Nenek saya adalah penjual tembakau di pasar. Waktu kecil saya sering diminta memanggilkan seorang tetangga untuk mencicipi tembakau dagangannya. Lik Mustofa, begitulah ia sering dipanggil. Ia biasa mencicipi satu persatu tembakau yang baru saja datang di tempat penyimpanan.
Didepan rumah, biasanya Lik Mustofa duduk persis dibawah pintu sambil menikmati hisapan tembakaunya. Ada tiga pintu besar di bagian depan rumah nenek saya, biasanya ia menggelar tikar di belakang pintu paling kanan. Ditaruhnya semua tembakau yang baru datang, bentuknya mirip seperti bantal yang diikat dengan serat bambu.
Hanya ada dua informasi yang ingin diperoleh dari Lik Mustofa. Nenek saya ingin tahu apakah tembakau yang dicobanya enak atau tidak. Seingat saya tidak ada pembicaraan yang spesifik seperti bagaimana rasanya tembakau yang tidak enak itu. Lik Mustofa kadang bilang, “sing iki nyegrak rasane”*—untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak enak di tenggorokannya.
Hal yang paling menyenangkan saat melihat Lik Mustofa mencoba tembakau adalah saya bisa meminta papir untuk menggulung tembakau. Papir yang dibungkus dengan kertas minyak berwana merah itu sangat familiar di kalangan kretekus. Saya senang menyesap papir itu di bagian ujung kertas karena rasanya manis. Terkadang jika ada papir yang tertinggal, saya mengambilnya diam-diam tanpa ijin nenek.
Lamunan masa kecil saya terhenti saat membaca kabar duka atas meninggalnya Pak Sutopo. Seseorang yang terkenal di kalangan warganet sekaligus Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB. Kita semua telah kehilangan seseorang yang selalu memberikan informasi terkait bencana alam juga perjuangannya melawan kanker paru.
Sebelum meninggal, ia memberikan wasiat kepada warganet dalam sebuah video yang viral di dunia maya. Ia menyarakan kepada perokok untuk berhenti merokok, bukan untuk diri perokok tetapi untuk orang lain seperti anak, istri, dan lainnya. Pesan-pesan semacam ini sudah sering ia lontarkan dalam berbagai kesempatan. Seringkali ia melakukannya melalui cuitan-cuitannya di twitter.
Lantas muncullah perdebatan antara warganet yang anti rokok dengan perokok. Sebuah kondisi yang sebenarnya tidak perlu terjadi mengingat suasana duka masih menyelimuti keluarga Pak Sutopo. Perdebatan yang tidak akan pernah selesai karena keduanya memperdebatkan dua hal yang berbeda walaupun kelihatannya sama.
Kaum anti rokok menyuarakan kampanye anti rokok dengan mengambil momentum meninggalnya Pak Sutopo. Mereka melawan para perokok melalui pesan bahwa perokok pasif seperti Pak Sutopo adalah korban dari para perokok. Sementara kaum perokok melalui akun-akun komunitas pecinta rokok melakukan langkah defensif dengan menampilkan data bahwa kanker paru tidak hanya disebabkan oleh rokok. Selain itu mereka juga membuat meme-meme satir yang menyindir kaum anti rokok.
Ini bukanlah sebuah pencarian solusi atas permasalahan antara perokok dan perokok pasif. Karena yang ada hanyalah ujaran kebencian di kolom-kolom komentar unggahan tetang topik tersebut. Tidak ada titik temu karena yang satu mengambil sudut pandang personal, mereka melihat aspek psikis perokok pasif. Yang lainnya meminta hak untuk merokok sehingga menampilkan banyak data tentang penyebab kanker paru untuk mempertahankan argumen.
Dunia maya saat ini bukanlah barang yang asing buat kita. Hampir setiap dari kita bisa mengaksesnya. Pak Sutopo oleh warganet sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Bayangkan apa yang sebenarnya terjadi jika perdebatan ini terus berlangsung. Ini seperti berdebat di depan rumah keluarga duka. Dimana keluarga Pak Sutopo adalah para pengikutnya di dunia maya. Keadaan ini sungguh memalukan.
Orang-orang di sekitar Lik Mustofa sudah memahami bahwa ia sering diminta mencoba tembakau. Mungkin jika ia mengemasnya secara profesional, kegiatannya itu bisa menjadi pekerjaan sebagai pencicip tembakau. Sehari-hari ia menghisap rokok dari tembakau yang digulungnya sendiri. Orang-orang paham bahwa tembakau, kretek, dan dirinya tidak bisa dilepaskan. Seandainya ada orang yang tidak suka rokok namun harus bertemu dengannya, biasanya orang itu akan mencari cara agar tidak terpapar rokok tanpa rasa benci. Untungnya Lik Mustofa orang yang ramah, dia tahu kapan harus mematikan rokoknya. Sayangnya tidak semua orang seperti Lik Mustofa.
Sebaiknya kita memberikan dukungan dengan tidak membahas hal-hal yang berkaitan dengan rokok jika menemui orang seperti Pak Sutopo. Kita tidak pernah tahu kondisi psikis seseorang pengidap kanker paru. Apa yang disuarakannya saat itu sepertinya cukup membuat kita tersadar bahwa itulah yang dibutuhkan untuk mendukung kenyamanannya. Namun kita tidak pernah peduli tentang kesehatan mental seseorang. Tidakkah kita mendukung perjuangannya melawan kanker paru?
Menurut saya, mulai saat ini kita harus membatasi diri kita sendiri ketika mau merokok. Bertanya kepada orang-orang di sekitar, bolehkah merokok? Memang terdengar merepotkan tetapi itu adalah cara agar kita tidak menyakiti orang lain. Banyak hal yang harus kita latih agar tidak merugikan orang lain. Cara ini juga dapat digunakan untuk memahami mengapa seorang istri yang menolak berhubungan seksual dengan suaminya adalah sebuah pemerkosaan. Karena tidak ada kesepakatan antara keduanya, tidak ada kenyamanan yang tercipta, mungkin ada yang tersakiti. Begitu pula seharusnya dengan merokok.
Saya merindukan nenek yang telah lama berpulang. Ia berjualan tembakau walaupun bukan seorang perokok. Melalui tembakau, nenek mengajarkan kami banyak hal. Selain menghidupi keluarganya dengan tembakau, saya menduga ia berjualan tembakau karena kecintaanya kepada kakek. Seperti Lik Mustofa, kakek adalah perokok yang santun. Tembakau yang disediakan untuk kakek tentu berbeda rasanya dengan rokok yang dijual di pasaran. Ada kasih sayang seorang nenek di dalamnya.
keterangan:
*yang ini keras dan membuat tidak nyaman di tenggorokan