Temanggung Bersenyum rasanya tak relevan dengan kehidupan warga di sana. Ada banyak masalah yang dihadapi warga sehari-hari.
Suatu pagi yang begitu segar saya nikmati sambil melihat dua gunung menjulang di sisi kiri dan kanan. Gunung-gunung itu terlihat gagah dan indah sekali. Di sekitar keduanya ada kumpulan awan tipis yang membawa kesan teduh bagi siapa pun yang melihatnya. Kedua gunung tersebut adalah Sumbing dan Sindoro.
Saya berjalan di tengah-tengah keduanya sambil menikmati sinar matahari pagi yang sedikit demi sedikit muncul bersama jingganya yang merekah. Orang-orang di sepanjang jalan terlihat ramah menyapa. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang bersepeda sambil membawa sayur dan hasil pertanian. Udara segar begitu bebas dihirup. Paru-paru saya seolah merasakan kelegaan luar biasa. Itulah suasana sekilas pagi hari di Temanggung.
Daftar Isi
Temanggung nyaman, tapi menyimpan beberapa persoalan
Adalah Temanggung, sebuah kabupaten kecil yang berada dalam bayang-bayang Wonosobo sebagai kota wisata. Meski begitu, suasana pagi yang saya rasakan, pun ketika malam hari dengan dingin yang menyengat, tidak mengubah pandangan saya saat itu bahwa Temanggung memiliki atribut sebagai daerah yang nyaman dan ramah.
Sampai akhirnya, pandangan saya berubah ketika mengetahui bahwa Temanggung ternyata punya banyak persoalan yang dikeluhkan oleh penduduknya sendiri. Teman saya, warga Temanggung tulen, membeberkan beberapa fakta masalah yang bikin pandangan saya soal Temanggung jadi berubah. Awalnya kagum jadi miris dan kasihan.
Petani merugi karena kualitas tembakau yang dianggap turun
Teman saya membuka persoalan di Temanggung dengan realitas yang dihadapi oleh para petani di sana yang telah kehilangan kesejahteraannya selama tiga tahun terakhir. Tembakau yang jadi salah satu komoditas unggulan sektor pertanian di Temanggung, nyatanya mengalami gagal panen secara berturut-turut.
Banyak petani merugi karena kualitas tembakau yang dianggap menurun. Biaya tanam yang tinggi, cobaan cuaca yang tidak menentu, serta harga jual tembakau yang hanya di kisaran Rp30-50 ribu, membuat tembakau jadi komoditas yang justru mencekik para petani.
Sudah begitu, banyak dari mereka yang terjebak lintah darat sehingga menanggung utang hingga puluhan juta. Mereka terpaksa meminjam untuk menutupi biaya tanam tembakau yang begitu tinggi.
Para petani pun kesulitan melakukan diversifikasi komoditas pertanian lain. Tanaman tembakau yang punya kekhususan membuat lahan bekas tembakau yang mereka miliki atau sewa, tak bisa ditanami jenis komoditas pertanian lainnya. Pada akhirnya para petani itu menggantungkan hidup dengan memakan hasil pertanian dari lahan-lahan kecil mereka yang ditanami sayur-sayuran. Temanggung sebagai surganya tembakau tampaknya sudah tidak berlaku lagi.
Dihantui angka stunting yang tinggi
Meski berada di daerah yang asri dan mudah untuk ditumbuhi banyak sayur-mayur, tidak membuat masyarakat Temanggung terbebas dari persoalan stunting. Angka Stunting di Temanggung cukup tinggi, yaitu 25,1 persen. Bahkan tahun lalu mencapai 28 persen.
Kondisi perekonomian dan mata pencaharian yang terganggu, membuat para orang tua di Temanggung kesulitan memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka. Para orang tua di Temanggung yang masuk kategori kelas menengah bawah hanya mampu memberikan makanan alakadarnya kepada anak-anak mereka.
Lowongan pekerjaan sangat sedikit di Temanggung
Situasi ekonomi di Temanggung memang cukup sulit. Selain para petani tembakau yang merugi, lowongan pekerjaan juga sangat sedikit. Mereka yang tinggal di pinggiran jalan utama dan dekat pasar, biasanya menjual jasa kuli panggul untuk mendapatkan uang. Selebihnya, mereka mengandalkan hasil bumi seperti sayur dan umbian-umbian yang dijual di pasar dengan harga tidak sampai puluhan ribu rupiah. Seretnya lowongan pekerjaan membuat tingkat kemiskinan di Temanggung juga tinggi, yaitu mencapai 9,27 persen pada tahun lalu.
Objek wisata yang dijadikan andalan untuk menyerap tenaga kerja pun, nyatanya tidak mampu bertahan lama. Pengelolaan yang alakadarnya dan kurangnya dukungan dari Pemda membuat objek wisata di Temanggung hanya ramai sebentar dan tutup karena tidak mampu menanggung biaya operasional harian.
Masalah sanitasi dan pendidikan yang belum merata
Ketika pergi di daerah yang lebih tinggi, teman saya bercerita kalau persoalan jamban juga belum beres hingga saat ini. Setidaknya, ada 20.712 keluarga yang belum memiliki jamban. Mereka betah hidup bertahun-tahun tanpa sanitasi pembuangan kotoran yang memadai. Lantas saya bertanya-tanya, bagaimana mereka mengalokasikan kotoran mereka selama ini? Entahlah, saya tidak ingin mencari tahunya lebih jauh.
Di sisi lain, pendidikan di Temanggung juga belum merata. Banyak anak-anak yang hanya sekolah hingga tingkatan SMP. Sekolah lanjut tingkat atas lokasinya terlalu jauh dijangkau oleh mereka. Hal itu membuat tingkat pendidikan mereka terhenti dan lebih memilih bekerja. Selain itu, karena himpitan ekonomi dan ingin mengurangi tanggungan orang tua, banyak dari mereka kemudian memilih menikah muda.
Semua masalah itu, seolah tertutupi dengan slogan “Temanggung Bersenyum” yang tertulis di gapura selamat datang di perbatasan. Para penjual sayur yang menjual dagangannya dengan harga murah, seolah membuat orang luar seperti saya terlena dan menganggap biaya hidup di Temanggung sangat murah. Yah tentu murah, mereka kalau jual mahal, ya nggak laku. Apa yang mereka lakukan adalah potret keterpaksaan yang harus dilalui.
Temanggung, dengan keindahannya yang seolah menawarkan kenyamanan dan ketentraman, nyatanya menyimpan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Entah sampai kapan warganya harus rela menghadapi semua persoalan itu.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kedu, Kecamatan Paling Strategis di Kabupaten Temanggung dan Jadi Tempat Tinggal Terbaik.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.