Tebet, Jakarta Selatan, kawasan paling ramah perantau.
Jakarta bak primadona warga dari daerah lain. Mereka tetap berbondong-bondong ke ibu kota walau daerah ini kerap dikaitkan dengan tekanan. Terutama soal biaya hidup, pekerjaan, dan kompetisi sesama manusia di dalamnya. Wajar saja, kota ini memang berisi seputar mengadu nasib, mengejar ambisi, dan saling jegal sana-sini.
Tapi apakah memilih merantau ke Jakarta adalah keputusan yang salah? Tentu saja tidak. Jakarta, dengan kompleksitas dan kerumitan di dalamnya, masih menyimpan sisi keramahan. Kalau tidak, mana mungkin orang seperti saya betah berada di sana selama 3 tahun lebih.
Betul, kalian masih bisa kok merasakan keramahan Jakarta yang serba keras ini. Dengan catatan, kalian memilih kawasan tempat tinggal yang tepat. Saya adalah salah satu orang yang beruntung itu. Saya merantau di tempat yang menawarkan kenyamanan, ketentraman dan biaya hidup terjangkau. Memang tidak senyaman di daerah asal, tapi setidaknya lebih baik daripada kawasan-kawasan lain.
Tebet Jakarta Selatan adalah tempat di mana selama ini saya merantau. Saya pernah menuliskannya di Terminal Mojok kalau Tebet tidak pernah tidur saking ramainya. Terlepas dari itu, Tebet bagi saya adalah salah satu kawasan yang nyaman untuk ditinggali oleh para perantau. Banyak hal yang membuatnya pantas untuk menyambut para perantau yang kebingungan mencari tempat yang ramah, baik secara kantong maupun akses fasilitas publik.
Daftar Isi
#1 Di Tebet banyak pilihan makanan dengan harga terjangkau
Tebet bisa dibilang menawarkan segala macam kebutuhan bagi semua kalangan, makanan murah masih bisa ditemukan. Misalnya, warteg, warung kecil di sudut gang-gang sempit, atau pinggir jalan.
Malam hari akan banyak penjual nasi gerobakan, warung bubur pun tersedia 24 jam, angkringan pun ada (meski ya gak bisa disamakan seperti yang ada di Jogja, Solo, atau Semarang). Uang Rp10.000 masih laku dan bisa untuk membeli satu bungkus nasi.
Mau nongkrong di café dengan menu murah pun masih sangat mudah ditemukan. Membawa uang Rp20.000 masih pantas, karena kopi-kopi di beberapa café kecil di Tebat ada yang harganya masih belasan ribu.
#2 Biaya tempat tinggal masih masuk akal
Biaya tempat tinggal seperti kos-kosan pun masih banyak yang tarifnya di bawah Rp1 juta per bulan. Dengan uang Rp600.000-700.000 per bulan, perantau masih mendapatkan hunian yang setidaknya layak untuk tidur. Meski ya ukurannya tidak besar dan harus masuk ke gang-gang yang agak sempit. Kalau mampu menyediakan uang kisaran Rp800.000-Rp1.200.00, perantau sudah mendapatkan kos-kosan yang sudah sangat nyaman untuk ditinggali. Jadi saya rasa masih cukup terjangkau.
#3 Tebet relatif aman
Kriminalitas yang kerap jadi momok tersendiri bagi perantau pun jadi sesuatu yang bisa dikendalikan. Perkomplekan dan gang-gang di Tebet relatif aman. Tidak jarang, saya melihat motor-motor diparkir begitu saja di sepanjang gang di kawasan Tebet. Dan anehnya jarang ada kehilangan. Tawuran yang sering jadi berita di media nasional juga sangat jarang. Justru yang sering terjadi di kawasan Manggarai yang sepertinya sudah dijadikan arena baku hantam.
#4 Ingin belanja? Ada pasar tradisional maupun tempat belanja modern
Untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, Tebet punya dua pasar tradisional dan beberapa swalayan. Perantau seperti saya tinggal memilih, jika tanggal tua ya tinggal ke pasar tradisional, tapi ketika sudah gajian, sesekali ke supermarket seperti Superindo pun juga ada.
Minimarket dengan kursi dan meja besi untuk perantau melamun pun tersedia di berbagai sudut kawasan Tebet. Tinggal mau pilih Indomaret dengan Point Coffee-nya, Circle K, atau Alfamart. Semua bisa disesuaikan dengan suasana hati dari para perantau.
#5 Akses ke Tebet mudah
Lokasi Tebet yang termasuk jadi bagian dari Jakarta Selatan juga terbilang strategis. Hal itu karena jaraknya tidak terlalu jauh dari kawasan pusat Kota Jakarta. Akses transportasi publiknya sangat lengkap. Ada stasiun Commuter Line (KRL) yang bisa membawamu ke mana saja se-Jabodetabek. Jadwalnya tersedia hingga pukul 23.00 WIB.
Tiap sudut jalan pun ada perhentian atau halte Trans Jakarta yang terintegrasi dengan stasiun KRL, sehingga perantau tidak perlu khawatir dan bingung soal kebutuhan mobilitasnya. Setiap jalanan di Tebet juga ramah dengan pejalan kaki. Trotoarnya lebar sehingga untuk berjalan kaki di Tebet menuju fasilitas publik seperti stasiun, halte, café, atau berbelanja di pasar masih terbilang cukup aman. Di beberapa trotoar bahkan terdapat kursi. Kawasannya yang ramai juga membuat suasana hati tidak hampa ketika berjalan di kawasan ini tiap sore.
#6 Banyak ruang terbuka hijau
Aspek yang tidak kalah penting dari Tebet adalah keberadaan ruang terbuka atau taman yang bisa diakses gratis oleh siapapun. Taman itu adalah Tebet Eco Park yang diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan pada tahun 2021 silam. Taman ini jadi ruang terbuka yang bisa dinikmati pada akhir pekan. Perantau bisa memanfaatkannya untuk lari-lari, olahraga senam, atau sekadar jalan-jalan minikmati pagi atau sore hari.
Meski begitu, Tebet, selayaknya kawasan lain di wilayah Jakarta juga menghadapi penyakit yang sama, yaitu kemacetan. Kondisi macet biasanya terjadi ketika pagi dan sore hari. Tapi hal itu masih terbilang cukup wajar dan dapat dimaklumi karena di Tebet terdapat stasiun KRL yang jadi perhatian banyak orang dari Bogor atau Depok.
Mungkin satu yang membuat saya sedikit kecewa dari Tebet. Di kawasan ini, saya belum menemukan nasi goreng yang enak. Rasa nasi gorengnya kebanyakan template atau sama semua. Tapi kembali lagi, itu tidak menghalangi kesan saya bahwa Tebet adalah sebaik-baiknya kawasan di Jakarta bagi perantauan.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Lebih Enak Mengkritik Jakarta ketimbang Jogja yang Baperan dan Mudah Tersinggung karena Cinta Buta
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.