Kabar tentang kebakaran yang menimpa Kyoto Animation atau yang sering juga disebut dengan KyoAni—sebuah studio animasi di Jepang—membuat publik tersentak. Bagaimana tidak, peristiwa mengenaskan ini menyebabkan setidaknya tiga puluh tiga orang tewas dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa ini bahkan disebut-sebut sebagai peristiwa pembunuhan massal terparah di Jepang sejak beberapa tahun terakhir.
Seperti yang dilansir berbagai media, peristiwa kebakaran yang terjadi pada hari Kamis pagi (18 Juli 2019) adalah sesuatu yang disengaja. Berdasarkan keterangan saksi, pelaku sengaja menyiram gedung KyoAni dengan bahan bakar kemudian membakar gedung tersebut. Disebutkan juga bahwa pelaku—yang adalah seorang laki-laki berumur empat puluh satu tahun bernama Shinji Aoba—juga menjadi salah satu korban luka-luka dalam peristiwa tersebut.
Shinji Aoba ditengarai sengaja melakukan hal tersebut lantaran dia merasa pihak KyoAni sudah menjiplak novel karyanya. Atau dalam kata lain, apa yang dilakukan oleh Shinji Aoba adalah bentuk pembalasan karena novelnya sudah diplagiat oleh KyoAni. Tentang apa judul novel yang dituduhkan sebagai novel plagiat, sampai saat ini belum ada kabar yang menyebutkan.
Meski demikian, terlepas dari benar tidaknya tuduhan tersebut, berbicara tentang plagiat memang adalah satu hal yang “menggemaskan”.
Sejauh ini, fenomena plagiat memang masih menjadi sesuatu yang sering ditemui. Plagiat itu sendiri menurut KBBI adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan.
Nah, jika merujuk dari arti kata plagiat maka tidak berlebihan rasanya jika perbuatan plagiat dikategorikan sebagai tindakan pencurian. Loh, memangnya apanya yang dicuri? Yang dicuri adalah hasil karya yang lahir dari buah pemikiran dan kerja keras seseorang. Namanya hasil karya kan tidak lahir begitu saja. Untuk menghasilkannya, seseorang harus punya ide. Nah, ide inilah yang kemudian dikembangkan dengan kerja keras yang bukan tidak mungkin memakan waktu yang cukup lama.
Setiap orang yang karyanya diplagiat tentu akan merasa marah, kecewa, dan sakit hati. Hanya saja cara melampiaskan perasaannya tersebut yang berbeda-beda. Ada mungkin yang memilih diam saja, ada yang sekadar membuatnya menjadi berita viral, dan jika benar bahwa KyoAni memplagiat novel karya Shinji Aoba, berarti ada juga yang sampai melampiaskannya dengan cara yang begitu emosional. Meski saya tidak bisa menoleransi kasus plagiat, tapi miris juga rasanya melihat apa yang terjadi pada KyoAni.
Di luar dari hal tersebut, seperti yang saya tuliskan di atas, fenomena plagiat adalah satu hal yang masih sering ditemui sampai saat ini. Berita tentang orang-orang yang menjadi viral karena “prestasinya” menjadi plagiator masih terus berdatangan. Sanksi sosial berupa perundungan setelah diviralkan juga rasanya tidak membuat sebagian orang untuk berpikir seribu kali sebelum menjadi plagiator. Mereka mungkin lebih memilih berhati-hati dalam memplagiat daripada memikirkan bagaimana risikonya menjadi plagiator.
Sebagai orang yang baru belajar dalam dunia menulis, saya akui, menulis itu memang bukan perkara mudah. Semua orang bisa menulis, tapi apakah tulisan tersebut bisa diterima atau diberi tempat dalam ruang publik, itu perkara yang lain lagi.
Menulis itu butuh kerja keras dan kesabaran. Kerja keras untuk menuangkan ide menjadi tulisan, dan kesabaran untuk terus menulis jika ternyata tulisan yang sudah dikerjakan dengan susah payah mengalami penolakan. Tidak mudah memang menghadapi rasa kecewa, tapi dari sinilah proses belajar itu sangat terasa. Toh penulis sebesar J.K Rowling pun sempat merasakan penolakan sebelum akhirnya dia seterkenal sekarang, bukan?
Dari setiap kasus plagiat, saya sendiri juga menyadari, meskipun tulisan saya belum bagus-bagus amat, setidaknya dia lahir dari pemikiran dan tangan saya sendiri. Ketika mencoba memublikasikannya, tidak ada perasaan takut atau khawatir yang mengikuti.
Menjadi penulis hasil karya sendiri memang jauh lebih butuh waktu dibanding menjadi plagiator. Bahkan tulisan yang berdasarkan pengalaman pribadi sekalipun tetap butuh waktu untuk mengolahnya. Beda dengan plagiat, tinggal copy-paste, selesai deh.
Akan tetapi, yang juga perlu diingat adalah hasil yang diterima berkat kerja keras sendiri tentu berbeda dengan sesuatu yang didapat dari hasil plagiat.
Seburuk apapun kritikan yang diterima dari hasil tulisan sendiri, akan jauh lebih baik daripada pujian yang datang dari hasil plagiat tulisan orang lain. Untuk tulisan sendiri, kritikan yang datang bisa dijadikan motivasi untuk terus belajar menulis. Sedangkan untuk tulisan hasil plagiat, pujian yang datang akan menjadi candu yang hanya menunggu waktu untuk membuat nama si plagiator akan sulit—bahkan mungkin tidak bisa lagi—diterima dalam dunia kepenulisan.
Setiap tulisan itu ada pembacanya masing-masing, setiap orang punya waktunya masing-masing. Ada yang baru menghasilkan satu buku bisa langsung terkenal, ada juga yang baru terkenal setelah menghasilkan beberapa buku. Jangan terkecoh dengan hanya melihat hasil. Lebih baik jadikan kesuksesan orang lain sebagai motivasi untuk terus berproses.
Punya keinginan untuk menjadi penulis terkenal itu adalah cita-cita banyak orang. Ingin sekadar mendapat pujian dari tulisan juga bukan sesuatu yang salah. Yang salah adalah jika semua keinginan itu ingin dicapai dengan cara yang instan—tidak ingin melalui proses sebagaimana seharusnya. Toh di luar sana banyak penulis terkenal yang sering mengatakan: cara terbaik untuk belajar menulis, ya dengan menulis. Sebanyak apa pun teori kepenulisan yang dipunya, jika tidak diaplikasikan, tentu tidak akan ada gunanya. Kita tidak akan pernah bisa tahu bagaimana sebuah tulisan yang baik itu bisa lahir kalau tidak dengan menulis.
Jadi, kalau ingin dikenal sebagai penulis, maka menulis adalah jalannya. Kalau jalannya dengan memplagiat, ya jangan heran dong kalau nanti dikenalnya sebagai plagiator.