Film pendek Tilik beberapa hari ini sedang trending. Saya tak ketinggalan untuk mengikutinya. Tapi di sini, saya tidak sedang membicarakan film tersebut, entah secara cerita atau tingkah nggatheli Bu Tejo. Saya akan membicarakan tentang nyinyiran orang kota terhadap film ini dan kenapa sebaiknya mereka tutup mulut mereka rapat-rapat.
Begini. Saat saya sedang berselancar di Twitter, saya menemukan komentar njijiki nan ndakik-ndakik atas film Tilik. Katanya, film tersebut tidak memberi pesan moral, dan menggambarkan perempuan Jawa yang salah. Perempuan Jawa katanya tangguh, dan tidak sebodoh yang film tunjukkan. Saat saya cek akun tersebut, asal pemilik akun tersebut adalah kota paling besar di Indonesia.
— Rory Asyari (@RoryAsyari) August 21, 2020
Opini yang bagus, orang kota. Sekarang kembali jilat hutan beton yang megah di kotamu.
Saya yakin film Tilik bukanlah berusaha menggambarkan kebodohan orang desa. Andaikan memang kalian menganggap Bu Tejo dan kawan-kawan itu gagap dalam menanggapi perkembangan internet, kalian nggak bisa nyalahin mereka. Saya sendiri justru punya anggapan. Bu Tejo dan kawan-kawan itu adalah contoh nyata kesenjangan sosial yang nyata. Hal itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah salah negara.
Tilik hanyalah berusaha menggambarkan realitas yang terjadi tanpa memberikan stigmatisasi apa-apa. Orang rasan-rasan itu nggak melulu ibu-ibu. Intelektual macam mahasiswa pun suka nggosip. Reaksi orang nonton Tilik itu normalnya ya merasa dekat karena inilah realitas sosial yang ada.
Beranggapan bahwa Tilik tidak memberi pesan moral dan edukatif adalah hal terbodoh yang bisa kalian pikirkan. Lha wong jelas-jelas filmnya memberikan pesan jangan rasan-rasan, jangan fitnah, jangan melanggar aturan, ha kok bisa dibilang nggak edukatif? Ini malah ngomongin penggambaran orang desa yang suka nggosip ya. Plis banget nih, orang Indo di Kasihan sama orang Indo yang di Marseille sana kalau kumpul ya nggosip.
Lalu bilang “perempuan desa di Jawa yang tangguh, berbobot, dan pinter buanyak” itu buat apa? Buat menegasi kalau selama ini perempuan di Jawa dianggap bodoh dan malas? Kira-kira yang bilang kayak gitu siapa awalnya?
Begini aja deh, kira-kira kata “jamet” itu muncul dari siapa? Orang mana sih yang beranggapan kalau orang Jawa=kuli? Papua itu isinya orang-orang kasar, kira-kira orang mana?
Saya pikir, orang-orang desa nggak akan punya anggapan para Uchiha Madura itu jamet. Pol pentok mereka akan muni “rambutmu lho aneh-aneh koyo wong ra aturan”. Orang desa nggak akan kepikiran orang Madura rambutnya kayak gitu semua. Justru yang memberi istilah nggak jelas itu orang-orang kota. Ya gitu kalau otak tiap hari menghirup asap knalpot. Jengkel tenan aku iki, ndiamput.
Orang-orang kota sekan-akan berusaha mendikte bagaimana orang desa seharusnya bersikap. Orang desa harus lemah gemulai, santun, dan nggah-nggih. Kalian, orang-orang kota, seolah-olah adalah pahlawan yang akan membawa cahaya cerah untuk desa. Kalau nggak terima, silahkan lihat anak-anak KKN. Betapa ndakiknya omongan mereka ketika membuat program, tanpa paham bagaimana kultur desa itu seperti apa.
Perkara moral saja harus Jakarta-sentris, nggak paham lagi saya.
Sudah, nikmati saja film Tilik ini. Nonton aja nggak usah banyak berharap apa-apa macam nilai edukatif dan moral. Apalagi kalian malah menganggap orang desa harus dianggap begini begitu gegara nonton film tersebut. I mean, can you just fucking sit and watch?
Terutama bagi orang-orang kota yang berpendapat orang desa yang harus begini begitu. Sudahlah, kalian diam dan nikmati saja kejemuan kotamu. Rasa kesal terhadap kehidupan kotamu nggak usah dilimpahkan ke orang desa. Biarkanlah orang desa rasan-rasan, numpak truk waktu mau jenguk, dan ngrumpi. Itu bukan urusanmu dan nggak akan pernah jadi urusanmu.
BACA JUGA Hanya untuk Dua Pertandingan Ini Saja, Real Madrid Jangan Ikut-ikutan Arsenal dan artikel Rizky Prasetya yang lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.