The Batman: Film Superhero kok Begini?

The Batman: Film Superhero kok Begini?

The Batman: Film Superhero kok Begini? (Instagram @thebatman)

The Batman adalah film yang melelahkan. Durasinya hampir tiga jam, memiliki lebih dari tiga babak, dan hampir tidak ada waktu istirahat sepanjang film. Teka-teki yang dihadirkan memaksa saya untuk harus fokus agar tidak ada satu detail pun yang terlewatkan. Hasilnya adalah, begitu film ini selesai, selain terpukau dengan apa yang tersaji, energi saya bak terkuras habis.

Dan sebelum kalian khawatir akan spoiler, tenang, kali ini saya mencoba untuk tidak membocorkan apa pun yang bisa mengganggu kenikmatan kalian menonton.

Melihat bobroknya Gotham City

Menonton satu film utuh ini, rasanya seperti marathon menonton serial Netflix tiga musim sekaligus. Sangat menyenangkan untuk diikuti, tetapi di sisi lain juga menguras tenaga. Iya, The Batman garapan Matt Reeves adalah tipe film seperti itu, yang menghadirkan misteri demi misteri, ketegangan demi ketegangan, pun aksi demi aksi tanpa jeda sama sekali.

Film ini menghadirkan Robert Pattinson sebagai Bruce Wayne yang sangat berbeda dari sosok Bruce Wayne pada live action Batman sebelumnya. Ia adalah anak muda gloomy yang tampak tidak bersemangat terhadap banyak hal. Akan tetapi ketika menggunakan kostum Batman, ia adalah sosok brutal yang tak segan menghajar musuhnya sampai nyaris menjemput ajal. Batman yang ia representasikan bukanlah simbol ketakutan maupun keadilan. Ia adalah simbol pembalasan dendam.

Batman (Instagram @thebatman)

Ia mencoba bertahan di kota Gotham yang sakit, penuh kejahatan, perdagangan narkoba, dan dilengkapi dengan petugas dan pejabat korup di mana-mana. Hidup di dalam kota yang sakit, Bruce mencoba membuat perubahan dengan melakukan aksi vigilante setiap malam, mencoba memberi perubahan, meski selama dua tahun ia beroperasi, tak ada tanda-tanda perubahan tersebut akan datang. Satu-satunya yang membuat Bruce tetap optimis adalah figur almarhum ayahnya yang ia percaya adalah orang baik. Dan orang baik di kota yang sakit sakit seperti Gotham adalah sesuatu yang sangat langka.

Terbiasa dengan aksi fisik selama menjadi Batman, skill detektif Bruce Wayne diuji dengan hadirnya sosok Riddler. Musuh kali ini berbeda, karena Ridler mengincar orang-orang penting di Gotham yang ternyata sangat korup. Ridler memiliki data semua orang korup dan mencoba membunuh mereka semua, mulai dari wali kota, pihak kepolisian, bahkan sampai pihak pengadilan negeri. Setiap pembunuhan yang ia lakukan, ia selalu meninggalkan teka-teki yang harus dipecahkan oleh Komisaris Gordon dan Batman.

Setiap teka-teki tersebut akan membawa kita menguak seberapa bobrok rezim politik yang tengah berkuasa di Gotham, dunia mafia yang mengatur jalannya pemerintahan di balik layar, dan yang paling menarik adalah misteri tentang Thomas Wayne, ayah Bruce Wayne yang dipercaya sebagai orang baik, namun ternyata memiliki skandal kelam di masa lalu.

Bagaikan kombinasi Sherlock Holmes dan John Wick

Bruce Wayne yang saya saksikan pada film ini bak perpaduan antara Sherlock Holmes dengan John Wick. Misteri demi misteri yang disajikan, rasa frustrasi Bruce ketika mengetahui skandal kelam ayahnya, semua itu sedikit mengingatkan saya kepada Sherlock Holmes versi Benedict Cumberbatch yang kesusahan menghadapi James Moriarty. Di sisi lain, aksi pertarungan satu versus banyak di lingkup mafia jelas menghadirkan vibes John Wick yang cukup kental. Dan dua perpaduan itu, Sherlock dan John Wick, melebur sempurna sehingga hadirlah sosok Bruce Wayne—dan Batman—yang sangat menyenangkan untuk disaksikan.

Sosok di balik The Riddler juga menghadirkan misteri tersendiri. Tidak bisa tidak, saya mencoba menebak siapa sebenarnya orang di balik kacaunya Gotham tersebut. Menariknya, meski The Riddler adalah musuh utama, namun Bruce tidak pernah beradu fisik sama sekali dengan sosok tersebut. Bruce justru beradu jotos dengan pihak lain seperti komplotan mafia, penjahat jalanan, atau anggota kepolisian.

Satu yang pasti, The Riddler adalah orang yang membenci para pejabat korup. Artinya, bisa saja sebenarnya dia adalah orang baik yang muak. Dengan begitu, saya auto mengeliminasi tokoh-tokoh yang sudah muncul, menyisakan beberapa orang baik. Bruce, Alfred, dan Komisaris Gordon.

Oleh karena saya pernah menonton film animasi Batman: Gotham by Gaslight, di mana—SPOILER—Jack The Ripper, sang musuh utama di film tersebut, ternyata adalah Komisaris Gordon, maka saya menaruh curiga bahwa The Riddler adalah Komisaris Gordon. Saya terbuka untuk segala kemungkinan. Bisa saja Matt Reeves mengobrak-abrik origin story The Riddler sebagai twist yang tidak terduga. Namun ternyata… ah, saya sudah berjanji tidak akan memberi spoiler di artikel ini.

The Riddler (Instagram @thebatman)

Menghadapi teka-teki yang terus berdatangan, akhirnya Batman mendapat bantuan dari Selina Kyle, pencuri lihai dengan persona kucing. Dengan bantuan Catwoman, misteri tentang bobroknya rezim yang tengah berkuasa bisa dikuak sedikit demi sedikit, dan sampailah pada misteri besar tentang siapa sosok di balik sebuah skandal di masa lalu.

Menariknya, Bruce bukanlah detektif yang sangat mahir. Ia melakukan kesalahan. Bahkan di salah satu kesalahannya berakibat sangat fatal untuk kota Gotham. Namun, kesalahan demi kesalahan tersebut justru menjadikan twist-twist kecil pada keseluruhan film. Meski, harus saya katakan ada sedikit kekecewaan karena tidak ada twist dahsyat sebagai penutup film ini. Maka dari itu, jangan terlalu berekspektasi tentang twsit atau pengungkapan mengejutkan dari film ini.

Memiliki banyak (empat?) babak

Sebuah film pada umumnya memiliki tiga babak. Namun dalam kasus The Batman, film ini rasanya memiliki empat babak. Babak pertama berakhir ketika kontak pertama Batman dengan The Riddler, babak kedua berakhir dengan konflik Penguin, babak ketiga berakhir dengan terungkapnya sosok di balik skandal rezim yang berkuasa, dan masih ada babak terakhir tentang bencana di Gotham.

Sayangnya, ini entah karena saya sudah terbuai dengan megahnya babak pertama, kedua, dan pertengahan babak ketiga, ada kesan antiklimaks yang saya rasakan di akhir babak ketiga. Saya sedikit berharap akan ada plot twist megah di babak keempat karena Bruce ternyata melakukan kesalahan fatal, namun justru hanya berakhir dengan aksi puncak minim arti. Benar, ada bencana besar yang melanda, namun bahkan jika hal tersebut tidak terjadi, atau tidak ada pengungkapan bahwa Bruce melakukan kesalahan, film ini tetap bisa berakhir dengan baik.

Pada puncak babak keempat, saya merasa ada usaha mengulangi apa yang terjadi pada akhir film Joker yang melibatkan banyak aksi masa. Nuansa seperti itu tampak coba dihadirkan di babak terakhir The Batman, namun tampak gagal. Tidak ada empati sama sekali dengan apa yang terjadi di akhir film tersebut.

Banyaknya babak tersebut, ditambah tidak adanya pengungkapan besar maupun plot twist dahsyat, membuat ending film The Batman tampak lembek dan sedikit anti klimaks. Seandainya saja film ini diakhiri dengan pengungkapan sosok besar yang mencengangkan di akhir babak ketiga, rasanya film ini bisa saja head to head dengan The Dark Knight untuk memperebutkan film live action Batman terbaik sepanjang masa. Maka dari itu, dengan beberapa hal yang membuat endingnya anti klimaks, film The Batman masih berada satu tingkat di bawah The Dark Knight garapan Christopher Nolan itu.

Film superhero kok begini?

The Batman, terlepas ia bukanlah live action Batman terbaik yang pernah ada, tetap menjadi film yang sangat seru untuk disaksikan. Konflik yang kompleks, misteri yang menanti untuk dikuak, aksi pertarungan tangan Batman, dan tentu saja scoring dari Michael Giacchino yang sangat megah, semua itu terjalin menjadi satu kesatuan sehingga film ini tampil dengan paripurna.

Selina Kyle (Instagram @thebatman)

Bagi penggemar genre superhero jalanan seperti serial Daredevil di Netflix atau bahkan trilogy The Dark Knight, sudah pasti akan sangat menyukai film ini. Namun, bagi penggemar genre superhero megah seperti menyelamatkan dunia dari ancaman alien atau semacamnya, bisa saja The Batman akan kurang menarik untuk diikuti. Mungkin—sekali lagi hanya mungkin—akan ada penonton yang sangat kecewa dengan eksekusi film The Batman karena sangat jauh dari tren film superhero saat ini, lantas mbatin dengan nyinyiran, “Dih, film superhero masa begini?”

*

The Batman tampak terlalu realistis untuk sebuah film superhero. Bahkan teknologi yang digunakan Bruce Wayne juga masih dalam tahap wajar, bukan jenis yang sangat canggih melebihi masanya. Dengan semua itu, rasanya akan sangat aneh membayangkan The Batman mengambil dunia yang sama dengan semesta film-film DC sebelumnya. Semesta yang paling masuk akal untuk disandingkan dengan film The Batman adalah, tidak lain tidak bukan, semesta film Joker. Bahkan, rasanya masih masuk akal untuk menghubungkan apa yang terjadi di film Joker dengan film The Batman. Lantas, mungkinkah ada kemungkinan dua film tersebut berkaitan? Well, sebenarnya ada sosok misterius di akhir film yang bisa menimbulkan banyak teori liar.

Sumber gambar: Instagram @thebatman

Penulis: Riyanto

Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

 

Exit mobile version