Sejak dulu, ada anggapan wanita gemar sekali berbelanja. Tujuannya beragam, karena memang menyukai sekaligus membutuhkan barang yang dibeli, sekadar koleksi dan ingin, melampiaskan atau menyalurkan rasa kesal agar mood kembali positif, bahkan ada yang membeli sesuatu hanya karena “lucu”. Sampai saat ini, ungkapan “lucu” ini masih misteri—sebab apa dan bagaimana gambarannya.
Namun, narasi wanita gemar berbelanja sepertinya sudah so yesterday alias basi. Kini, yang gemar berbelanja tidak hanya kaum wanita, tapi juga para pria. Perlu bukti? Sudah banyak kok videonya di YouTube, coba saja ketik “berapa harga outfit lo?” pasti akan ada banyak video terkait para pria yang sedang memamerkan berapa harga yang dikenakan dari atas kepala hingga ujung kaki.
Secara keseluruhan, harganya pun terbilang mahal dari mulai jutaan hingga miliaran. Jelas bagi saya yang seorang karyawan swasta harga tersebut dirasa tidak masuk akal untuk sebuah outfit. Bagi saya lho, ya. Untuk mereka yang memang mampu membeli, saya tidak pernah mempermasalahkan. Namun jika penasaran dan ingin tahu kira-kira apa rasanya mengenakan pakaian semahal itu, boleh dan sah saja, dong?
Sebetulnya saya juga menyadari, bergaya itu yang penting menyesuaikan budget. Jika mampu, ya sah saja beli yang bermerk—original. Jika tidak, masih banyak kok brand dalam negeri yang kualitasnya bagus tapi harga tetap terjangkau, yang penting pandai dalam memilih mana yang cocok dan bukan karena gengsi semata. Sebab, biasanya gengsi akan lebih mahal dibanding daya beli.
Soal harga, kini selalu ada promo menarik di setiap outlet, distro, atau pun toko konvensial seperti Matahari. Biasanya, pada momen tertentu banyak orang beramai-ramai pergi ke sebuah outlet hanya untuk mengincar diskon sampai dengan berpuluh-puluh persen, dapat berupa cashback atau voucher belanja untuk digunakan di kemudian hari.
Soal diskon atau potongan harga yang tertera di setiap item atau barang, biasanya akan mengundang daya tarik banyak orang. Apalagi jika sampai diskon yang diberikan dobel seperti di beberapa departement store dengan harga yang dicoret sebelumnya terbilang besar atau mahal.
Namun, salahkah jika saya tidak percaya dengan harga diskon untuk banyak pakaian termasuk juga sepatu—outfit?
Sebab, beberapa kali saya mengakui hal itu ke teman saya kemudian mereka menganggap saya aneh. Pikir mereka, sudah bagus barang mahal langsung diberi murah jadi kita-kita yang gajinya UMR lebih sedikit ini bisa beli seperti orang (ke)banyak(an) duit lainnya.
Misalnya saja, sebuah tas harganya 1 juta, karena ada diskon 70%, harganya menjadi 300 ribu. Teman saya selalu tidak ragu untuk membeli dan berakhir dengan pamer, “ih, ini tas harusnya seharga 1 juta, loh. Karena ada diskon, jadi 300 ribu. Bagus, kaaaan?”. Begitu kira-kira yang dikatakannya. Sebentar, ini yang mau dipamerkan tasnya bagus atau diskonnya, sih?
Setelah memasuki masa dewasa awal, entah kenapa saya tidak percaya dengan diskon seperti itu. Menurut saya khusus untuk barang diskonan, harga sebenarnya suatu barang adalah harga akhir yang biasanya kita bayar—setelah diskon. Kalau pun ada perbedaan, paling-paling hanya sedikit. Juga saya selalu berpikir, diskon itu hanya akal-akalan saja agar suatu barang terlihat lebih menarik dari sisi harga.
Hal itu juga dipertegas oleh pernyataan guru ekonomi saya ketika SMA. Sebagai penegasan, teman kuliah saya yang berasal dari jurusan ekonomi pun mengiyakan pernyataan tersebut. Meskipun begitu, masih banyak diantara teman saya yang tetap percaya bahwa diskon adalah anugeran dan salah satu hal yang dinanti dalam dunia perbelanjaan dengan budget yang terbatas.
Soal diskon ya memang suka-suka setiap orang, sih. Saya boleh jadi tidak percaya tetapi tidak dengan yang lain. Bagi mereka yang percaya dan selalu mengincar harga diskon tentu akan menjadi kebahagiaan sendiri saat berhasil mendapatkan barang yang diinginkan. Lalu, apa siapa saya berani-beraninya merenggut dan mengatur kebagiaan orang lain?
Sampai dengan saat ini pun saya masih tidak percaya dengan harga diskonan, karena saya masih berpendapat itu hanya salah satu strategi marketing agar dapat menarik lebih banyak pembeli, akhirnya penjualan pun meningkat. Dan di sisi yang lain, itu tidak salah selama dilakukan dengan baik.
Saya sih tidak mungkin termakan tipu daya diskonan. Tapi kok ya promo cashback dan promo-promo lainnya melalui dompet digital atau cashless itu susah banget ditolak. Dan seringkali saya gunakan promonya untuk makan siang di kantor.