Toyota Innova Tidak Tertandingi karena Ia Semacam Ormas, Bukan Mobil

Mobil Toyota Innova Tak Tertandingi karena Ia Bukan Mobil, tapi Ormas (Unsplash)

Mobil Toyota Innova Tak Tertandingi karena Ia Bukan Mobil, tapi Ormas (Unsplash)

Sampai detik ini, masih banyak yang menganggap kalau mobil Toyota Innova itu tidak tertandingi. Alasannya karena unggul dalam segi teknis. Padahal ada aspek di luar itu semua.

Sebelumnya, saya jadi teringat sebuah kejadian ketika dulu saya masih menjadi redaktur Mojok. Suatu kali, ada seseorang protes. Dia bilang begini:

“Besok lagi kalau ada yang nulis di Otomojok, ya jangan yang fiktif, lah.”

Semua orang yang mendengarnya bingung. Maklum, selama ini, rubrik Otomojok di Mojok tidak pernah menerima tulisan fiktif. “Fiktif? Yang mana emang, Pak?” tanya seseorang dari kami.

“Itu, yang nulis soal ngejek-ngejek Alphard. Masak ada orang Jogja bisa pernah punya mobil Alphard sampai 3? Sampai gonta-ganti lagi, mana dibilang lebih enak mobil Toyota Innova lagi.”

Kami semua tergelak mendengarnya.

3 kali beli Alphard itu kejadian beneran

Jadi, di Jogja itu ada orang kaya, kok, yang bisa beli sampai 3 kali. Dan, yang sedang menjadi bahan protes adalah Edi AH Iyubenu, bos Basabasi Kafe dengan tulisannya berjudul “Produk Gagal Sih Boleh, tapi Jangan Alphard Dong”.

Inti dari tulisan tersebut adalah Alphard itu nggak sempurna, dengan membandingkannya dengan Innova. Bahkan, demi membuktikan sisi “tidak enak”-nya Alphard, Pak Edi (begitu saya biasa memanggilnya) sampai perlu beli 3 kali Alphard untuk menguatkan asumsi bahwa Alphard tidak lebih enak ketimbang Innova.

Oke, oke, saya tahu apa yang ada di pikiranmu.

Bagi orang yang ngerti otomotif, ini tentu bukan perbandingan yang pas. Membandingkan premium MPV sama medium MPV itu konyol.

Ya tapi gimana? Yang beli Alphard sampai 3 kali Pak Edi, dan yang pernah punya mobil Toyota Innova berkali-kali juga beliau. Hayaa tentu penilaian itu jauh lebih valid ketimbang orang yang tak pernah buang duit sebrutal Pak Edi demi bisa nulis soal otomotif. Ingat, sekali lagi, ini soal valid lho ya, kalau perkara benar dan salah di dunia otomotif sih ya biarkan itu jadi urusannya Ridwan Hanif dan Fitra Eri saja.

Baca halaman selanjutnya: Toyota Innova, representasi sempurna bagi sopir di Indonesia…

Mobil Toyota Innova, representasi sempurna bagi sopir di Indonesia

Tapi tunggu dulu, saya bukan mau cerita soal Alphard di sini, saya justru mau cerita soal mobil Toyota Innova. Sebuah mobil yang punya representasi sempurna bagi banyak sopir di Indonesia.

Setidaknya kesempurnaannya bisa divisualisasikan layaknya kejadian di awal tulisan tadi. Sama Alphard yang ada 1 tingkat di atasnya saja (baik secara kemewahan maupun budget) Innova ini kok tetep aja ada yang bilang lebih baik, ya?

Hal-hal kayak gini tentu jadi pertanyaan terbesar saya. Masak, sih, ini mobil nggak ada cacat-cacatnya sama sekali? Atau setidaknya, kenapa pabrikan lain kayak nggak mampu menyaingi merek ini?

Ya, perkara Innova ini memang sudah jadi rasan-rasan lama di dunia otomotif. Ibarat balapan Formula One (F1), mobil Toyota Innova ini kayak Lewis Hamilton dengan Mercedes. Sekeras apapun pabrikan lain berusaha, susah banget bisa tembus ke podium nomor 1 pasar medium MPV.

Berlandas dari rasa penasaran itu, setelah lacak sana lacak sini, lalu mengingat masa lalu saya mengendarai mobil ini, saya baru sadar bahwa Innova memiliki banyak aspek yang tidak dimiliki pabrikan lain di luar urusan teknis.

Pertama: Sejarah

Seperti Hamilton di dunia F1 yang pegang rekor juara dunia dan punya jejak sejarah luar biasa, mobil Toyota Innova juga memiliki itu. Sejarahnya kelewat kuat.

Jejak Innova sebenarnya bisa terlacak sejak 1977, ketika Toyota mengeluarkan seri Kijang (Kerja Sama Indonesia dan Jepang). Dari generasi pertama Kijang saja, banyak orang Indonesia generasi 1970-an akhirnya terpatok pada mobil satu ini. Baik secara performa mesin, bentuk mobil, sampai merek yang tertanam di alam bawah sadar.

Meski begitu, baru pada 1997, ketika Kijang generasi ke-4 muncul dengan embel-embel Kijang Kapsul lah “cuci otak merek” ke orang-orang Indonesia semakin masif. Bahkan bodi Kijang Kapsul inilah yang nanti jadi cikal bakal body Innova generasi awal.

Bahkan kalau mau rada-rada ekstrem, Kijang Kapsul inilah yang jadi cikal bakal banyak basic desain mobil keluarga setelahnya. Mau dari pabrikan Mitsubishi, Nissan, sampai Daihatsu. Mau itu Taruna, Kuda, sampai Livina tetap saja dasar desainnya sekilas mirip-mirip kayak Kijang Kapsul.

Nah, gara-gara kepopuleran Kijang Kapsul pula, kebanyakan orang tua-orang tua kita punya patokan bahwa mobil itu ya harus Kijang, nggak ada yang lain. Merek dan imajinasi visualisasinya beneran tertancap begitu dalam.

Artinya, jika pabrikan lain mencoba mengusik dominasi mobil Toyota Innova (walaupun sekarang udah nggak pakai embel-embel Kijang lagi sih), PR terbesar pertama mereka sebenarnya adalah: mencabut akar sejarah banyak keluarga di Indonesia soal mobil. Dan itu sudah bukan hanya urusan menang-menangan fitur kendaraan lagi.

Kedua: seperti sayur bayam masakan ibu

Ada sebuah kredo yang terkenal bahwa masakan ibu adalah masakan paling enak bagi setiap anak di dunia. Bahkan meski masakan itu hanya sekadar sayur bayam. Nah, inilah poin berikutnya yang terjadi dengan mobil Toyota Innova di alam bawah sadar orang-orang Indonesia.

Innova (ketika masih memakai embel-embel Kijang) menjadi patokan banyak keluarga di Indonesia. Hampir kebanyakan anak Indonesia generasi 1980-an dan 1990-an, punya persentuhan dengan Kijang. Baik karena dimiliki tetangga, Pakde, Paklik, atau mobil impian keluarganya sendiri di masa lalu.

Memori kolektif itulah yang kemudian membentuk pasar yang maha-luas untuk Innova di Indonesia. Kelahiran Innova yang berawal dari rahim Kijang tampaknya juga masih mewarisi jejak itu sampai sekarang.

Pada akhirnya, tak salah kemudian kalau tingkat kenyamanan berkendara dan desain pun akhirnya terpatok pada mobil ini, sekalipun ada puluhan sampai ratusan merek mobil lain yang punya kelebihan setara.

Ketiga: jadi motif dendam nostalgia banyak keluarga

Tidak sedikit orang ingin membeli mobil Toyota Innova bukan hanya berlandaskan karena kebutuhan fitur-fitur kendaraan yang ditawarkan. Banyak yang ingin memilikinya karena nostalgia masa lalu atau masa kecilnya.

Innova punya kesan mewarisi merek Kijang yang merupakan cita-cita tertinggi setiap keluarga era 1980-an, 1990-an, dan 2000-an awal, dan ketika si anak itu besar di periode sekarang (rata-rata mereka yang generasi X dan Milenial) bayangannya tentang Kijang yang kemudian beralih ke Innova ternyata tidak benar-benar berubah.

“Inilah mobil impian keluarga masa kecil saya, jadi saya yang sekarang juga ingin memilikinya.”

Nah, persoalan menjadi rumit bagi pabrikan lain di medan perang medium MPV. Misalnya, selain berlandaskan sejarah pula, kebutuhan suku cadang dan montir yang andal untuk ngurusin ini mobil jadi bejibun jumlahnya di Indonesia. Sekali lagi, ini karena faktor sejarah dan aspek nostalgia.

Artinya, hal tersebut menawarkan skill ultimate paling menakutkan dari produk ini, yakni: perawatan mudah+murah.

Dibawa ke bengkel mana saja, semua montir mobil pasti bisa, suku cadang ada di mana-mana (bahkan konon di toko kalender pun ada), gampang diakali kalau lagi situasi darurat, dan yang paling penting untuk orang Indonesia: harga jual kembalinya masih begitu tinggi.

Kombinasi maut yang sudah jadi jaminan kemenangan layaknya Son Goku bersatu dengan Bezita

Oleh sebab itulah, persaingan di ranah medium MPV Indonesia ini sudah bukan lagi soal urusan menang-menangan fitur kendaraan saja, tapi juga aspek-aspek lain. Terutama jika mobil Toyota Innova ternyata tidak hanya mengandalkan aspek sejarah dan keunggulan merek saja, tapi terus berimprovisasi dengan teknologi.

Ini ibarat orang berbakat tapi juga jadi orang tekun sekalian. Kelar sudah yang lain. Oleh sebab itu, jika boleh menyebut 2 kata lagi untuk Toyota Innova, bagi saya, mereka sudah bukan merek mobil, tapi sudah mirip kayak kartel atau ormas.

Setidaknya itu kelihatan kalau saya mau menyebut produk mobil Toyota Innova jelek di muka umum saja. Saya mesti butuh keberanian yang luar biasa supaya tidak diserang oleh simpatisannya.

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Innova Diesel Tak Pernah Salah, yang Bekas Pun Tetap Berkualitas

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version