Tidak ada hujan di Situbondo. Mendung yang bergelayut hanya singgah lalu memilih pergi menjauh dari kota ini
Lampu merah kadang jadi musuh bebuyutan bagi beberapa pengendara. Diminta menunggu saat diburu oleh waktu itu jelas menyebalkan. Tapi yang lebih menyebalkan daripada itu adalah, diminta menunggu saat diburu oleh waktu, sembari dihujani sinar matahari tanpa ampun.
Itulah yang kerap saya rasakan saat terjebak lampu merah di Situbondo. Seperti biasa, Situbondo begitu panas. Kondisi ini diperparah dengan minimnya pepohonan di lampu merah. Padahal, lampu merah di Situbondo itu parah. Ya parah panasnya, ya parah lamanya. Sampai-sampai, baju yang awalnya basah menjadi kering, lalu kembali basah karena keringat, lalu kering lagi. Saking parahnya panas di kota ini, jarang ada mendung, apalagi hujan.
Karunia Tuhan
Pantai dan gunung tampaknya bercumbu mesra di kota ini. Tidak usah mencari pantai, pantai itu yang akan datang sendiri. Tentu, kita di Jawa timur tidak asing dengan nama Pantai Pasir Putih. Sesuai dengan namanya, pantai ini memiliki pasir putih yang memanjang lengkap dengan fasilitas kualitas lokal. Maksudnya, hotel-hotel sederhana dengan furnitur kuno, kamar mandi dengan beberapa kran macet dan lumut-lumut kecil di beberapa sisi.
Nah, bila kita berkendara menggunakan kendaraan darat dari Jakarta menuju Bali via Situbondo, kita akan melewati Pantai Pasir Putih. Sayangnya, bila tidak membayar, pantai itu tidak akan terlihat, karena tertutup tembok tinggi yang tidak enak dipandang. Padahal, kecuali tembok jahanam itu, di sepanjang jalan kita akan melihat hamparan pantai di sebelah kiri dan pegunungan megah di sebelah kanan. Dan, pemandangan itu dapat kita nikmati hingga ujung timur Situbondo yang merupakan wilayah Taman Nasional Baluran.
Konsekuensi
Entah ini karunia atau musibah, yang jelas, tidak ada hujan di Situbondo. Pernah di kala itu, mendung mulai menggelayut gelap di langit kota. Udara dingin mulai datang, orang-orang mulai mengentas jemurannya. Beberapa saat berlalu, mendung menghilang digantikan panas kembali. Kejadian seperti ini seringkali berulang. Istilahnya, hujan yang PHP. Saya juga heran dengan fenomena ini, kenapa mendung hanya lewat, memberikan rasa sumuk di badan orang-orang Situbondo, tetapi hujannya tak kunjung tiba.
Kejadian aneh lain juga pernah saya alami, ketika saya berkendara dari Jember menuju Situbondo. Siang itu, hujan badai menerjang kota Jember. Saya sudah menyiapkan diri dengan memakai jaket dan jas hujan. Seluruh jalanan basah, banjir di beberapa titik, hingga sampailah 100 meter sebelum gerbang masuk kota Situbondo. Kontras, langit cerah dan tanah kering.
Asumsi saya, cuaca lokal seperti ini terjadi karena lokasi Situbondo yang terletak di celah sempit di antara pantai utara Pulau Jawa dengan deretan Pegunungan Argopuro dan Iyang di selatan. Konsekuensinya, udara dingin dari arah selatan terhalang oleh pegunungan, dan udara panas dari pantai akhirnya suka nongkrong di kota. Meskipun udara dingin dari pegunungan itu ada yang lolos sekalipun, pasti langsung dikeroyok oleh saudara-saudara yang sedang mendidih itu. Penganiayaan ini tentu perlu ditindaklanjuti oleh negara hukum semacam Indonesia.
Semakin parah
Sudah sejak lama, panasnya Pantura itu hora umum. Banyak industri yang membangun pabriknya di area sekitar Pantura. Akhirnya, banyak polusi dari pabrik-pabrik itu yang menguar ke area sekitar. Panasnya asap dari cerobong-cerobong pabrik itu juga terakumulasi dengan polusi dari kendaraan bermotor, juga, masih ditambah dengan bertebarannya debu-debu yang diakibatkan oleh hembusan truk ketika melintas.
Jalanan berlubang, menjadi biang asal debu-debu itu. Truk-truk yang bebannya melebihi kapasitas membuat semuanya semakin kacau. Tidak lupa, kualitas pengerjaan jalan yang buruk juga punya andil semakin abadinya masalah panas di Pantura. Dan untuk Situbondo, kondisi ini semakin diperparah dengan karunia tuhan yang dimilikinya.
Lalu, sudah tau Situbondo panas, masak tidak ada inisiatif dari masyarakatnya?
Musuh besar
Musuh terbesar saya, sebagai orang Situbondo, sebenarnya bukan cuma panasnya, tetapi iblis bermata tiga itu. Lampu merah di Situbondo itu juga parah, lamanya minta ampun. Seringkali, saya sampai telat masuk kerja gara-gara gagal menyelip lampu hijau. Masalahnya, saingan saya itu bukan cuma motor atau mobil, truk tronton yang panjang dan mengular menjadi rival abadi ketika ingin melintas di persimpangan. Salah perhitungan sedikit, sudah beda alam.
Selain lama, lampu merah di Situbondo itu juga minim peneduh. Tidak ada pohon untuk berlindung. Jadi bisa dibayangkan, tidak ada mendung, tidak ada pohon, panas terik, polusi dari kendaraan-kendaraan besar, jalanan berlubang, dan lama. Fix, ini benar-benar musuh besar.
Jalan pintas
Sebenarnya, tidak ada solusi praktis agar turun hujan di Situbondo. Tapi, minimal, akumulasi panasnya bisa dikurangi lah. Kalaupun tidak hujan, Situbondo masih dapat banjir kiriman kok dari tetangga sebelah. Yang jadi masalahnya sekarang bagaimana agar panas di lampu merah itu bisa berkurang.
Opsi pertama tentu harus menanam banyak pepohonan, agar jalan-jalan menjadi rindang dan teduh. Opsi kedua, bisa jadi melakukan pembangunan jalur lingkar luar agar kendaraan-kendaraan besar itu tidak menambah puyeng orang-orang di lampu merah. Sudah selayaknya, Situbondo melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri, agar tidak selalu mendidih dan gampang naik pitam, terlebih karena udaranya.
Penulis: Ibbas Dimas Baskoro
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Situbondo, Madura Swasta yang Kaya Sejarah