Ternyata, Sedekah Berpotensi Menunjukkan Keegoisan Kita

Ternyata, Sedekah Berpotensi Menunjukkan Keegoisan Kita

Sedekah merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan saking baiknya amalan ini, Allah menjajikan secara eksplisit mengenai balasan orang yang melakukan sedekah dalam QS Al-Baqarah ayat 261. Hal ini cukup masuk akal mengingat dalam sedekah terdapat setidaknya tiga dari lima nilai maqashid syariah.

Pertama, hifd al-mal atau menjaga harta benda. Dalam sedekah, penjagaan harta benda dilakukan untuk mencegah dari pengeluaran yang tidak semestinya, atau istilah kita kontrol terhadap pengeluaran.

Kedua, hifd ad-din, atau menjaga agama. Pasalnya dengan mendermakan sebagian harta yang dititipkan kepada kita, akan membantu stabilitas ekonomi orang-orang yang seiman dengan kita. Kita juga bisa membantu meringankan pengadaan kegiatan keagamaan, dan lain-lain.

Ketiga, hifd an-nafs atau menjaga jiwa. Jadi, apabila kondisi orang yang kita sedekahi sedang dalam krisis dan terancam (baik secara mental maupun fisik). Akibat lemahnya kondisi ekonomi tersebut, maka sedekah bisa jadi salah satu hal yang membantu.

Akan tetapi, dengan segudang manfaat sedekah ini, kita masih saja terus diingatkan untuk berhati-hati dalam bersedekah. Saya ingat betul dulu guru ngaji saya selalu bilang, “Kalau sedekah itu jangan diumbar-umbar. Usahakan kalau tangan kanan yang sedekah tangan kiri tidak tahu. Pasalnya, kalau diumbar-umbar maka pahala sedekahnya akan hilang seperti pasir di atas batu yang terkena hujan lebat.”

Namun, saat itu saya agak bingung. Sebab kadang-kadang beliau juga menganjurkan untuk memberitakan kabar gembira kepada orang lain, salah satunya dengan cara selametan. Lha itu kan sedekah yang terang-terangan sekali? Dan tidak mungkin tangan kanan tidak tahu, kan?

Belakangan akhirnya saya mengerti apa yang dimaksud oleh guru ngaji saya. Mengambil contoh dari surah An-Nash yang bercerita tentang keberhasilan fathul makkah yang dilakukan oleh Rasulullah. Hal yang berdampak pada orang Makkah masuk Islam secara berbondong-bondong.

Lalu, perintah Allah di ayat selanjutnya dalam surah itu adalah untuk bertasbih dalam rangka bersyukur. Akan tetapi, sering kali para penceramah lupa menyampaikan paket, “fasabbih bihami rabbika wastaghfir” itu. 

Padahal di sana, satu paket dengan perintah bersyukur adalah perintah untuk beristighar. Kenapa begitu? Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa sering kali dalam keadaan syukur kita tergoda untuk jumawa, untuk merasa lebih hebat. Oleh karena itu, kita dianjurkan beristighfar, memohon ampun satu paket dengan bersyukur.

Racun-racun kesombongan dalam sedekah tersebut sedang menjadi perhatian saya belakangan ini. Setiap kali punya niat untuk berbagi, saya sempatkan terlebih dahulu untuk bertanya kenapa harus dia yang dikasih? Apa karena saya menganggap dia tidak lebih beruntung dibanding saya?

Pasalnya, menurut saya, dengan membiasakan bersedekah kepada orang yang tampak kurang baik kondisinya dibanding saya, maka saya telah melakukan dua kesalahan sekaligus. Kesalahan pertama, menilai seseorang dari apa yang tampak oleh mata saya yang sangat mungkin keliru. Kesalahan kedua, meragukan kekuasaan Allah terhadap jalan hidup seseorang yang kita anggap perlu bantuan kita untuk melanjutkan hidup.

Cukup rumit memang. Akan tetapi, menurut saya hal seperti ini perlu dibiasakan pada diri kita yang sejak kecil terlanjur diajarkan untuk menilai orang dari tampilan luar.

Saya pernah mendengar seorang ibu berucap seperti ini kepada anaknya, “Kamu kalau nggak pinter, nanti jadi kaya orang-orang di jalanan itu, lo.” Pernyataan si ibu ini seperti sedang menanamkan nilai untuk merasa lebih tinggi dibanding orang. Dan hal ini mungkin akan terbawa oleh si anak sampai dewasa hingga ia tumbuh jadi orang yang seperti kita: hanya mau sedekah kepada orang yang tampak lebih rendah dibanding kita.

Sedekah yang semacam itu justru akan menjauhkan kita dari tujuan sedekah itu sendiri. Sedekah yang mestinya menjadi karantina bagi kita untuk menghayati kuasa Allah dan meniadakan keegoisan diri kita, justru berbalik menjadi alat untuk melanggengkan kesombongan dan keegoisan kita di balik tameng “berbagi kebahagiaan”.

Dalam teori etika, manusia harus ditempatkan sebagai tujuan, bukan alat. Sehingga tidak dapat dibenarkan sikap kita memperalat manusia lainnya dengan memberinya sedekah supaya kita puas, lega, atau supaya kita mendapatkan keuntungan-keuntungan lainnya. Sedekah atau aktivitas berbagi seharusnya merupakan dorongan kemanusiaan yang mengajak kita untuk bersama-sama tumbuh menjadi manusia dengan siapa pun. Bukannya ia justru memposisikan orang lain sebagai pemuas keinginan kita (keinginan untuk merasa diri lebih baik, puas, dan lain-lain).

BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version