Dari zaman ibu saya, Jogja-Solo punya kesan tersendiri. Saya lahir di Jogja, padahal rumah di Solo dan Prameks adalah bentangan kisah yang nggak mungkin keluarga saya terlupakan. Pun bagi setiap manusia Jogja dan Solo lainnya, Prameks atau Prambanan Ekspres punya kenangan tersendiri yang bisa saja menyenangkan maupun sebaliknya.
Prameks mungkin pilihan paling realistis bagi dua kota yang memegang teguh asas monarki ini. Menghubungkan dua kota penting, Prameks adalah idola bagi mereka yang membutuhkan efisiensi, ketepatan, dan kejelasan. Selain itu, ekonomis tentunya.
Di luar alasan di atas, Prameks adalah saksi bisu tumbuh kembang dan kembang-kempisnya kisah asmara di sebuah kereta. Bagi para mahasiswa yang menjalani long distance relationship yang nggak long-long amat antara Solo-Jogja, ia adalah media paling nyata penyelamat kisah cinta mereka.
Setahu saya, Prameks selalu mengalami evolusi bentuk tempat duduknya. Dari mulai yang memutar di dalam gerbong, sampai berhadap-hadapan seperti kereta kelas ekonomi. Semua evolusi tersebut, nyatanya menghadirkan lokasi-lokasi tempat duduk favorit. Misal bangku yang memutar, ibu saya menyematkan bagian dekat pintu adalah favorit untuk yang-yangan dengan ayah saya.
“Kapan lagi to kepala mamah rebah di pundak papamu itu. Pun diberi pemakluman oleh penumpang lain dan petugas pemeriksa karcis. Ini bukan malu nggak malu ya, tetapi mereka yang naik Prameks ini adalah orang-orang yang sudah capek. Entah habis kuliah, berkegiatan, atau kerja,” begitu kata blio dengan penuh kenang.
Lebih jauh lagi, katanya di zaman itu, dapat tempat duduk adalah hal yang mirip seperti mitos. “Boro-boro rebah-rebah manja, samping kanan kiri nggak ada satu karung brambang bawang atau pedagang batik yang membawa semacam keronjot ke kabin aja sudah Alhamdulillah,” begitu tutur ibu.
Kini ketika saya pergi bersama pacar, bentuk Prameks sudah bak kereta ekonomi yang nyaman. Berhadapan, bangkunya dari busa, walau masih ada juga yang kursi memutar dan kursinya dari plastik. Setelah saya teliti lagi, jebul ada lokasi-lokasi yang cocok untuk dijadikan spot terbaik untuk memadu kasih dengan pacarmu tentu dengan alasannya.
Pertama, di satu lajur tempat duduk di bagian tengah. Ketika bangku yang lain berhadapan, bangku yang ini diperuntukkan hanya satu lajur saja, alias nggak ada orang di depan kita. Ketika berhadapan dengan orang lain pasti awkward, nah ini kita menatap bangku orang lain yang membelakangi kita. Cocok untuk kalian yang hobi ngobrol sama pacar dan risih diliatin orang lain.
Di tempat duduk Prameks bagian ini, kalian bebas membicarakan apa saja. Masa depan dengan pacarmu yang restunya terbentur orang tua, konflik internal berbeda kepercayaan—kamu kiri sedangkan pacar kamu kanan agak nengah, atau yang lebih prinsip seperti, “Aku sayang kamu,” dan dipungkasi dengan, “Aku juga.”
Deru mesin Prameks yang mematahkan hening terkadang menjadikan obrolan kalian menjadi agak privat. Gandengan tangan, rebah di pundaknya yang paling tabah, lantas diakhiri dengan, “Yang, aku kepeseng.” Bebas, lha wong nggak ada yang dengerin.
Kedua, dekat dengan pintu masuk. Biasanya Prameks yang bercorak batik itu pintu tengahnya sengaja nggak dibuka. Yang dibuka itu bagian kanan dan kiri gerbong. Bagian ini menghadap langsung ke pintu. Bagian paling ramai di Prameks ketika jam-jam sibuk. Lha kok jadi rekomendasi tempat terbaik di Prameks untuk pacaran?
Begini, duduk di kursi bagian itu, lambat laun Prameks bakalan terisi penuh. Beberapa orang akan berdiri di hadapan kalian. Nah, ini saatnya unjuk gigi. Ketika ada orang tua yang nggak kebagian tempat duduk, persilakan orang tua itu duduk di bangku yang kamu gunakan.
Mungkin pertama pacar kamu bakalan ngambek-ngambek mencucu, tapi lama-lama pasti bakalan mikir, “Jebul yangku wangun juga, memberikan tempat duduk bagi orang yang lebih membutuhkan.” Pasalnya, daya saing perebutan tempat duduk di Prameks sebelum pandemi itu bak seni bertahan hidup.
Ketiga, berdiri. Sudut-sudut Prameks mungkin bisa dikatakan kenangan bagi anak-anak muda yang menjalankan long distance relationship Solo-Jogja. Bagian ini—berdiri kala gerbong penuh—mungkin tak terkecuali. Ini manis sekali. Di tahap ini kamu bisa mensyukuri berbagai hal dan meneladani apa itu kesabaran.
Ketika kamu menggunakan Prameks yang mengular dengan kecepatan tertentu dan kebetulan penuh, terus melihat tangan-tangan kekar menyunggi ke atas, memperlihatkan ketiaknya, bau sangit adalah bonus tersendiri. Lantas pacarmu merangkulmu, tatap matanya, tersenyum kepadanya, lamat-lamat coba seraya berkata, “Mambu kelekmu jebul masih mending ketimbang mambu kampas rem, Mas!”
Lantas kamu memandang pacarmu, mata kalian seakan berkata, “Dik, jejerku rambutnya mambu kelabang.” Lantas kalian tersenyum, saling menguatkan dan tabah atas bau-bauan yang tak pernah ada habisnya. Namun, Prameks akan terus melaju melewati rel demi rel, mengantarkan dirimu dan pacarmu ke tempat tujuan sebagaimana fitrahnya.
BACA JUGA Mengamati Perilaku Penumpang Kereta Api dan tulisan Gusti Aditya lainnya.