Mungkin tulisan ini sedikit kontroversial, menyinggung beberapa pihak dan mungkin beberapa pembaca akan sedikit kurang terima mengenai pendapat saya tentang suatu tradisi tertentu, yakni tradisi ater-ater. Namun, itu hak setiap orang untuk tidak sepakat atau sepakat dengan apa yang akan saya utarakan ini. Dan, tentu saja hak saya juga untuk berpendapat mengenai suatu tradisi yang mungkin sedikit mengganjal bagi saya.
Jadi, jangan kaget, ya.
Sebelum lebih jauh membahasnya, saya akan memberi tahu sedikit mengenai apa itu ater-ater. Tradisi ater-ater menjadi tradisi beberapa masyarakat Jawa, salah satunya di daerah saya di Gresik bagian pinggiran. Ater-ater merupakan tradisi mengantarkan sekaligus memberi makanan atau sembako kepada sanak keluarga maupun tetangga yang dilakukan di momen Ramadan.
Ater-ater sendiri di daerah saya biasanya diberikan kepada tetangga dan sanak keluarga yang masih memiliki orang tua yang telah berumur lanjut. Untuk waktunya sendiri biasanya dilakukan sebelum atau di awal bulan Ramadan.
Tradisi ater-ater ini tentu saja sangat menguntungkan bagi pihak yang menerima. Siapa sih yang nggak untung ketika mendapatkan suatu pemberian? Terlebih, tradisi ater-ater ini juga dapat meningkatkan kualitas kedekatan sekaligus silaturahmi antar keluarga dan tetangga, dapat saling berbagi, dapat menumbuhkan jiwa sosial setiap manusia, dan masih banyak lagi keuntungan lainnya.
Itu masih keuntungannya, ya.
Namun, percayalah bahwa ater-ater ini merupakan sebuah tradisi atau budaya yang ada di masyarakat. Sedangkan tradisi itu sendiri memiliki sifat yang mengikat para pelakunya, yakni masyarakat itu sendiri. Layaknya sebuah hukum yang harus dipatuhi. Jika enggan mematuhi, maka bersiaplah dengan berbagai sanksi yang menghantui, hihihi.
Nah, oleh karena itu juga, bagi mereka yang mempunyai materi ataupun tidak, tetap harus melakoni tradisi ater-ater ini, walaupun dengan jumlah yang sedikit. Jika tidak mau melakukan, maka konsekuensinya akan mendapatkan sanksi sosial seperti gunjingan, cemoohan, cibiran, maupun cangkem elek dari masyarakat. Entah itu datang dari keluarga sendiri maupun tetangga. Tentunya kalian tahu, kan, gimana pedesnya cangkem elek para tetangga itu?
Kasihan nggak, sih? Kalau orangnya memang nggak mampu gimana? Masa iya harus dipaksa melakoni tradisi ater-ater ini? Tapi, kalau nggak melakoni, nanti malah dirasani sekampung raya. Angel wes, angel, angel temen tuturanmu, angel temen tuturanmu~
Oh iya, asal kalian tahu juga bahwa tradisi ater-ater ini bersifat timbal balik. Kalau dalam bahasa ilmiahnya layaknya di kampus-kampus itu, berarti tradisi ater-ater ini bersifat “resiprositas”.
Maknanya bahwa mereka, para pihak penerima yang menerima ater-ater, juga harus sekaligus menjadi pihak pemberi yang memberi sesuatu kepada pihak pemberi awal. Wujud pemberiannya sendiri bebas, nggak harus sembako atau makanan juga, kok. Terkadang beberapa masyarakat ada yang membalas pemberian dengan memberi uang.
Lah, berarti sama saja, dong? Memberi tapi malah diberi.
Ya, memang begitu prinsip resiprositas berlaku, alias timbal balik.
Namun, ada fakta tragis pula di sisi lain mengenai hukum timbal balik dalam saling memberi ini. Kalau memiliki kemampuan untuk membalas pemberian, mungkin nggak jadi masalah.
Nah, yang bermasalah adalah ketika pihak penerima ini nggak memiliki kemampuan untuk membalas pemberian yang diterimanya. Apalagi kalau si pemberinya nggak woro-woro dulu ketika ater-ater, ujug-ujug langsung memberi begitu saja. Lah, apa nggak syok pihak penerimanya? Pasalnya, harus cari sesuatu yang akan diberikan sebagai balasan kepada pihak pemberi awal. Iya, kalau ada, lah kalau nggak ada?
Inilah yang dikatakan Mancel Mauss, seorang sosiolog sekaligus antropolog, bahwa resiprositas itu dapat menjadi beban tersendiri bagi mereka yang melakoninya. Niatnya memang baik, sih, hanya saja ketika menjadi budaya atau tradisi, maka itu akan menciptakan kekangan tersendiri bagi masyarakat.
Memang nggak apa-apa ketika nggak membalas pemberian seseorang dalam tradisi ater-ater, dan itu hak setiap orang. Tapi ya gitu, siap-siap saja kupingnya panas menerima cangkem-cangkem elek para tetangga dan keluarga.
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Buku Agenda Ramadan, Membuat Saya Pernah Dikatain Kafir. #TakjilanTerminal10 dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.