Selain bahasa lisan dan tulis, kita mengenal satu jenis bahasa lain, yaitu bahasa isyarat. Saya akan menceritakan pengalaman saya belajar bahasa isyarat, sebuah bahasa yang mengubah cara saya dalam berkomunikasi. Sebuah bahasa dengan gerakan indah yang pernah saya pelajari.
Waktu itu Jumat pertama di September 2017, hari pertama saya mengenal bahasa isyarat Indonesia (Bisindo). Berlokasi di Taman Cerdas, Jebres, Solo, saya mengikuti kelas dasar Bahasa Isyarat Indonesia yang diadakan oleh Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan Tuli Nasional) Cabang Solo. Pengajarnya tentu orang Tuli, dan murid-muridnya adalah orang dengar, saya termasuk salah satunya. Bahasa Isyarat Indonesia sendiri adalah bahasa yang dipakai oleh teman Tuli untuk berkomunikasi. Orang dengar juga diperbolehkan kok mempelajari bahasa isyarat, hal ini sangat berguna untuk berkomunikasi dengan teman Tuli.
Sebentar, kenapa saya menyebut mereka dengan Tuli bukan tuna rungu? Bukan bermaksud tidak sopan, tapi hal inilah yang diajarkan kepada saya selama belajar bahasa isyarat. Tuli menyebut orang yang bisa mendengar dengan sebutan orang dengar, bukan orang normal. Bagi mereka, Tuli juga normal karena sama-sama bisa berpikir layaknya orang dengar, bedanya mereka hanya tidak bisa mendengar. Sedangkan mereka menyebut diri mereka dengan Tuli (huruf T besar) bukan tuna rungu, hal itu lebih merujuk kepada identitas dan budaya mereka, yaitu bahasa isyarat yang penuh dengan visual.
Kembali ke topik pembahasan. Saat kuliah saya dijodohkan untuk belajar bahasa Isyarat. Rasanya luar biasa belajar bahasa isyarat. Dari sekian bahasa yang saya pernah pelajari, baru kali ini saya belajar satu bahasa yang tak memerlukan banyak teori. Dulu sebelum mengenal bahasa isyarat, rasanya susah sekali menangkap maksud Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang ada di pojok kanan bawah televisi. Sekarang rasanya sudah bisa menangkap maksudnya sedikit demi sedikit.
Ada beberapa alasan yang menurut saya belajar bahasa isyarat itu tak susah-susah amat. Saya jelaskan alasannya.
Menekankan bahasa visual
Bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) menekankan bahasa yang sangat visual. Dimulai dari abjadnya, abjad Bisindo dari A – Z membentuk isyarat tangan yang mirip dengan huruf kapital. Hal ini mempermudah saya dalam menghafal abjadnya, bahkan dalam sekali pertemuan, saya bisa menguasai abjad BISINDO dan mengeja nama saya dengan abjad Bisindo.
Tak hanya abjadnya, kata-kata dalam bahasa isyarat juga sangat visual. Contoh sederhana isyarat makan, gerakannya seolah-olah menyuapi diri sendiri, mengarahkan tangan ke mulut. Begitu juga isyarat untuk mandi, seperti sedang mengayuhkan gayung ke badan. Isyarat untuk buah pisang juga mudah, gerakannya seperti mengupas buah pisang. Bahasa yang menggunakan visual sebagai media pengantarnya ini dekat dengan kehidupan sehari-hari ini ssehingga mudah diingat oleh orang yang belajar bahasa isyarat.
Struktur bahasa yang sederhana
Kalau dalam bahasa Indonesia kita diajarkan subjek, predikat, objek dan keterangan serta tetek bengek lainnya. Hal ini tak terlalu dipakai dalam Bisindo, sekali lagi yang terpenting adalah ekspresi dan visual. Misal kita ingin berkata dalam bahasa Indonesia, “Perkenalkan. Nama saya Niva. Saya senang dapat bertemu kamu.” Dalam bahasa isyarat cukup sederhana, kita bisa mengisyaratkan seperti ini, “Perkenalkan-saya-Niva. Senang-bertemu-kamu.”. Lebih sederhana deh pokoknya.
Partner bicara yang fokus
Saat berkomunikasi menggunakan Bisindo, saya memperhatikan bahwa teman Tuli tidak pernah menduakan saya dengan bermain handphone ataupun lainnya. Mereka fokus pada isyarat dan ekspresi saya. Ya kalau disambi yang lain tentu mereka akan kelewatan isyarat saya dan komunikasi menjadi tidak nyambung. Tentu kita harus fokus pada isyarat partner bicara. Kalau pun mereka harus melihat hal lain, mereka akan meminta kita untuk menunggu sebentar, kemudian fokus kembali berkomunikasi dengan kita.
Hal tersebut membantu saya cepat belajar Bisindo. Selain itu, hal ini membuat saya merasa dihargai oleh partner bicara. Kebiasaan tersebut juga saya aplikasikan saat saya berkomunikasi dengan sesama orang dengar, tak hanya teman Tuli. Belajar fokus saat belajar Bisindo membantu saya membiasakan diri tidak bermain handphone saat berbicara dengan orang.
Ekspresif
Berbicara dengan teman Tuli itu sangat menyenangkan, mereka sangat ekspresif. Contoh saja saat mereka sedang menceritakan hal menyenangkan, rasanya saya saya bisa merasakan kesenangan hanya dari wajah mereka. Hal ini tentu membantu saya belajar Bisindo dengan cepat. Dan saya perhatikan, teman-teman Tuli banyak yang jago pantomim juga lho.
Itu tadi beberapa alasan mengapa belajar Bisindo bagi saya tak susah-susah amat. Kesulitannya kadang kalau partner bicara kita berbahasa isyarat terlalu cepat. Tapi kita bisa meminta mereka untuk berisyarat lebih pelan kok. Lebih banyak mudah daripada susahnya. Kunci belajar semua bahasa menurut saya adalah terbiasa. Ya, bisa berbahasa karena terbiasa. Jadi, kalau mau lebih cepat lagi menguasai bahasa isyarat adalah biasakan berkumpul dengan teman Tuli dan mempraktekkan Bisindo.
Ingat ya, belajar Bisindo hanya dari penuturnya, jangan dari orang dengar atau malah dari YouTube. Kalau dari YouTube, sewaktu praktek komunikasi langsung dengan Tuli kamu akan bingung. Nggak percaya? Coba saja. Contoh paling dekat saya sendiri deh. Sudah lancar pas belajar di YouTube, eh sewaktu interaksi langsung kok bingung. Ini juga terjadi dengan beberapa orang dengar yang saya kenal kok. Jadi kemungkinan besar juga akan terjadi kepada kamu, iya kamu.
BACA JUGA Trik Sukses Berjualan di WhatsApp agar Story-mu Nggak Di-skip Orang atau tulisan Nimatul Faizah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.