Tim Sendirian versus Tim Ramean: Mana yang Lebih Baik?

tim ramean

tim ramean

“Kemana-mana kok harus rame-rame, emangnya lagi study tour?”

“Lah sendirian bae kok bangga? Cobain sana sparing catur!”

“Sendirian” dan “ramean” disini adalah tentang bagaimana kita melakukan kegiatan spend time—pergi ke mall, nonton bioskop, makan di restoran, atau ngopi di coffee shop.

Labeling terhadap orang yang selalu melakukan kegiatan spend time seorang diri adalah Loneliness, jones, atau bad social life people memang sudah mendarah daging. Dari yang bertujuan untuk sekadar guyon hingga serius dengan memberi wejangan-wejangan yang nonsense. Padahal bisa saja memberikan label sebagai orang yang mandiri. Tapi memang yang negatif lebih menyenangkan.

Apalagi jika terlihat foto tiket bioskop yang berjumlah (hanya) satu terpampang di sosial media, yasudah blunder. Siap-siap dimangsa seperti halnya warga melihat maling yang tertangkap basah, rasanya ingin ikut andil nggebugin.

Peperangan antara “tim sendirian” melawan “tim ramean” menyeruak beberapa waktu silam, setelah seseorang dari kubu tim ramean membunyikan genderang perang dengan cara mengirim twit ke akun menfess di twitter. Sebetulnya isi twit tersebut tidak bernada offensive, hanya berisi tentang meminta penadapat kepada netizen—aneh tidaknya dan enak tidaknya menonton film di bioskop seorang diri.

Tetapi kubu sendirian menanggapi twit tersebut dengan konfrontatif. Wajar saja demikian, karena sudah terlalu lama terkungkung dalam setereotype yang usang dan membosankan. Akhirnya tim sendirian angkat bicara. Seperti tagline sebuah radio—speak up make it happen.

Dipenuhilah twit bernada marah tetapi lucu ala-ala netizen pada twit reply, sebagai bentuk defense. Kejadian tersebut mematik Florentia Tanti menulis esai berjudul “Emang Salah Ya Kalau Perempuan Nonton Bioskop Sendirian?“. Inti dari esai itu—bagaimana prejudice terjadi kepada seseorang wanita saat menonton bioskop sendirian (Iya wanita, karena point of view diambil dari penulis sendiri).

Walaupun lebih spesifik kepada seorang wanita, jika kita tarik premis dasarnya adalah bagaimana orang lain memberi feedback kepada seseorang yang melakukan kegiatan spend time seorang diri.

Tidak terlihat serangan balik yang berarti dan niat dari tim ramean—seperti membuat esai yang mengelaborasi atas pilihannya menjadi tim ramean (gimana nih tim ramean). Sejauh ini hanya letupan-letupan kecil dan twit-twit bernada sama yang tidak henti-hentinya meresahkan tim sendirian.

Sementara dari tim ramean belum ada balasan yang cukup menggegerkan, tim sendirian sudah memulai kembali aksinya dengan membunyikan genderang tagar berbunyi #GerakanNontonBioskopSendirian. Apakah tim ramean sedang bungkam untuk menyusun taktik yang akan menggegerkan jagat dunia maya pada akhirnya?

———-

Beberapa tahun silam, saya berada pada masa transisi dari tim ramean menjadi tim sendirian for some reason. Ada dua faktor yang menurut saya berpengaruh mengubah dan menjadikan orang memiliki prinsip sebagai tim sendirian :

Yang pertama—korban fase “Semakin menua dirimu semakin kecil circle pertemananmu”. Jika kalian tim sendirian dan merasa denial karena alasan tidak ada kaitannya melakukan kegiatan spend time sendirian dengan jumlah lingkar pertemanan. Tapi secara logika, semakin besar lingkar pertemananmu semakin besar kemungkinan terjadinya irisan—waktu senggang, selera film, coffee shop favorit, hingga tujuan kota traveling.

“Gak juga kok. Kan gak melulu soal circle pertemanan, bisa aja pacar. Buktinya punya pacar tapi tetep sering pergi sendirian”. Ya mungkin kalian ada di faktor yang berikutnya.   

Yang kedua—malas berkompromi dengan orang lain. Lebih memilih untuk melakukannya sendiri ketimbang ribet adjusting dengan orang lain. Contohnya saja ketika hendak nonton bioskop, ada tiga elemen yang harus kalian adjust hingga klop satu sama lain—jam, tanggal, dan judul film. Bahkan bisa menjadi empat jika ada seseorang yang freak dengan tempat pemilihan bioskop. Akhirnya memilih untuk sendirian ketimbang ribet.

Dari saya yang canggung pergi ke public space sendirian hingga sekarang kecanduan untuk pergi sendirian. Tidak lagi saya temukan—“jangan ke coffee shop itu lah, ga enak kopinya”, “kalo minggu ini gak bisa, mending minggu depan aja”,  “mending jalan-jalannya ke kota itu, lebih seru kayaknya”. Lalu sebagian besar menyetujui dan mau tidak mau kita harus sepakat. That’s how democracy work.

Ketika ada di fase semuanya serba sendiri dan keadaan mengharuskan demikian, saya merasa semuanya lebih menyenangkan. Kok bisa ?. Dan jawabannya adalah—Ego. Seseorang yang memiliki ego besar, kebahagiaannya berlipat ganda ketika fase sendirian telah tiba. Saat kita memilih untuk melakukannya sendiri, tentu tidak akan ada perbedaan pendapat dengan orang lain tentang ide yang kita suggest dan adjustment ribet dengan orang lain. Kita bebas merdeka semau kita.

Namun tidak selamanya menyenangkan. Ada sebuah momen dimana kita bertemu dengan sesuatu hal yang menurut kita lucu, setelah tertawa pasti ada sedikit hasrat ingin menceritakan kejadian itu kepada teman atau pacar tapi kita berpikir “diceritain bakal garing, kalo ga dicertain tapi lucu banget tadi. Coba kalo liat sendiri”. Atau bertemu sebuah momen debatable yang bakal seru jika diperbincangkan. Tidak mungkin cuy, tiba-tiba kita menggerutu pada orang yang tidak kita kenal.

Dan sebuah kejadian yang sering terjadi ketika kita menonton film sekuel di bioskop lalu kita merasa ada kejanggalan pada continuity cerita. Seketika gatal ingin membahasnya saat itu juga.

Lantas mana yang lebih baik? “Tim Sendirian” atau “Tim Ramean”. Tidak ada yang terbaik, yang ada hanyalah lebih baik—lebih baik sesekali bertukar posisi, yang terbiasa dengan kondisi ramean sesekali cobalah untuk sendiri. Begitupun sebaliknya.

Tim ramean sesekali tentukan sendiri kemana, kapan, dan lakukan apa yang menurut kalian menyenangkan. Merencanakan sendiri dan melaksanakan sendiri tanpa suggest dari orang lain. Melatih diri kita menjadi kurator atas diri kita sendiri.

Tim sendirian sesekali sepakat untuk tidak sepakat dengan menuruti dan melakukan suggest dari orang lain untuk sedikit menurunkan ego. Karena tidak selamanya semua itu tentang dirimu. (*)

BACA JUGA Gelisah Karena Gundala: Harapan Baru Jagat Perfilman Indonesia atau tulisan Satrio Dwi Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version