The Gray Man merupakan sebuah film yang disutradarai oleh Joe dan Anthony Russo serta dibintangi oleh Ryan Gosling, Chris Evans, Ana de Armas, dan lain-lain. Film ini pertama kali dirilis pada tanggal 22 Juli lalu atau hanya berselang beberapa minggu dengan waktu penulisan artikel ini.
Secara singkat, film ini bercerita tentang seorang agen CIA bernama Sierra Six (Ryan Gosling) yang dituduh telah melakukan pengkhianatan terhadap badan intelijen yang mempekerjakannya. Hal itu kemudian membuatnya diburu oleh Lloyd Hansen (Chris Evans), orang suruhan CIA yang dikenal sebagai seorang sosiopat dan tak pernah main-main dalam menjalankan tugasnya. Beruntunglah, Six mendapatkan bantuan dari Dani Miranda (Ana de Armas), sesama agen CIA yang terlibat dalam misi yang sama dengannya beberapa waktu lalu.
Lantas, bagaimanakah nasib dari Sierra Six? Apakah ia bisa selamat dan terbebas dari tuduhan yang dibebankan kepadanya? Ataukah justru sang sosiopat yang dapat menambah panjang daftar misi suksesnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, silakan kalian segera membuka Netflix masing-masing dan menyaksikan filmnya sendiri.
Sejujurnya, saya mulanya tak begitu berminat untuk menyaksikan film ini. Namun, begitu melihat nama sutradaranya, saya seketika berubah pikiran. Bagaimana tidak? Bagi kalian yang mengikuti Marvel Cinematic Universe (MCU), pasti sudah tak asing lagi dengan duo bersaudara Joe dan Anthony Russo.
Begitu saya tuntas menyaksikan The Gray Man, ada beberapa hal yang bagi saya paling menarik untuk dibahas. Nilai positifnya yang pertama adalah para pemeran utama yang bermain sangat apik dan mampu menghidupkan karakter mereka dengan sebaik mungkin. Ryan Gosling, sebagai protagonis utama dari film ini, terasa begitu menjiwai perannya sebagai seorang agen CIA dengan masa lalu yang kelam. Ketika ia dituntut untuk melakukan adegan-adegan aksi, semuanya terasa nyata dan penonton bisa ikut merasakan ketegangan yang ia rasakan. Begitupun ketika ia harus menampilkan sisi humanis dari sang agen, aktor berusia 41 tahun itu juga dapat membuat karakternya menjadi lebih manusiawi dan tidak sekadar orang yang jago baku hantam saja.
Pujian yang sama juga patut dilayangkan kepada Chris Evans, sang Captain America. Di film ini, dia berperan sebagai seseorang yang sifatnya sangat bertentangan dengan pemimpin tim Avengers itu. Sebagai Lloyd Hansen, Evans dituntut untuk mampu menampilkan seorang tokoh antagonis yang tidak mengenal belas kasih sedikit pun. Bahkan, ada beberapa adegan dalam film ini yang sangat sadis dan membuat saya merasa ngilu ketika menyaksikannya. Hebatnya, ia benar-benar keluar dari citranya sebagai Captain America yang sudah begitu melekat. Untuk itu, saya harus memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas performa ciamiknya dalam karya layar lebar yang satu ini.
Selanjutnya, kita akan bicara tentang Ana de Armas, yang berperan sebagai sidekick dari Sierra Six. Ketika melihat aktingnya di film ini, saya langsung teringat akan penampilannya di film No Time to Die beberapa waktu lalu, di mana ia berperan sebagai salah satu Bond Girl yang sayangnya, tak mendapatkan banyak jatah bermain. Dalam The Gray Man, ia seperti mendapatkan kesempatan kedua untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia memang aktris yang piawai.
Akan tetapi, dari segi cerita, sesungguhnya The Gray Man tidak menampilkan sesuatu yang baru dan out of the box. Kisah mengenai seorang agen yang berkhianat lantas mesti berkeliling dunia demi menghindari kejaran musuh-musuhnya terasa cukup klise. Kita sudah dapat menebak apa yang kira-kira akan terjadi dan bagaimana film semacam itu akan berakhir. Oleh karena itu, bagi kalian yang mengharapkan sebuah film dengan konflik yang inovatif dan penuh plot twist mencengangkan, saya pikir The Gray Man bukanlah pilihan yang tepat.
Namun, bagi kalian yang sedang suntuk akibat padatnya rutinitas dan menginginkan sebuah hiburan, film ini dapat dijadikan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Kalian pasti akan terhibur dengan adegan action-nya yang sangat seru dan dieksekusi dengan begitu baik. Menurut saya pribadi, momen paling keren terjadi pada bagian pertengahan film, di mana penonton disuguhkan dengan aksi tembak-menembak dan kejar-kejaran sengit antara banyak pihak.
Satu hal lainnya yang saya senangi adalah The Gray Man tidak menampilkan gadget-gadget canggih seperti di serial film Mission: Impossible-nya Tom Cruise. Tidak ada pena yang bisa meledak, kamera yang bisa menembak, ataupun alat-alat lainnya yang terasa sangat futuristik. Dengan begitu, adegan aksinya jadi terasa lebih riil dan membumi.
Selain itu, saya juga sangat menyukai cara para pembuat film ini dalam mengambil gambar pada beberapa adegan tertentu. Terakhir kali saya dibuat terkesima dengan sinematografi sebuah film adalah ketika saya menyaksikan The Batman-nya Robert Pattinson beberapa bulan lalu. Setelah itu, rasanya belum ada film yang membuat saya sampai memuji aspek tersebut hingga saya berjumpa dengan The Gray Man.
Tapi, formula cerita yang diulang, jujur saja, bikin film ini membosankan. Tidak ada kebaruan yang ditawarkan, dan cerita yang bikin orang terpukau karena ya itu tadi, formulanya lawas. Namun, tetap enjoyable kok, kalau kalian nggak mau mikir berat sih.
Sumber gambar: Akun Instagram @netflixfilm
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 6 Rekomendasi Film Detektif Lawas selain Sherlock dan Poirot