Tiara Uci, penulis paling viral di Mojok saat ini, mengungkapkan penderitaannya selama tinggal di Surabaya. Kira-kira apa aja yang Mbak Tiara Uci rasakan, ya?
Surabaya adalah salah satu kota di Indonesia yang paling banyak mendapatkan pujian dari pemerintah terkait penataan ruang kotanya. Saya pun tak akan menutup mata dengan semua hal baik yang ada di Kota Pahlawan. Bahkan, saat saya diundang ke PutCast Mojok dan ditanya apakah saya tidak ingin menghabiskan masa tua di Pulau Tidore, saya langsung menjawab tidak dan masih ingin hidup di Surabaya. Oh ya, kalian bisa nonton video berjudul Tiara Uci: Penulis Paling Viral di Mojok Saat Ini di sini, Rek.
Sebagai manusia yang pernah tinggal di luar pulau Jawa—meskipun hanya satu atau dua bulan—tinggal di Surabaya memang terasa lebih mudah. Terutama jika kita melihatnya dari sudut pandang modernitas dan kemudahan akses terhadap layanan publik seperti rumah sakit, kampus, sekolah, hingga tempat perbelanjaan.
Meski mencintai Surabaya dengan sepenuh hati, bukan berarti saya tak menyimpan kekecewaan sama sekali. Saya ini hanya manusia biasa yang mencoba tetap bersyukur, tapi nggak bisa berhenti mengeluh juga. Jika diizinkan sambat tentang Kota Pahlawan, dengan senang hati akan saya buat daftarnya.
#1 Harga rumah di Surabaya sundul langit
Ketika masih SD, guru saya bilang jika kebutuhan primer (utama) manusia ada tiga, yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalahnya, untuk memenuhi kebutuhan papan (tempat tinggal) di Surabaya itu berat. Harga rumah di Surabaya tuh nggak ngotak dan mustahil dijangkau oleh pekerja bergaji UMR.
Saya ambil contoh di Ketintang, ya. Harga rumah di sini paling murah Rp1,5 M, itu pun ukurannya kecil saingan dengan rumah burung dara. Sekarang bayangkan jika gaji kalian UMR Surabaya yang hanya Rp4,3 jutaan atau bahkan di bawahnya. Mana cukup buat KPR, Rek?
Sebenarnya ada alternatif bagi pekerja Surabaya yang gajinya ngepas UMR untuk memiliki tempat tinggal sendiri, yaitu dengan membeli rumah di daerah sekitar Surabaya seperti Sidoarjo dan Gresik, kalau nggak ya membeli apartemen. Akan tetapi, harga apartemen di sini juga tak murah. Misalnya saja di Jalan Ahmad Yani, ada banyak sekali apartemen di sini, tapi harganya Rp900 jutaan. Nangis nggak tuh para pekerja Surabaya melihat kondisi seperti itu? Memang ada sih apartemen yang kisaran harganya Rp350 jutaan, tapi biasanya bangunannya sudah lama.
Jika pemerintah nggak bisa membuat harga tanah dan properti murah, mbok ya minimal memperbanyak jumlah rumah susun yang layak dan harganya terjangkau. Supaya masyarakat memiliki alternatif tempat tinggal yang lebih dekat dengan pusat perkantoran di Surabaya.
#2 Banyak orang membeli mobil tapi nggak punya lahan parkir
Ketika Wali Kota Solo membuat peraturan tentang parkir mobil, di mana warga akan didenda jika memiliki mobil tanpa lahan parkir, sejujurnya saya berharap Kota Surabaya bisa menerapkan peraturan serupa. Bukannya saya iri dengan orang yang memiliki banyak mobil, tapi saya emosi kalau ketemu orang yang parkir mobil di jalan raya. Sebab, pengendara jalan lain bakal kesulitan lewat dan membuat jalanan makin macet saja.
Baca halaman selanjutnya
Sialnya, kalau saya nggak sengaja nyerempet mobil yang parkir sembarangan…