“Kejujuran sejatinya adalah obat yang mujarab.”
Kutipan tersebut terus terngiang di kepala saya seusai membaca buku The Poz Says OK. Menggelitik hati saya lebih dalam. Mengingat sebagian kita selalu bersikap denial terhadap apa yang kita alami. Mencoba menutupi identitas diri dan apa yang kita rasakan nyatanya tak selalu berakibat baik. Saya setuju terhadap pernyataan penulis, jujur terhadap diri dan orang lain, sejatinya adalah kesembuhan yang mujarab.
Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi Amahl S. Azwar, seorang Poz. Poz sendiri merujuk pada pengidap HIV positif. Meski mengidap HIV, Amahl menjalani hidup seperti biasa. Dia menjalani pekerjaan, menikmati apa yang ia makan, berolahraga, dan hal-hal lainnya. Bukan menderita seperti apa yang saya dan orang awam bayangkan tentang hal ini.
Amahl S. Azwar sama sekali tidak bermaksud membanggakan statusnya yang positif HIV. Tujuan utamanya menulis buku ini adalah menolong para penderita positif HIV agar segera bangkit dan mengupayakan kesembuhan untuk dirinya. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga menjalani hidup.
Kenangan Amahl tentang HIV pertama kali adalah saat membaca majalah Hidayah yang terbit sekitar tahun 2000-an. Ada sebuah kisah tentang seorang pramugari yang menjalin hubungan dengan seorang bule. Keduanya sama-sama laki-laki. Di akhir cerita, pramugari tersebut mengidap HIV dan menjalani sisa hidupnya dengan sangat mengerikan.
Tapi, dia tak mendapat informasi apa pun tentang pengobatan atau apa yang harus dilakukan. Cerita tersebut terfokus pada azab dan hal-hal yang sudah kita tahu.
Amahl juga pernah menjadi aktivis HIV/AIDS. Berkat pengetahuan yang ia peroleh, ia dapat meyakinkan ibu dan keluarganya untuk menerima salah satu sanak keluarga yang positif HIV. Sebelumnya, ibunya merasa ketakutan saat menemui kerabatnya yang bertamu. Tantenya bahkan mencuci semua piring setelah kerabatnya pergi. Amahl menjelaskan bahwa HIV tak bisa menular lewat sentuhan tangan maupun udara.
Kendati demikian, ternyata pengetahuan yang ia dapatkan dari pengalamannya belum cukup. Amahl tak pernah tahu bagaimana upaya preventif agar tak tertular HIV. Dia akhirnya tertular.
Di fase awal, Amahl memutuskan untuk menutupi identitasnya. Meskipun deteksi virus ini masih terbilang dini, Amahl juga merasakan sakit yang luar biasa di tubuhnya. Ia merasa sel-sel tubuhnya berjatuhan satu per satu. Ia tetap melakukan pekerjaanya sebagai wartawan full time seperti biasa. Ia menenggak obat setiap hari di jam yang tepat. Efek sampingnya pusing luar biasa dan cukup mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Suatu ketika, atas kelalaian dan kesalahan yang dilakukan Amahl, ia dipecat dari pekerjaanya. Kelalaian itu masih erat kaitannya dengan status positif dan efek samping dari mengkonsumsi ARV. Amahl menerima pemecatan itu. Ia menganggapnya sebagai pil pahit yang harus ia telan.
Saat itulah Amahl merasa putus asa. Ia merasa dunianya runtuh. Menjadi jurnalis adalah cita-citanya sejak kecil. Ia sempat ragu untuk menghubungi keluarganya dan mengabarkan bahwa ia positif HIV. Ia khawatir akan mengalami penolakan yang kedua kalinya. Namun, keraguannya sama sekali tidak terbukti. Ia mendengar suara halus ibunya dari seberang telepon.
“Pulang saja, Nak. Kamar kamu nanti akan disiapkan. Mama malah senang kalau kamu ada di rumah.”
Di saat itulah, saya kembali teringat akan kasih ibu yang tak terbatas. Keluarga yang dapat menerima kita apa adanya adalah tempat pulang terbaik. Suara ibunya membuat Amahl memantapkan diri untuk pulang ke Bandung, tempat ia dibesarkan.
Beberapa waktu lamanya, Amahl mengalami depresi yang cukup berat. Ia mengakui dan menerima kondisinya itu. Dalam keterpurukan yang sangat itu, Amahl masih bisa membuat komitmen sederhana: ia harus makan dan mandi. Dua hal ini tentu tampak sepele bagi orang yang sehat fisik maupun mentalnya. Namun, menjadi sangat berat buat orang yang sedang sakit. Ah, ingatkah kita saat patah hati menerjang? Jadwal makan berantakan, tidur juga tak nyenyak. Kita lebih nyaman berbaring di kasur sambil berurai air mata.
Hal itulah yang juga dialami Amahl. Tempat ternyamannya adalah di kamar. Ia menghabiskan waktunya dengan menonton serial film secara marathon. Dengan komitmen sederhana yang ia buat, ia berhasil memaksa dirinya untuk keluar kamar saat tiba waktu makan dan mandi. Amahl menyebutnya self care. Suatu hal yang pantas untuk kita tiru saat depresi menyerang.
Salah satu hal istimewa yang ia peroleh di masa itu adalah pertemuannya dengan Magdalene. Esai singkatnya yang menceritakan dirinya memperoleh respon yang baik dari pembaca. Ia kerap mendapat pesan pribadi dari pembaca yang merasa terbantu dengan tulisannya. Juga para pembaca yang menggunakan tulisannya untuk memotivasi kerabat atau orang terdekat yang terpapar virus ini.
Serangkaian peristiwa penolakan dan penerimaan masih ia terima setelah itu. Hari-harinya tak selalu mudah. Namun, pada akhirnya Amahl memutuskan untuk tetap hidup dan berkembang.
The Poz Says OK tak luput membahas pentingnya tahu status HIV. Terutama bagi mereka yang rentan terpapar seperti para pekerja seks komersial dan pemakai narkoba dengan jarum suntik. Amahl menceritakan pengalaman seseorang yang ia temui di klinik, yang menolak melakukan tes HIV. Meski, sebenarnya orang itu datang untuk melakukan rangkaian tes PMS yang lain.
Amahl juga pernah memiliki seorang kenalan yang terpapar virus ini. Sayangnya, ia sudah sangat terlambat mengetahuinya. Infeksinya sudah menyebar ke mana-mana. Pada akhirnya ia memilih untuk pulang dan menjalani sisa hidup dengan bertobat, tanpa berobat. Menurutnya, ia pantas mendapatkan penyakit ini.
Sungguh disayangkan. Andai orang-orang itu segera sadar diri untuk melakukan tes HIV dan tidak buru-buru menyerah, tentu akan lain ceritanya.
Dalam The Poz Says OK, Amahl membuktikan bahwa ia dapat bertahan selama delapan tahun dengan status HIV positif. Dengan meminum ARV secara taat jadwal dan teratur, jumlah virus dapat ditekan hingga angka yang rendah hingga tak terdeteksi. Menurut dokternya, jumlah yang rendah ini tak akan mampu menularkan infeksi ke pasangannya. Perlu dicatat, ARV hanya menekan jumlah virus saja. Status HIV orang tersebut masih positif.
The Poz Says OK memberikan informasi yang penting dan amat perlu kita ketahui tentang HIV. Buku ini, saya pikir, adalah jalan untuk memberi pengetahuan dan pencerahan kepada manusia yang awam tentang hal ini.
Manusia menolak dan takut akan hal yang tidak dia ketahui. Terkadang, manusia membuat cerita rekaan yang ia pikir pantas untuk menanggulangi rasa takut. Tapi, seperti kegelapan, ketakutan yang didasari atas ketidaktahuan tak memberimu apa-apa. Membuatmu tersesat tanpa tahu arah mana yang harus dilewati. The Poz Says OK memberi cahaya yang cukup agar kita, sebagai manusia, tak perlu lagi takut dan percaya rekaan-rekaan yang ada.
The Poz Says OK menekankan bahwa harapan untuk hidup dan bahagia itu penting. Mungkin, kalian punya pendapat berbeda tentang hal ini, namun kita perlu sepakat, bahwa hidup adalah hal terindah yang kita punya, dan apinya perlu kita jaga.
Sumber gambar: Situs Buku Mojok