Tentang Mojok dan Cerita Cinta yang Saya Alami

tentang mojok

tentang mojok

Mojokdotco, nama itu melintas begitu saja di linimasa Twitter beberapa tahun lalu. Seseorang yang saya follow membagikan salah satu tautan artikel dari Mojok. Kalau tidak salah berarti benar, sekitar tahun 2016. Apakah saya mengeklik tautan itu? Tentu saja, tidak.

Jujur saja, pada saat itu saya tidak suka membaca. Di tahun itu juga, saya berusaha untuk  menjadi relawan sebuah TBM di Bekasi untuk menggaungkan gerak literasi. Padahal, saya nggak suka baca, loh. Untuk arti kata literasi itu sendiri pun saya tidak tahu. Lantas apa yang saya tahu? Ya, saya cuma tahu hore-horenya aja.

Saya sempat sok-sokan memotret buku lalu mengunggah di media sosial sambil menulis caption “salam literasi”. Logikanya gimana coba? Nggak suka baca tapi mengajak orang untuk suka baca. Apakah buku itu benar-benar saya baca sepenuhnya? Tentu saja tidak. Eh, saya baca, deh. Bagian sampul belakangnya doang, sih. Hehehee.

Lain hari dalam kegiatan di TBM itu, ada beberapa teman yang mengobrol tentang Mojok. Saya nimbrung, tapi hanya menyimak. Apa yang saya dapatkan tentang Mojok? Ada bermacam-macam penilaian. Teman yang satu bilang Mojok adalah media satire. Teman yang satunya lagi bilang Mojok itu media sarkas, dan teman yang lainnya sampai bilang kalau Mojok itu media kafir.  OMG, media kafir, Bosque~

Ada yang bilang Mojok juga media yang tidak berimbang dan lebih memihak kepada salah satu kubu politik. Penilaian terhadap Mojok ini seolah sudah sistematis, terstruktur, dan massif. Lalu dengan mudah dan klise hal itu disampaikan kepada khalayak. Lantas apakah saya langsung percaya? Tentu saja tidak.

Kemudian, saya mencoba tabayun sebelum ikut serta untuk menghakimi —yang kata teman-teman saya—  media satier, media sarkas, sampai media kafir ini. Saya searching di Mbah Google. Keluarlah banyak tulisan yang ada di Mojok. Saya pilih asal saja. Random. Lalu saya membaca-baca beberapa tulisan. Saya ingat betul tulisan pertama yang saya baca adalah tulisannya Rusdi Mathari dalam serial Cak Dlahom.

Sialnya, saya malah ketagihan. Alih-alih mendapat sesuatu untuk dighibahkan bersama teman-teman, saya malah dapat sesuatu yang menyenangkan untuk dibaca. Selanjutnya saya semakin tekun membaca serial Cak Dlahom. Meskipun tidak secara runut dan lengkap. Di lain waktu, teman saya —seorang perempuan— memberi pinjaman sebuah buku yang berjudul Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh.

“Kamu coba baca buku ini, deh!” Katanya, sambil menyodorkan buku Drama Itu Berkisah Terlalu Jauh.

“Puthut EA?”

“Dia itu kepala sukunya Mojok. Coba aja baca, deh.”

Oke. Saya mengiyakan. Lalu mencicipi barang satu sampai tiga halaman. Lagi-lagi, saya ketagihan. Saya begitu menikmati serangkaian kisah pada setiap cerpen-cerpen yang tersaji dalam buku ini. Dari buku ini saya mulai stalking Puthut EA di Facebook. Lanjut baca-baca tulisannya di Mojok.

Setelah bukunya Puthut EA, saya dapat pinjam lagi sebuah buku yang berjudul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Setelah membaca buku karya Rusdi Mathari, nyaris saja saya jatuh hati dengan media —yang katanya— satier, media sarkas, sampai media kafir ini.

Wah, kalau begini, semakin lengkap saja saya membaca serial Cak Dlahom. Padahal, awalnya secara tak sengaja saya temukan dari hasil pencarian dengan niat untuk ghibah bersama. Perlahan niatan itu luntur berkat serangkaian kisah sufi dari Madura itu. Saya malah semakin tersesat dan mencari jalan keluar dalam sebuah pertanyaan: Mojok ini media apa, sih?

Rasanya teman-teman di dalam sebuah TBM itu tidak cocok untuk tempat berbagi cerita mengenai Mojok. Sebab saya punya penilaian yang berbeda dari mereka. Kemudian, saya mengajak teman yang meminjamkan bukunya pada saya untuk berbincang tentang Mojok.

Banyak hal kami bahas. Mulai dari tulisan di Mojok hingga tulisan –di luar Mojok— yang ditulis oleh penulis di Mojok. Mulai dari Kepala Suku, Armand Dhani, Edward S Kennedy, Arlian Buana, Iqbal Aji Daryono, Prima Sulistya, Agus Mulyadi, Kalis Mardiasih, Aditia Purnomo, dan lainnya.

Perbincangan tentang Mojok ini rutin menjadi menu obrolan kami setiap hari lewat WA. Seiring waktu kami berdua menemukan satu rubrik favorit, yakni rubrik Curhat. Pasalnya apa yang ada tersaji di rubrik itu tak pernah gagal untuk menghibur hati kami yang sedang kesepian. Maklumlah kami berdua ini jomblo, Mz, Mb~

Semakin ke sini, saya semakin akrab dengan berbagai tulisannya Mojok. Semakin akrab pula saya dengan teman perempuan itu. Dan tanpa disadarl ada perasaan yang tidak saya mengerti. Perasaan yang sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Jujur, saya jatuh hati dengan teman perempuan itu Mojok. Lalu, apakah saya berani mengungkap perasaan suka saya itu? Oh, tentu saja, tidak.

Entah sejak kapan, saya juga nggak tahu, saya biarkan perasaan suka itu masuk ke hati yang terdalam. Semua berjalan begitu adanya.  Hari demi hari terlewati, perbincangan demi perbincangan tentang diri kami masing-masing Mojok terus terjadi.

Semakin sering saya mengunjungi Mojok –pagi, siang, bahkan malam sebelum tidur– semakin sering pula saya chat teman perempuan saya itu saya membaca Mojok. Kemudian menyalin tempel tautan tulisan pada kolom chat, dan mengirimnya ke teman perempuan itu. Tak lupa juga bilang, “Selamat tidur. Selamat istirahat.”

Lama-kelamaan, saya tidak sanggup lagi menyembunyikan perasaan ini. Saya ungkapkan ke dia bahwa sesungguhnya saya suka banget sama dia Mojok. Paling  top, deh, tulisannya Gus Mul. Sudah jenaka, lucu, dan juga menghibur. Kalau tulisannya Mas Puthut EA, selalu ada hikmah dalam setiap fenomena yang terjadi. Hampir selalu memberi pencerahan yang ringan dan mudah untuk dipahami.

Sejak itu. Saya jadi tahu kalau ternyata dia juga suka dengan saya Mojok. Wah, cocok ini. Semakin hari semakin saya niatkan untuk fokus ke dia Mojok. Dari yang awalnya cuma searching, penasaran dengan sosmednya dia Mojok, saya malah jadi pacarnya dia pemirsa setia Mojok. Tidak hanya sampai di situ. Saya malah timbul niatan untuk menjadi pendamping hidupnya kontributor Mojok. Caranya? Ya kirim tulisan ke Mojok.

Tapi permasalahannya saya ini nggak bisa menulis. Sama sekali tidak. Untuk membedakan ‘di’ yang dipisah dan dirangkai pun saya nggak tahu. Tapi saya yakin setiap permasalahan ada jalan keluarnya. Syukur, Allhamdulillah, teman perempuan pacar saya itu adalah seorang nara blog. Ia biasa mengunggah tulisannya di Kompasiana. Singkat cerita saya bulatkan tekad untuk belajar memahi dirinya menulis darinya.

Dia mengajari saya dengan sungguh-sungguh. Saya pun demikian, belajar dengan sungguh-sungguh. Banyak hal yang bisa menjadi ide untuk menulis. Hanya saja, saya mengalami kesulitan dalam eksekusi. Singkat cerita, selama proses berbulan-bulan. Saya memberanikan diri untuk mengirim tulisan ke Mojok.

Tulisan pertama –waktu itu– yang saya kirim untuk Mojok, berhari-hari saya tunggu kabarnya. Berhari-hari juga tulisan saya tak kunjung tayang di Mojok. Sesuai ketentuan yang ada. Batas waktu sudah lewat. Tulisan yang saya kirim tidak ada kabar. Fixed, kesimpulannya adalah ditolak.

Saya semakin keras lagi belajar. Semakin sering lagi komunikasi dengan pacar saya itu belajar membaca dan menulis. Semakin serius lagi dalam hubungan ini menulis untuk Mojok. Hingga tulisan kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang saya kirim: masih ditolak.

Dan pada akhirnya dalam usaha menyelam sambil minum Nata De Koko, membuahkan hasil juga. Tulisan saya masih mengalami penolakan. Tapi lamaran saya kepada Sang Kekasih, diterima. Hal ini jauh lebih membahagiakan.

Tepat 17 09 2017, kami menikah. Mojok tetap tidak lepas dari kehidupan kami. Itu artinya, Mojok cukup andil dalam hal percintaan kami. Sekarang saya pribadi, menjadi bagian kecil dari Mojok lewat Terminal Mojok ini. Kalau ditanya apakah saya cinta kepada Mojok? Tentu saja, tidak. Kalau cinta kepada istri? Ah, nggak perlu dijelaskan lagi lah~

Ngomong-ngomong tulisan ini sudah melenceng jauh banget dari pertanyaan awal: Mojok, media apaan, sih? Saya tidak tahu pasti. Bagi saya, Mojok adalah media yang mengajarkan saya untuk membaca, memotivasi saya untuk menulis, dan menjadi bagian dalam hidup saya untuk mendapatkan cinta.

Tidak terasa, Mojok sudah menginjak usia yang ke 5 tahun. Selamat ulang tahun, Mojok. Semoga semakin jaya di darat, laut, udara, dan Alexa. Uwuwuwuu~ (*)

BACA JUGA CLBK Bekasi dan Jakarta: PDKT Terus, Kapan Jadiannya? atau tulisan Allan Maullana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version