagian sisi kiri dari pintu masuk untuk penumpang laki-laki, sementara sisi kanan atau bagian belakang dikhususkan untuk penumpang perempuan. Ongkosnya masih murah, bahkan rasanya nggak beda jauh dari 10 tahun lalu dan tak lebih mahal dari kopi botolan di minimarket.

Semua kenangan menyenangkan sirna saat Trans Semarang mulai melaju

Kondektur bus mempersilakan penumpang dengan ramah. Tapi saat pertama masuk bus, bahkan belum sampai pegangan, saya hampir terjungkal. Tanpa aba-aba dan peringatan, Trans Semarang melaju beringas entah dikejar apa.

Tentu saja saya kaget. Seingat saya, dulu bus merah ini smooth banget pas awal jalan. Tiap injakan gas rasanya diinjak dengan penuh perasaan dan kehati-hatian, apalagi saat mau jalan dari halte. Tapi, sekarang? Ah, ini bukan bus yang saya kenal. Bus medium yang membawa penumpang hampir penuh ini melaju cepat. Agak ugal-ugalan.

Di satu sisi, saya memang diuntungkan karena dari Jatingaleh ke Terminal Terboyo tak perlu menghabiskan waktu lebih dari 30 menit. Tapi di sisi lain, saya ngedumel karena ya hampir terjungkal tadi. Edan po?!

Entah harus bersyukur atau kufur

Teman saya yang asli Semarang mengatakan bahwa dia sempat dilema, entah harus bersyukur atau kufur atas keberadaan Trans Semarang. Kehadiran bus ini sejak tahun 2010-an memang untuk menggantikan transportasi umum dalam kota yang dulunya semrawut, kelamaan ngetem, dan bikin resah karena ongkos serta kehadiran pengamen di dalamnya.

Sejak BRT hadir, transportasi umum dalam kota Semarang makin rapi, tersistematis, serta menimbulkan rasa aman bagi penumpang dalam kendaraan umum. Tak berhenti sampai situ, ongkosnya juga cukup murah. Pelajar cukup membayar ongkos dua ribu rupiah, sementara penumpang umum hanya perlu mengeluarkan uang empat ribu rupiah untuk bisa keliling Semarang naik Trans Semarang.

“Sebenarnya enak sih busnya mencakup semua area di Semarang. Kalau daerahnya agak “masuk”, ada feeder-nya. Intinya, ke mana pun kita pergi, Trans Semarang siap mengantar,” begitu kata teman saya.

“Tapi makin ke sini, laju busnya makin beringas. Banyak yang melaju terlalu kencang, bahkan sesekali ada yang ngeblong kalau keadaan macet!” lanjutnya.

Saya sendiri sudah beberapa kali merasakan bagaimana cepatnya bus satu ini melaju. Tentu bukan sebagai penumpang, melainkan sebagai pengguna jalan yang kebetulan berpapasan dengan bus Trans Semarang.

Waktu itu jalanan cukup ramai dan kecepatan bus nggak bisa lebih santai. Raungan mesinnya bikin saya terintimidasi walaupun saya sudah berada di pinggir. Mau nggak mau saya harus melipir lagi karena takut kesenggol. Setelah bus merah itu menyalip saya, terlihat “ekornya” ndusel-ndusel di tengah kendaraan lain. Asap hitamnya itu, lho, beuh mengepul pekat!

Begitulah Trans Semarang. Bus ini memang dicintai penumpangnya, tapi juga dibenci karena asap hitam dan ugal-ugalannya.

Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Bus Pengumpan Trans Semarang, Sebaik-baiknya Pengalaman Naik Transportasi Umum.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version