Sejak kanak, kita selalu dibombardir dengan tontonan dan bacaan yang menggiring kita untuk menjadi manusia yang suka menghakimi. Tokoh-tokoh dalam banyak cerita; baik cerita rakyat, novel, sinetron, pewayangan, bahkan komik sekali pun, selalu berisi 2 tokoh dengan watak yang bertolak belakang: baik dan jahat.
Kebiasaan itu, tanpa kita sadari, telah mengendalikan cara berpikir dan mindset kita bahwa di dunia ini, hanya ada 2 jenis manusia, yakni manusia yang memiliki sifat protagonis atau manusia dengan sifat antagonis. Padahal, bukan hanya hitam dan putih, justru di dunia ini, abu-abu yang mendominasi. Tidak ada orang yang benar-benar bajingan keparat atau tanpa cela bak malaikat. Semua orang memiliki tingkat ke-brengsek-an masing-masing.
Saya jadi ingat salah satu kutipan dari Jess C. Scott, “Orang-orang adalah domba, dan televisi adalah gembala.”
Benar, televisi, yang sekarang bukan hanya berbentuk video dalam kotak besar yang berisi saluran-saluran televisi swasta seperti RCTI, MNCTV, SCTV, dan sebagainya, tetapi juga telah menjelma menjadi YouTube, Netflix, Viu, HOOQ, media sosial, dan lain-lain yang bisa diakses melalui benda kecil nan minimalis bernama telepon seluler.
Apa akibatnya? Kita akan tumbuh menjadi orang yang tidak terima bila ada orang jahat yang sebetulnya tidak melulu jahat. Tentu, kita tidak mau menerima bila di sisi lain, Ayumi di sinetron Anak Langit adalah sosok yang suka bersedekah dan penyayang. Atau, mungkin akan jadi aneh bila tokoh Oh Jim-shim dalam drama Korea Touch Your Heart yang notabene baik hati, terkadang menjadi sosok egois dan suka mencuri.
Nah, inilah kenapa di dunia nyata, kamu sering tidak terima jika teman dekatmu yang telah merebut pacarmu, adalah orang yang ramah, toleran, dan punya banyak teman. Kebaikan-kebaikan semacam itu, menurutmu hanyalah kebusukan yang berbalut emas. Padahal, tidak ada orang yang benar-benar baik atau melulu menjadi orang yang brengsek.
Benar, semua orang memang punya sisi buruk, tergantung dari sudut mana kita menilai.
Saya punya kenalan, dia adalah orang punya nasionalisme tinggi. Dia adalah orang paling khusuk saat mengikuti upacara hari senin. Pandangannya lurus ke depan dengan posisi yang siap sempurna. Sesekali, ini menitikkan air mata bila lagu Indonesia Raya dinyanyikan dan bendera merah putih dinaikkan.
Namun di sisi lain, temanku itu suka jajan di kantin bersama teman-temannya saat jam pelajaran tiba. Dia juga kadang menggunakan kaos kaki yang tidak sesuai ketentuan.
Lalu, apa artinya dia orang yang jahat? Atau orang yang baik?
Seperti yang saya katakan tadi, tidak ada orang yang benar-benar baik atau menyebalkan. Semua orang memiliki cara tersendiri dalam menyikapi berbagai persoalan.
Misalnya begini, setiap orang pasti menganggap dirinya baik. Kamu akan menganggap bahwa dirimu bukanlah orang yang jahat. Kamu menyayangi keluargamu dengan sepenuh hati, bisa berbicara santun, selalu tersenyum bila bertemu dengan orang lain, dan tidak neko-neko.
Akan tetapi, mungkin saja di balik semua itu, kamu adalah sosok yang selalu mementingkan diri sendiri, suka menunda pekerjaan, pemalas, dan suka berbohong kepada guru saat di sekolah. Bukankah itu artinya, kamu tidak benar-benar menjadi orang yang baik?
Maka sekali lagi, tidak seharusnya kita menghakimi orang lain. Sebab semua orang punya tingkat keberengsekan masing-masing.
Oleh karena itu, jangan biarkan teknologi menggiring kita untuk membentuk opini di alam bawah sadar tentang kemudahan dalam menilai baik dan buruknya suatu hal.
Dalam keterbatasan manusia, sebenarnya kita tidak bisa menilai baik buruk berdasarkan angka. Toh bila memang bisa, angka tetaplah menjadi ukuran yang subjektif. Menentukan kebaikan dan keburukan seseorang sama seperti menilai apakah dia cantik atau tidak, tampan atau tidak. Ya, benar-benar nisbi.
Baik dan buruk sangatlah relatif, bisa begini dan begitu tergantung siapa yang memandang. Bahkan, hal-hal yang selama ini kita yakini baik, akan dinilai buruk oleh orang-orang tertentu. Begitu juga dengan hal-hal buruk yang kita rasa tidak pas di hati, mungkin menurut orang lain, itu adalah hal baik yang patut dicontoh.
Lalu, masih perlukah kita untuk mengelompokkan orang-orang dalam dua golongan: baik dan jahat?