Saya tiba-tiba merindukan perjalanan ke kantor di masa awal pandemi. Jalanan sepi, udara terasa lebih segar, dan waktu perjalanan jadi lebih singkat. Mungkin ini terdengar insensitif, tapi saya benci padatnya jalan Kaliurang dipenuhi pengendara tolol yang lebih baik dicabut SIM-nya. Kini, jalan sudah penuh dan kembali seperti sedia kala. Masa new normal disambut dengan penuh kebahagiaan.
Perasaan saya campur aduk melihat ini. Saya bahagia melihat burjo mulai didatangi pembeli, meski hanya satu dua. Tapi saya tidak bisa tidak marah melihat orang memenuhi kafe, seakan tidak ada hari esok untuk ngopi. Saya sedikit lega melihat roda ekonomi mulai berjalan, tapi mendengar kakak saya mengabari bahwa dia harus mengurus pasien positif baru membuat hati saya perih.
Saya pikir dulunya new normal itu begini: kantor mulai masuk, namun dengan protokol baru. Contohnya, memberlakukan shift pagi dan malam. Dalam dua bulan pembatasan sosial, kantor-kantor akhirnya tahu bahwa beberapa pekerjaan bisa diselesaikan dari rumah. Warung-warung buka dan menyarankan agar pembeli membungkus makanannya pulang. Pekerja lapangan akan dipantau langsung oleh tim kesehatan agar mereka tidak terpapar corona dalam pekerjaannya.
Tapi yang terjadi malah justru café penuh, orang-orang tiba-tiba jadi atlit sepeda, seakan-akan jutaan orang mati karena virus kemarin adalah tumbal untuk kebebasan yang sekarang dihirup.
Ribuan orang yang mati kemarin terlampau kecil di mata Pemerintah. Membiarkan wisata dibuka dan menggerakkan para artis untuk mengatasi virus adalah hal terbodoh yang bisa dipikirkan. Orang-orang mengutuknya, namun mereka ada di kerumunan yang sama.
Apalagi WHO menyatakan bahwa corona bisa menyebar lewat udara. Dunia ini melalui ratusan perang akbar, namun bahaya yang diberikan oleh corona ini lebih mengerikan.
Dalam hidup yang brengsek ini, tak pernah saya takut mati separah ini. Saya berpikir untuk mengakhiri hidup saya berkali-kali, tapi di ujung hari saya selalu menang melawan pikiran buruk. Namun, saya tak menyangka saya bisa saja mati karena orang-orang sedang bergembira.
Bisa jadi, saya akan terbaring dengan panas tubuh yang mengerikan dan napas yang tersengal setelah terpapar di tempat makan. Bisa jadi saya tiba-tiba meninggal tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang tercinta.
Atau yang lebih parah, saya tiba-tiba mendengar kabar sedih seperti orang tua saya tiba-tiba divonis positif karena terpapar orang di pasar atau kerumunan lain. Saya tidak bisa membayangkan kemungkinan buruk dari new normal ini. Tepatnya, saya punya kemungkinan begitu besar untuk mati konyol.
Saya tidak bisa melarang siapa pun untuk berkumpul dan berbahagia. Tapi saya rasa, hidup ini terlalu sia-sia jika harus berakhir karena keinginan untuk segelas kopi. Saya pikir corona ini memberikan kita pelajaran betapa pentingnya hidup untuk kita, dan seharusnya kita tidak membuangnya hanya karena menganggap semua ini sudah kembali seperti sedia kala.
Jika kalian membaca ini, saya ingin kalian mencoba menghargai hidup. Saya ingin kalian menghindari kerumunan dan sebisa mungkin tidak mengiyakan ajakan nongkrong. Saya ingin kalian hidup cukup lama untuk bisa melihat anak kalian tumbuh dewasa. Atau setidaknya sampai keberanian kalian terkumpul untuk menyatakan cinta kepada orang yang kalian kagumi selama ini.
Sebrengsek apapun hidup, tetap saja ini sesuatu yang terlampau sia-sia untuk ditinggalkan. Hanya karena ribuan orang berkicau tentang new normal, percayalah, tidak ada yang new dan normal dari ini semua. Cintailah hidup, dan tetaplah hidup.
BACA JUGA Mobile Legends Kan Game Strategi, Wajar Dong Kalau Mainnya Diatur dan artikel Rizky Prasetya yang lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.