Punya karakter yang mirip dengan si Doel, kayaknya enak juga.
Saya ini masih lajang. Kata ibu saya dengan lucunya, hilalnya bahkan belum terlihat. Mau nikah gimana? Lha wong kuliah saja belum khatam. Realistinya, nggak bakal ada yang mau dengan pria luntang-lantung di desa, tiduran di cakruk sambil garuk-garuk udel. Siangan dikit, saya ke rumah kawan main PS-2. Selain nggak keren, masa depan begitu abu-abu.
Hidup di lingkungan desa itu memang menyenangkan. Kadang, kalau beruntung kita bisa melihat biawak di pinggiran kali sedang ngobrol. Kita juga bisa mandi di sungai yang lumayan jernih walau nggak sejernih beberapa tahun yang lalu. Nggak enaknya ya itu, saya seakan masih terjebak dalam kondisi ideal menurut mereka. Ketika saya nggak menunaikannya, imbasnya sangat menyeramkan.
Parahnya, saya justru makin nyaman dengan obrolan buruk para tetangga tentang saya. Omongan mereka ibarat nasi, makanan pokok bagi saya tiap hari. Tapi ya gitu, nasinya nasi aking: nggak enak ketika masuk tenggorokan, apalagi ketika dimamah. Namun itulah kehidupan, mau nggak mau, suka nggak suka, pisuhi dan sampaikan saja walau hanya satu pisuhan.
Akan tetapi, maksud saya di sini nggak sedang curhat atau melakukan sebuah branding diri untuk dikasihani. Ada satu masalah yang saya alami dari beberapa kejadian di atas: ibu saya adalah fans berat Rano Karno. Katanya, “Kumisnya itu lho….” Jebul, takaran ganteng menurutnya sangat sederhana. Saya jadi tahu alasan ibu menikahi bapak tanpa harus dijelaskan.
Saking ngefansnya, katanya, ibu saya menyimpan foto Rano Karno di dompetnya. Ia sampai rela marah-marah dengan blio karena mempercayai sebuah mitos: anak kita bakal mirip seperti orang yang ia benci. Bahkan pada 1998 akhir, waktu di mana saya mau ceprot brojol, ibu saya bela-belain menyukai tokoh Mas Karyo padahal benci setengah mampus. Segitunya….
Ndilalah, bener sekali saya mirip sama Rano Karno, tapi hanya kumisnya. Sifatnya blas jauh dengan sosok ideal si Doel yang ia perankan. Nggak tahu ibu saya kecewa atau nggak, saya nggak mungkin mengorek ambisi masa lalunya. Biarlah waktu yang menjawab atau setidaknya saya sadar diri.
Semakin dewasa, ketika saya merasa saya bisa menjadi sosok Doel yang rajin sembahyang dan mengaji, kok ya rasanya saya semakin menjauh dari sosok ideal tersebut. Seperti yang saya ceritakan di atas, boro-boro menyelamatkan dunia, tiap sore saya hobinya main layangan bersama anak-anak. Kurang Atun apa saya ini? Wah, nggapleki.
Setelah saya berkontemplasi pelan-pelan, saya malah merasa mirip dengan tokoh Atun, adiknya si Doel. Sampai ketika saya melihat kembali tayangan si Doel, saya semakin yakin, Atun ini saya banget. Awalnya, sih, malu mengakui. Namun, jika dipikir-pikir lagi, Atun itu keren juga.
Atun ini sejatinya tokoh utama di sinetron ini. Atun bahkan sudi dirinya “mengorbankan masa depannya” demi pendidikan si Doel yang nggak murah. Saya merasakan tipis-tipis, nggak seekstrem yang dialami Atun, yakni gap pendidikan yang lebar antara saya dan kakak saya. Meski ini bukan hanya pendidikan, tapi juga kepandaian yang njomplang. Saya alergi matematika, sedangkan blio bekerja dan bergelut dengan hal itu.
Atun ini merupakan imbas dari kekejaman dunia di mana kakak—terutama pria—selalu diagungkan dan dielu-elukan. Ia sempat melawan atas ketidakadilan dengan mengikuti kursus kecantikan. Saya pun sama. Eh, maksudnya, saya ikut kursus pembibitan lele. Hal yang sama dengan Atun, saya sempat mencicipi kursus non-pendidikan formal. Untung saja Atun bukan SJW, bisa habis nasib si Doel waktu itu.
Hal yang lebih sentimentil bagi saya, ketika kakak saya pergi ke luar negeri itu dirayakan setengah mati. Saya nggak iri, tapi pencapaian saya yang tertinggi, blas nggak digubris sama sekali. Orientasi kesuksesan tetap mengacu kepada setinggi apa pencapaian itu diraih. Ya jelas, pencapaian saya satu-satunya itu naskah saya diterima di esai Mojok. Mosok ya saya mau minta syukuran seperti apa yang dilakukan untuk kakak saya? Bobo-boro mau syukuran, orang tua saya saja nggak tahu apa itu Mojok.
Menjadi Atun sepertinya bakal menjadi puncak kebahagiaan bagi siapa pun. Ia begitu ikhlas menerima kehidupan dan mudah turut bahagia dengan pencapaian orang lain. Ke rumahnya Sarah saja rasanya sudah seperti piknik baginya. Belum lagi menikahi seorang duda yang nggak kaya dan banyak omongnya. Atun juga selalu merasa cukup, walau kadang mintain duit Mak Nyak.
Atun ini orangnya tabah, padahal ia bukan hujan di Bulan Juni. Atun itu orangnya juga narimo ing pandum banget, padahal blio nggak sedang tinggal di Jogja.
BACA JUGA Cinere-Gandul, Rute Angkot si Doel yang Jaraknya Bisa Sambil Koprol dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.