Dipanggil coach, tetapi bukan pelatih. Menghimpun sebuah tim sepak bola, namun pengalaman sepak bolanya nihil. Memang ia mantan pelatih sepak bola, walau sama-sama olahraga yang menggunakan bola, namun bolanya nggak disepak. Anehnya, jajaran orang-orang penting di klub itu mendukung blio.
Gimana? Tahu nggak saya sedang ngomongin apa? Betul sekali, sepertinya kalian bisa membaca pikiran saya. Seperti apa yang ada di pikiran kalian, saya sedang ngerasani Ted Lasso. Tokoh utama dalam series yang diudarakan oleh Apple+ pada 2020.
Ketika banyak series mengambil cetak biru dari komik atau franchise sebuah film, Ted Lasso adalah tokoh fiktif yang pernah tampil dalam iklan NBC Sport pada 2013 silam. Dalam iklan ia diceritakan melatih Tottenham Hotspur F.C. yang berkompetisi di Premier League.
Ted Lasso adalah pelatih American football. Blio disewa oleh AFC Richmond yang berkompetisi di Premier League. Gegerlah dunia si kulit bundar. Bagaimana bisa orang yang nggak paham sepak bola, justru disuruh jadi pelatih kepala salah satu tim Premier League. Jebul ada drama di baliknya, yang rasanya kalian harus tonton sendiri untuk menyingkap tabirnya.
Di sini saya mau bercerita, series tentang Ted Lasso ini sangat cocok ditonton untuk Coach Justin, coach yang nggak ngelatih dan sedang digandrungi anak-anak yang tiap sore masih meler ingusnya. Pun blio seorang pandit layar kaca yang dicari ngotot, kepala batu, dan punya argumen spektakuler. Ketika Zen RS membangun sepak bola Indonesia melalui segi kepenulisan, coach yang nggak nge-coach ini melalui segi marah-marah dan ngototnya. Begitulah.
Kenapa saya sangat menyarankan untuk ditonton oleh blio? Pertama dan yang paling utama, sifat bersahaja Ted Lasso bisa sangat dicontoh. Ia mengaku tidak paham sepak bola. Lho ya gimana paham, bahkan ia lebih tahu apa itu punt returner ketimbang assist. Beneran, di episode satu, seorang jurnalis Independent Inggris bertanya apa itu assist dan ia nggak tahu.
Melalui kejujuran dari ketidaktahuannya, ia didekati oleh orang-orang yang baik. Pelatih Beard dan Nathan, seorang kit man AFC Richmond. Ya, dari pada mengeluarkan statemen aneh kepada publik dan sok tahu dengan ilmu sepak bolanya, Ted lebih memilih untuk diam dan “melucu”.
Walau secara tersirat, saya menangkap bahwa Ted benar-benar sayang kepada sepak bola. Menurutnya, olahraga ini sangat sentimentil. Suaranya, terutama bagi publik London, bisa didengar dan diolah oleh mereka yang baru tumbuh dan paham sepak bola. Ia rela dikatakan “keparat” asalkan ia memurnikan hatinya untuk melatih, tidak dengan mengeluarkan statemen konyol yang bisa merusak apa itu sepak bola.
Ia punya anak, ia pernah mengunjungi TK Richmond, ia garis lurus, sepak bola sudah menyerap sampai pori-pori paling dalam di kehidupan mereka. Tendensi ini lah bahwa sepak bola Richmond butuh sosok yang berusaha, bukan yang sesumbar bahwa ia bisa segalanya.
Kedua, mendengarkan pendapat orang lain. Wah, kalau ini Coach Justin juaranya, saya percaya itu. Tapi, nggak ada salahnya to belajar menghargai melalui cara Ted? Begini, dalam satu momen, Ted bicara kepada Nathan, “aku butuh saranmu.” Ya, bahkan ia meminta saran kepada seorang kit man.
Seperti yang sudah saya katakan di awal, seluruh publik Richmond mencemoohnya. Bahkan, di suatu kafe, ia masih saja diolok-olok oleh pendukung Richmond. Alih-alih ngeblok media sosial mereka, eh, maksud saya alih-alih melawan dengan ketegangan, Ted memilih untuk “melucu”, lagi.
Entah naif atau memang pawakannya, Ted itu sungguh nrimo. Ia nggak pernah ngatain tolol, bego, atau pekok kepada orang lain. Dia sadar, yang ia tahu mengenai sepak bola hanyalah ia tidak tahu apa-apa. Ia nggak pernah ngenyek tim atau orang lain dengan sebutan kardus. Pun dengan Justin. Ia adalah pundit panutan yang tiap gerak-gerik, tutur kata, dan ilmu luar biasanya kepada anak-anak yang mengidolakannya. Pun dengan Ted. Sungguh perbandingan yang setara.
Ketiga, dari series ini, Coach Justin bisa banting setir jadi nge-coach dunia sepak bola beneran. Ted saja yang dari American football mau mencoba, apalagi Justin yang dari dunia futsal. Ibarat gelar akademik, jika tidak dipergunakan, akan sia-sia. Begitu pula dengan gelar coach yang tersemat kepada blio yang lucu ini.
Series yang dimainkan oleh Jason Sudeikis ini sangat cocok untuk dinikmati oleh kita semua, termasuk Coach Justin yang sedang digandrungi itu. Saya nggak mengatakan plot Ted Lasso dan Justin sama lho, ya. Tapi, dari series yang satu ini, terlepas dari drama dan komedinya, kita bisa paham apa itu pass dan assist. Hal yang paling sederhana dalam dunia sepak bola, yang justru nggak blio ketahui. Begitulah sekiranya.
BACA JUGA 7 Alasan Orang Perlu Pindah Medsos ke TikTok dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.