Saya Hidup Cukup Lama hingga Bisa Melihat Wonosobo yang Daerah Pegunungan Itu Kebanjiran

Saya Hidup Cukup Lama hingga Bisa Melihat Wonosobo yang Daerah Pegunungan Itu Kebanjiran Mojok.co

Saya Hidup Cukup Lama hingga Bisa Melihat Wonosobo yang Daerah Pegunungan Itu Kebanjiran (unsplash.com)

Akhir-akhir ini Wonosobo membuat saya terheran-heran. Daerah pegunungan itu ternyata bisa banjir. Hal yang tidak pernah dijelaskan di buku-buku sekolah dahulu. Di mana-mana, daerah yang rawan banjir itu ya dataran rendah dan dekat sungai, bukan dataran tinggi seperti Wonosobo. 

Memang, daerah pegunungan memungkinkan terjadi banjir, terlebih ketika curah hujan begitu tinggi dan sungai-sungai tidak mampu menampungnya. Namun, banjir yang ditimbulkan biasanya tidak besar, tidak sampai memporak-porandakan daerah sekitar.

Keheranan itu tidak saya rasakan sendiri. Warga lain juga mungkin terheran-heran karena Wonosobo yang dahulu tidak seperti ini. Namun, setelah mengetahui banyak hal, saya kira banjir ini bukan hal yang mengagetkan. Banjir hanyalah puncak dari gunung es, dasar atau sebab persoalannya adalah normalisasi akan hal-hal yang sebenarnya keliru.  

Dihantui alasan wisata

Saya melihat banyak terjadi alih lahan perkebunan atau hutan menjadi wisata alam baru di Wonosobo. Memang ada kata “alam” dalam “wisata alam”, tapi praktiknya sungguh nggak ramah pada lingkungan. Alih-alih berdaya, pembukaan wisata justru menyakiti alam. Semua itu karena sebagian kawasan hijau menjadi hilang.

Secara ekologis, kawasan hijau punya guna sebagai daerah resapan air. Apabila resapan air berkurang maka air dari kawasan atas lari secara cepat menuju wilayah bawah seperti sungai. Kita tahu bahwa sungai punya keterbatasan dalam menampung air. Ketika sungai sudah kewalahan, maka airnya membludak ke pemukiman warga. Begitulah mekanisme singkat kenapa Wonosobo bisa banjir.

Pengalaman pribadi nih, tahun lalu saat musim penghujan, saya mendapati jalan raya di Wonosobo digenangi air deras. Kapasitasnya memang masih bisa ditoleransi. Tapi, tahun ini luapan air sungai di Kecamatan Mojotengah, Wonosobo bisa sampai menyeret pengendara motor. Bahkan, bikin infrastruktur jadi rusak.

Kalau dari tahun ke tahun bertambah buruk, kita layak mempertanyakan kapasitas banjir di tahun depan. Hal ini selaras dengan alih lahan yang terus-menerus menguliti alam Wonosobo.

Menjamurnya penginapan di Wonosobo

Penginapan semakin menjamur di Wonosobo. Sekilas memang kawasan terlihat modern dan tidak sepi. Tapi, itu bukan hal yang patut dinormalisasi karena semakin luas pembangunannya, daerah resapan air juga makin berkurang jumlahnya.

Fakta di lapangan demikian. Di Wonosobo, banyak yang tadinya kebun warga, tegalan, atau hutan masyarakat tiba-tiba berubah jadi penginapan berbagai model.

Contohnya, di sepanjang Jalan Teh Bedakah hingga arah Dieng. Di sana ada pengembangan wisata Gunung Cilik. Seiring populernya wisata tersebut beton-beton mulai mengisi area wisata. Kemudian disusul, cafe, vila, glamping, dan penginapan lainnya.

Area Telaga Menjer juga begitu. Saat kalian berkunjung ke sana coba tengok ke perbukitan sekitar yang di situ tampak penginapan. Baik yang sudah jadi maupun yang sedang dibangun. Di sekitar Curug Sikarim juga demikian. Sikarim yang indah makin hits. Area sekitar disulap para investor menjadi cafe-cafe yang menutup lahan perbukitan.

Kalau Wonosobo Banjir, ya kita perlu melek. Ada alih lahan menjadi penginapan atau cafe yang selama ini dianggap normal-normal saja. Padahal itu semua adalah pemicu banjir.

Tata kelola ruang yang buruk

Penyebab lain, alih lahan di Wonosobo tidak disertai tata kelola ruang yang cakap oleh pemerintah. Cara kerja mereka agaknya perlu dipertanyakan. Hal ini karena Wonosobo dikelilingi banyak pegunungan yang bisa menjadi penahan air. Air bisa ditahan di kawasan atas. Kalau air tidak tertahan dan menjadi banjir, itu berarti kegiatan alih lahan diizinkan secara jor-joran oleh mereka.

Lazimnya, ada izin pembangunan yang tidak mudah dan serampangan. Pembangunan industri-ekologis disertai tetek bengek aturan untuk mempertahankan alam pada hakikatnya. Tetek bengek itu menjadikan investor berpikir dua kali. Tapi, nyatanya, alih lahan terjadi begitu masif. Bisa jadi aturan-aturan itu sudah dinegosiasi lewat cara yang menguntungkan individu.

Urusan izin juga ada kaitannya dengan arus kapital. Tuan modal yang punya ekonomi memadai akan memuaskan masyarakat kecil terlebih dahulu. Lewat cara penggelontoran uang dalam jual-beli tanah. Masyarakat dibuat buta oleh uang. Tapi tak lama lagi mereka hanyalah tamu di tanahnya sendiri.

Alih lahan yang terjadi sulit diperbaiki. Alternatif pengembangan wisata alam lewat cara alih lahan tak patut dinormalisasi. Alternatif lain, misalnya saja lewat budaya bertutur sambil menelusuri lahan lokal milik masyarakat. Cara itu setidaknya tidak akan merugikan alam dan warga sekitar.

Sekarang, saatnya memberi protes keras terhadap kegiatan alih fungsi lahan di Kabupaten Wonosobo yang semakin keterlaluan. Protes sangat dibutuhkan agar warga Wonosobo tidak menanggung dampak lebih berat di masa mendatang.

Penulis: Anita Sari
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Wonosobo Ternyata Lebih Ramah bagi Wisatawan ketimbang Jogja.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version