Tiga bulan lalu, saya memberanikan diri ikutan seminar saham untuk awam.
Keputusan ini saya ambil karena adik ipar saya (kami selisih usia enam tahun) nggak berhenti ngomongin soal pentingnya investasi di acara keluarga. Antusiasme menggebu itu gagal saya respons dengan layak karena pengetahuan saya soal isu ini hampir nol, membuatnya terlihat sedikit kecewa. Saya bersyukur sih, kekecewaannya akibat obrolan canggung kami berdua baru terjadi setelah saya sudah menikahi kakaknya. Hehehe.
Seminar itu menjelaskan banyak hal terkait investasi sebagai salah satu cara menabung. Namun, satu yang membekas di benak saya, pemapar materi menjelaskan bahwa investasi saham sangat menjanjikan sebab kenaikan nilainya dari tahun ke tahun paling tinggi dibanding bentuk menabung atau investasi lainnya.
Contoh sederhananya begini: kamu punya uang Rp10 ribu, lalu kamu belikan saham di perusahaan A. Sepuluh tahun lagi, nilai perusahaan A naik tajam dan harga saham yang kamu punyai naik pula menjadi Rp20 ribu. Maka bisa dibilang, setiap tahun uang tabunganmu bertambah seribu, atau 10 persen.
Kenaikan nilai “tabungan” ini tentu enggak akan terjadi kalau kamu taruh uang di celengan babi. Kalau kamu nabung koin Rp5 juta, 10 tahun lagi juga isi tuh celengan akan tetap sama, itu pun kalau enggak dicongkel diem-diem sama adikmu. Jeff Bezos, orang terkaya di dunia, enggak nyimpen triliunan uangnya di brankas bawah tanah. Menurut laporan, kekayaan Jeff justru berasal dari kepemilikan saham di perusahaan dengan valuasi besar miliknya, Amazon. Karena valuasi Amazon terus naik, kekayaan Jeff naik terus pula.
Ya tetap ada poin krusial yang perlu diperhatikan sih. Karena investasi saham sejatinya adalah menanam duit di sebuah perusahaan, maka tetap ada risiko uang kita ikut berkurang apabila valuasi perusahaan turun. Maka, memilih perusahaan dengan sejarah meyakinkan dan masa depan menjanjikan lantas jadi kunci terpenting. Nggak mau dong, kamu udah beli saham di satu perusahaan, eh besoknya valuasi turun drastis karena sang direktur ketahuan selingkuh sama Lidya ke Cappadocia?
Ada banyak hal yang bisa diperhatikan untuk melihat sebuah perusahaan aman atau tidak sebagai sasaran investasi. Cara paling aman: cari perusahaan yang udah mapan sebagai awal mula investasi sahammu, seperti di Bank Central Asia (BCA), Unilever, atau Indofood. Valuasi perusahaan mapan tentu akan lebih konsisten bertambah tiap tahun dan menawarkan keamanan yang dibutuhkan investor pemula.
Selain cara tersebut, ada banyak perusahaan “baru” yang cukup menjanjikan dan aman untuk dijadikan wadah investasi. Studi biro konsultan manajemen McKinsey berjudul Valuing high-tech companies (2016) menyebut, analisis valuasi perusahaan kini tak hanya dilakukan dengan melihat track record, namun juga dengan mengkaji prediksi perkembangan perusahaan di masa depan.
Artinya, selain melihat kondisi keuangan perusahaan, investor juga perlu melihat beberapa faktor lain, seperti figur di balik perusahaan, kekuatan produk, posisi tawar perusahaan secara kompetitif di industrinya, sampai kepuasan pelanggan selama ini.
Maka, kita tidak perlu heran melihat perkembangan perusahaan rintisan berbasis teknologi menjadi sangat pesat yang akhirnya memiliki valuasi besar meski berusia lebih muda dibanding para “perusahaan mapan”. Perkembangan teknologi yang emang pesat sekali berhasil diintegrasikan mereka dalam menjawab permasalahan sehari-hari. Tren zaman yang berputar di sekeliling perkembangan teknologi tentu saja membuat perusahaan berbasis teknologi menawarkan lahan investasi saham yang menggiurkan bagi siapa pun yang membutuhkan.
Tiga bulan kemudian, saya bertemu lagi dengan adik ipar dengan penuh percaya diri. Hasil seminar membuat saya merasa punya cukup ilmu dasar untuk sekedar memberi komentar. Benar saja, saya bisa melihat cahaya kegembiraan di mukanya selama obrolan akibat perkembangan pengetahuan saya ini.. sampai akhirnya saya kembali terdiam ketika dia membuka diskusi seputar NFT dan Ghozali Everyday.
Hadeh, alamat cari seminar lagi ini.
Penulis: Muhammad Ikhwan Hastanto
Editor: Prima Sulistya