Salah satu hikmah pandemi adalah adanya kesadaran untuk menjaga jarak di tempat-tempat yang memang sudah sepatutnya tidak dijejali manusia. Bus, lift, tangga berjalan, dan segala macam antrean. Idealnya—mau ada pandemi ataupun tidak—sebuah antrean itu tertib, rapi, dan nggak berdesakan. Kenapa? Kita sepakat dong yang namanya antre itu kurang nyaman karena harus menunggu, jadi masa sih harus menambah ketidaknyamanan antrean dengan nggak tertib? Cuma orang norak dan kelewat annoying yang menyepelekan masalah antre.
Tapi, bagi sebagian orang, konsep antrean tertib ini memang ibarat sesuatu yang asing. Tiga kelakuan di bawah ini adalah contoh paling menyebalkan yang pernah ada di muka Bumi.
#1 Mendorong punggung
Ini pernah saya alami di pasar dan halte bus. “Macet” di pasar waktu itu terjadi karena arus dua arah orang-orang di gang yang sempit terhalang oleh salah satu lapak yang menonjol ke gang. Alhasil, satu arah harus berhenti sebentar demi bergantian dengan arah sebaliknya. Hanya beberapa detik kan itu antreannya, tapi emak-emak di belakang saya menempelkan tangannya di punggung saya sambil sedikit mendorong. Lah, emangnya kalau dorong saya antreannya bakal lebih cepat? Hmmm orang norak kok ada di mana-mana sih.
Kasus di halte bus juga serupa. Ibu-ibu menempelkan jari-jarinya di punggung saya begitu pintu bus terbuka. Seolah kodein saya untuk terabas masuk bus, nggak nunggu orang yang keluar bus dulu.
Memang ibu-ibu norak dan nggak sabaran ini nggak menyela antrean sih, tapi nempelin tangan ke punggung orang lain tanpa diminta tuh sungguh tidak beretika.
#2 Nggak paham konsep “First come, first served”
Antrian model “first come, first served” ini contohnya bisa dilihat di antrean bank saat nasabah mengambil nomor sesuai kedatangannya. Mesin otomatis kemudian akan memanggil nomor secara berurutan dan menyalurkan setiap nasabah ke teller/CS yang kosong. Antrean model “satu antrean dan banyak layanan” ini lebih adil dibanding “banyak antrean dan banyak layanan”.
Bayangkan sebuah area toilet yang punya 4 bilik. Si A datang lebih dulu dan mengantre di depan bilik 1. Si B lalu datang belakangan dan mengantre di depan bilik 2. Tapi, kemudian orang yang di bilik 2 lebih cepat selesai “urusannya” dari orang di bilik 1. Si B yang merasa bilik 2 sudah dia “booking”, jadi masuk duluan deh. Kalau kamu jadi si A dan kebelet pipis, mangkel nggak tuh kira-kira?
Ini pengalaman nyata yang sering saya temukan di toilet (perempuan). Dalam konsep “first come, first served” harusnya si A yang masuk bilik duluan, bilik mana pun itu. Makanya, alih-alih saling “booking” tempat dengan antre di depan bilik, antre toilet tuh sebaiknya satu antrean panjang saja sebelum masuk area bilik (jadi bisa dilihat bersama mana bilik yang kosong duluan).
Ada area toilet tertentu yang orang-orangnya memang sudah sadar konsep ini sih jadi tanpa imbauan pun sudah bikin satu antrean untuk banyak bilik. Antreannya memang jadi lebih panjang, tapi akan bergerak lebih cepat. Orang yang mau BAB, para ibu yang mau ganti celana anaknya, atau orang-orang yang butuh waktu lebih lama di bilik jadi nggak “mengganggu” antrean orang lain.
Konsep “first come, first served” memang tidak untuk diaplikasikan ke semua jenis antrean. Misalnya, antrean rumah sakit. Tentu nggak manusiawi kalau mendahulukan orang keseleo yang datang duluan dari orang gagal jantung yang datang belakangan. Contoh lain di kasir supermarket. Nggak adil juga orang yang belanja 3 barang harus menunggu di belakang orang belanja 3 troli. Itulah kenapa biasanya di tempat-tempat seperti itu ada jalur-jalur khusus sesuai kebutuhan pelanggan.
#3 Nggak tahan lihat space kosong
Kalau dua pengalaman sebelumnya saya temui di zaman BC (Before Corona), drama antrean yang ini terjadi baru-baru ini di masa pandemi. Sebagai orang yang taat prokes, saya selalu berusaha jaga jarak 1 meter dari orang depan saya saat antre di kasir, meski nggak ada stiker penanda jarak. Ealah, ada saja orang yang baru datang dan nyelip di space semeter itu karena dianggapnya saya nggak lagi ngantri. Punten, pandemi kudu jaga jarak, Lur!
Kecuali saya bawa meteran untuk menandakan jarak 1 meter, rasanya susah juga untuk menegur orang lain untuk tetap jaga jarak dengan ukuran yang presisi. Makanya, stiker/cat penanda jarak yang banyak kita temukan sekarang ini lumayan ampuh untuk mendisiplinkan orang-orang. Meskipun banyak juga jenis orang yang masih abai atau orang yang bisa mengikuti aturan, tapi begitu nggak ada penandanya, balik lagi dempet-dempetan. Ternyata orang norak dalam urusan antrean ini masih eksis di masa pandemi.
Pada dasarnya, antre itu kan menunggu giliran. Orang jadi nggak tertib karena panik nggak dapat giliran. Padahal kalau semuanya mau rapi, kita bakal kebagian kok. Ketika sistemnya yang bermasalah dan menghambat kita dari tujuan antri—mesin kasir rusak, misalnya—kita boleh saja meninggalkan atau menegur sistem. Tentu dengan cara yang baik ya, nggak serta-merta marah-marah ke petugas kasir sambil bilang begini.
“Kamu tuh nggak bener kerjanya! Mana manajer kamu, saya mau komplen!”
Pernah lihat orang yang seperti itu? Jangan ditiru ya, itu orang norak. Let’s be a responsible and civilized citizen.
BACA JUGA Pengalaman Saya Menghadapi Ibu-ibu yang Antre dengan Keras Kepala dan tulisan Hawa Firdausi lainnya.